Raiga POV
"Nah, adek adek sekalian. Ini dia ... Ketua panitia penyelenggara acara ini .. Kita sambut Raiga Banabi .. TEPUK TANGAN"
Suara Fiya memekakkan telingaku, terlebih aku berdiri tepat di samping sound system.
Tepukan tangan pun saling bersaut saat aku naik ke atas panggung. Dan saat aku berdiri tepat di hadapan microphone serta ratusan orang yang berbaris di hadapanku, tiba tiba saja aku merasa sangat gugup.
Aku memasang wajah malangku pada Fiya yang mengawasiku ditepi panggung. Dia yang melihatku malah mengacungkan kepalan tangan ke udara.
Apa artinya itu? dia mencoba memberiku semangat atau malah mengancam.
"Hm ... Hm ...." Aku mencoba santai. "Hallo adek adek semua... Apa kabarnya hari ini?"
"BAIK!" Suara suara keras mereka menyahutku.
"Perkenalkan, nama kakak Raiga Banabi. Kalian bisa panggil kak Rai. Kakak duduk di kelas 11 IPS 2 tahun ini dan hanya beda satu angkatan dari kalian, disini kakak sebagai anggota osis sekaligus ketua panitia penanggungjawab acara pengenalan sekolah atau sering disebut masa orientasi siswa akan menyampaikan beberapa kegiatan acara yang kita lakukan 4 hari kedepan sebelum kalian resmi menjadi murid di sekolah ini .."
Pidato panjang lebar yang susah payah aku hafalkan dari minggu lalu akhirnya selesai.
Aku berjalan menghampiri Fiya yang duduk di dekat meja makanan.
"Fi .. Aku laper." aku merengek padanya.
"Ya makanlah." seperti biasa, dia menyahutiku dengan dingin.
"Asik." Aku mengusap tanganku dan bersiap menyergap box makanan yang melimpah diatas meja. Tapi, tiba tiba Fiya menghentikanku.
"Eit, ngapain? Ini buat makan siang nanti. Jangan diambil."
"PELIT!"
"Bodo amat"
"Tadi katanya suruh makan."
"Tapi, aku gak nyuruh makan makanan ini, ya."
"Dasar nenek sihir."
Aku menyipitkan mataku padanya sambil memasang bibir ketus.
Sejak pertama aku memanggilnya nenek sihir setahun lalu, aku jadi kecanduan memanggilnya begitu sekarang. Bukan hanya karena sifatnya yang jahat dan suka menindasku. Penampilannya juga sangat mendukung sebagai seorang nenek sihir yang kejam.
Rambut panjang sepunggung yang diikat kuncir kuda. Hidung besar mancung serta kacamata tebal yang selalu melorot karna sangat berat, membuatnya sangat cocok untuk tipe pemeran piguran di film Harry Potters. Ya, meskipun dia memang cukup cantik, aku akui.
"Cepet sana urusin laporan. Biar kamu ada kerjaan."
"Iya iya."
Aku terpaksa pergi dan meninggalkan segunung makanan enak dimeja itu. Sebenarnya salahku sendiri karena tidak sarapan pagi ini. Jangankan makan, Pakai kaos kaki pun tidak sempat saking buru burunya. Untung aku punya cadangan diloker bekas futsal minggu lalu. Mungkin agak sedikit bau tapi itu tidak jadi masalah.
Aku menempelkan daguku kepermukaan meja dan menghela napas lesu selama mengetik laporan, aku sangat tidak bersemangat.
Sangat sangat malas.
"Oy, lagi ngapain?" Si cowok cungkring memukul pundakku dan duduk disebelah. Dia adalah Erik. Lelaki termesum sepanjang sejarah.
"Ngerjain laporan." sahutku dengan ketus.
"Pantes keliatan semangat." ledeknya sambari menyambar tumpukan kertas laporan di mejaku.
"Pantatmu yang semangat. Gak liat ya Loyo gini."
"Mau dibantuin?"
"Gak usah." aku menyambar kembali kertas laporan yang dia ambil.
"Lagian gara gara film porno yang kamu kasih kemarin, aku jadi susah tidur semaleman. Bangun kesiangan. Gak sempet sarapan. Lupa bawa dompet lagi. Apes banget, kan?" aku menggerutu.
Dia langsung tertawa tergelitik "Haha. Aku kata apa? Jangan ditonton dulu. Tontonnya nanti aja, Iga babi."
"Sialan. Kalo mau ketawa gak usah pake ngatain" aku memukulnya dengan tumpukan kertas.
"Sorry ... Sorry"
"Lagian mana bisa tahan. Aku kan penasaran. Dan filmnya ternyata keren. Makanya kebayang terus ampe gak bisa merem."
"Noob banget sih, film kelas teri gitu doang pake acara gak bisa tidur. "
"Iya, serah anda aja ya Erik pangeran mesum. Aku terlalu laper buat debat gak jelas."
"Yaudah deh, aku traktir hari ini. Tapi jangan makan yang mahal ya! Tau diri dikit."
"Serius?" aku tersentak. "Asik .. Erik ku ini emang malaikat penyelamat"
"Penjilat."
....
Entah kapan terakhir aku makan selahap ini, bukan cuma karena nasi uduknya yang enak tapi kata "ditraktir" lah yang membuatnya sempurna.
Aku mengelus elus rambut cowok putih disampingku ini disela sela suapanku. Untuk memberitahunya bahwa aku sangat berterimakasih. Tapi, dia tidak kelihatan sesenang yang aku harapkan.
"Nggak ikut makan?" Aku bertanya setelah menghabiskan piring keduaku.
"Lihat kamu makan, aku jadi gak nafsu."
"Minta di tendang ya?"
"Yaudah lah, udah bereskan? Kita disini udah hampir sejam loh. Lagian makan lelet banget kayak onta"
"Mengunyah makanan itu harus dilakukan dengan baik dan benar biar kita sehat" ucapku mengikuti gaya Mario teguh.
"Huh, lagumu sehat. Tapi otak kecanduan bokep"
"Dih? gak ngaca"
Dia mengangkat tangannya dan memanggil bu Ema untuk membayar. Sementara aku kembali meneguk sisa air teh hangat yang nikmat sedetik sebelum semua berantakan karena si nenek sihir datang dengan tidak santai dan memukul punggungku.
Aku yang tersentak dengan kagetnya menyemburkan semua teh manis di mulutku tepat di wajah Erik.
"RAI!" panggil Fiya yang terlihat ngos ngosan.
Sementara Erik mengusap wajahnya yang basah sambil menatapku dengan bengis. Untung makanannya sudah sempat dibayar. Kalau tidak pasti dia tidak akan sudi mentraktirku lagi.
"Apa sih! Gak liat apa orang lagi minum."
"Heh, sorry .. Sorry. Gak maksud." Dia tertunduk malu saat Erik berganti menatapnya dengan tatapan yang sama horornya.
"GAK APA APA KOK!" Erik menarik tissue dengan kasar dan mengelap wajahnya.
"Kenapa sih, Fi? Heboh banget. Laper ya?" tanyaku sambil memberikan kursi untuknya duduk.
"Mending kalo laper tinggal makan. Yang ini Emergency." dia duduk di sampingku.
"Kebelet tapi wc penuh?" Erik menyela.
"Aduh, bukan itu. Jadi gini, kita kan udah sepakat membagi beberapa regu anak anak baru, ingetkan? Nah, anak bagianku awalnya gak ada dua-"
"Maksudnya?" Aku memotong.
"Denger dulu, dua anak di kelompokku itu nggak ada. Pas aku pastiin telpon ke rumah mereka, yang satu katanya tiba tiba sakit jadi gak sempet nitip surat. Dan-"
"Ya terus apa, Fi? belibet amat. Langsung intinya aja kenapa"
"Iya ini inti masalahnya." ucapnya geram. "Yang satu lagi kata pembantu dirumahnya, dia udah ke sekolah dianter orangtuanya. Tapi aku coba cari kemana pun dia nggak ada!"
"Dikantin?"
"Nggak ada."
"Di toilet?"
"Nggak ada!"
"Yakin diperiksa semua? Kali aja dia ketiduran didalem toilet, kan mungkin aja."
Fiya menyipitkan matanya padaku, "Dia Bukan kamu ya, Iga babi. Jangan disamain!."
Aku benci sebutan itu.
Awalnya aku tidak sengaja menyebut tulang iga sapi dengan sebutan iga babi saat kuis random di kelas. Tapi, tampaknya itu sangat berkesan sampai menjadi nama panggilanku sekarang.
"Ya, mungkin aja dia diperpustakaan" Erik menebak.
"Perpus tutup Erik."
"Di gudang?" ucapku ngasal.
Dan langsung disambut jotosan hangat di kepala bagian belakang oleh sang ratu.
"Serius deh! Kalo anak itu beneran ilang disekolah ini gimana? Kita mau ngomong apa sama orangtuanya nanti?"
"Yaudah gini aja, aku punya ide"
......