"Tunggu sampai habis dan duduk di pahaku," ucapnya tersenyum seringai sembari menepuk-nepuk pahanya.
--ck, sialan satu ini! Haruskah Sandra mengumpat padanya malam ini? Tidak! Ia sudah melakukan sebuah kesalahan sebelumnya. Ia datang terlambat beberapa menit berselang. Jika ia membuat sebuah keributan dengan 'melecehkan' dan tak menghargai pelanggan yang datang, maka habislah dia malam ini. Si supervisor di bar ini bukan manusia biasa. Entah apa yang ia santap di pagi hari, entah apa juga yang ia makan di siang hari, lalu entah apa yang ia hidangkan di hari penutup senja, yang jelas si supervisor itu benar-benar cerewet di luar ambang batas wajar seorang manusia. Jika Sandra tak butuh uang, maka ia pasti sudah keluar dari tempat ini.
Gadis itu kini memejamkan rapat kedua matanya. Sandra diam sejenak lalu berjalan mendekati si pelanggan. Pria itu memang sombong. Terlihat dari caranya menatap Sandra dan caranya berbicara pada orang-orang di sekitarnya. Kaya memang sandang status yang ia miliki. Namun, ia hanya kaya dalam bertahta saja. Sikap dan moralnya benar-benar miskin.
"Aku tak bisa duduk di sana, Mister. Sebagai gantinya aku akan duduk di sisimu saja." Sandra tersenyum hangat. Ia menarik kursi kayu yang ada di sisinya dan berniat duduk di atas sana. Aneh rasanya, seumur-umur ia tak pernah mendedikasikan hidupnya untuk hal semacam ini. Sandra hanya berpikir bekerja di sebuah bar hanya sebatas meracik minuman, tersenyum pada yang datang, lalu menghantarkan pesanan. Namun, ia salah besar. Terkadang buaya sialan seperti ini datang dan mengacau suasana.
"Tak boleh. Aku ingin kau duduk di sisiku, Nona." Pria itu kasar menarik tubuh Sandra. Ia membawanya untuk duduk di atas paha sesuai dengan interuksinya sebelum ini. Membuat gadis itu benar-benar berjarak intim dengannya.
Sandra menghela napasnya ringan. Ia menundukkan wajahnya dan pandangan untuk tak menatap apapun lagi. Di tempat ini bukan layaknya klub malam atau diskotek yang ramai dan berdesak. Bar ini dibangun di sudut kota. Tempatnya memang tak ramai, tetapi juga tak luas. Bahkan hanya suara langkah kaki saja, terkadang mencuri perhatian pengunjung yang datang.
Ada alunan musik yang menggema sesekali. Namun, itu sangat lirih. Bukan musik disko atau jazz dan rock and rol. Namun, sebuah musik balad yang indah dan nyaman masuk ke dalam lubang pendengaran.
"Tuangkan minuman untukku lagi, Nona." Pria itu kembali bersuara. Sandra diam tak berucap hanya meliriknya sesekali.
Jari jemari sang pria mulai nakal. Ia mengusap punggung Sandra dengan lembut. Membuat gadis itu mulai tak nyaman dengan posisinya.
"Maafkan aku, tetapi aku harus kembali bekerja." Baru ingin bangkit dari tempat duduknya, Sandra kembali ditarik oleh pria itu. Tubuhnya kini jatuh membentur meja yang ada di sisinya. Sandra mengerang ringan kala merasakan jari jemarinya yang mulai sakit. Ia menatap pria yang ada di sisinya itu dengan sedikit perasaan tak nyaman. Ingin marah, tetapi ia hanya akan membuat masalah semakin besar saja.
"Kau terantuk meja?" tanyanya berbasa-basi. Ia menarik tangan Sandra dan mengambil jari jemarinya itu. Sigap mengusapnya dengan lembut lalu meniupnya perlahan-lahan. Sandra hanya diam memandangnya. Sekarang ia mulai tahu, sebelum datang ke sini, pria satu ini sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Jika Sandra tak segera pergi, maka ia yang akan menjadi santapan empuk buaya gila satu ini.
Sandra ingin menarik tangannya. Namun, pria itu mencegah. Semakin Sandra memberontak, maka semakin kuat pula genggaman tangan itu.
"Aku bisa mengobatinya sendiri, Mister." Sandra menolak. Ia ingin lepas darinya. Akan tetapi, pria itu enggan melepaskan Sandra dengan begitu saja. Awalnya memang hanya meniup dan mengusap. Namun, lama kelamaan pria itu mulai gila! Ia benar-benar sudah melampaui batasannya kala mulai menciumi jari jemari Sandra. Gadis itu memberontak sembari memanggil-manggil pria itu dengan sebutan mister. Sekali lagi, pria gila ini sudah tak waras! Ia baru saja menjulurkan lidahnya untuk menjilat jari jemari Sandra. Sigap tubuh gadis itu bereaksi. Ia menampar pipi pria yang ada di depannya itu dengan keras. Mendorong tubuhnya hingga terjungkal ke belakang.
"M--maafkan aku, tetapi kau sudah melalui batas wajar, Mister." Sandra berdiri dengan cepat. Ia mundur ke belakang sembari terus menatap pria itu dengan aneh. Sesekali ia memandang ke sekitarnya untuk memastikan keadaan masih baik-baik saja, meksipun tak benar-benar baik seperti sebelumnya.
Kini pandangan mata teralih padanya. Sandra menatap Pak Bais yang mulai pergi dari posisinya. Ia berniat ingin mendekati Sandra, tetapi seorang pria bertubuh tambun mencegahnya. Memberi isyarat pada pria tua itu untuk tak ikut campur jika tak ingin kena batunya.
"Lo mendorong gue?" Pria itu memprotes. Kembali lagi pada logat 'metropolitan' miliknya itu.Caranya berbicara tak sesopan sebelumnya. Ia mulai menunjukkan sikap aslinya sebab Sandra tak mau melayani dengan baik.
"K--kau yang sudah keterlaluan," jawab Sandra terbata-bata. Ia tak tahu harus bagaimana sekarang ini. Mau menolong pria yang merintih kesakitan sebab kepalanya terbentur ubin bangunan bar? Tidak! Itu sangat berbahaya untuk tubuhnya. Pria itu pasti memanfaatkan keadaan nanti.
"Kemari dan bantu gue! Atau gue laporin lo ke atasan!" Pria itu mulai jengkel. Ia terus mengusap-usap kepalanya yang terasa sedikit pusing.
Sandra masih kokoh dalam diamnya. Gadis itu tak berkutik sekarang ini. Ia terus saja melirik ke sekitar lalu menatap Pak Bais yang menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat pada Sandra untuk tak menolong pria itu. Biarkan saja, toh juga jatuh terjungkal ke lantai tak akan membuat kepalanya pecah dan tak akan membuat dirinya tewas.
"Lo bener-bener gak mau nolong gue?!" Pria itu mulai berteriak-teriak bak orang gila. Mencoba membuat Sandra berubah pikiran saat ini. Terlalu malu untuk berdiri sendiri. Pria gila ini masih bisa memikirkan harga dirinya meskipun apa yang dilakukan olehnya saat ini hanya mempermalukan dirinya sendiri saja.
"Bangun sendiri!" Seseorang menyela. Menarik pandangan semua orang yang ada di dalam bangunan bar. Langkah kaki pria bertubuh jangkung dengan jas mahal yang rapi membalut tubuhnya kian tegas membelah gelapnya cahaya bar di sudut bangunan. Ia berjalan ditemani beberapa anak buah yang setia di belakangnya.
"M--Mr. L--Leo?" Pria itu mengeja nama. Ia menyipitkan matanya kala wajah pria yang baru saja datang menyela keributan itu semakin jelas disorot oleh lampu ruangan. Pesonanya mulai terlihat kala ia menatap ke arah depan dengan kedua mata elangnya itu.
Sandra bergeming. Ia terus saja menatap ke arah pria yang baru saja melirik ke arahnya. Sesuai rumor yang beredar, ketampanan pemilik Wang Lounge And Bar in the Night Sky itu tak manusiawi! Ia benar-benar tampan dan sempurna. Wajahnya pas mirip seorang pangeran dari negeri dongeng.
--ah, ini adalah kali pertama Sandra menatap wajah sesempurna ini secara langsung. Mr. Leo Wang adalah lukisan Semesta yang paling indah.
... To be Continued ....