Unduh Aplikasi
2.81% Our Precious Joon / Chapter 9: Meluluhkan Hati Ayah Jay

Bab 9: Meluluhkan Hati Ayah Jay

"Kejadiannya bukan seperti yang kau pikirkan, Jay!" desis Kenichi. Ia menghadang dan menghentikan langkah Jay yang akan mendekati keponakanny, Joon.

"Jangan mencoba melindunginya, Ken!" Jaya mendorong Kenichi ke samping, menjauh dari mereka.

Kini Joon tertunduk tepat di hadapan Jaya yang menahan emosinya sedari tadi.

"Maafkan Joon, Ayah! Joon berjanji tak akan membangkang lagi. Kabur dari cafe membuatku sial hari ini.

Ayah boleh menghukumku, tapi kumohon jangan membenciku!"

ucap Joon sambil tertunduk.

Hening.

Kebungkaman Jaya semakin membuat Joon merasa takut. Bahkan kini kaki Joon gemetaran.

"Ayah, Joon mau ..."

Jaya mencengkeram erat lengan Joon. Ia sedikit menekan jemarinya di lengan Joon, membuat Joon sedikit merasa kesakitan. Namun, Joon tak berani menatap netra kelam ayahnya.

Joon masih tertunduk sambil memejamkan mata.

Tanpa disangka, Jaya malah memeluk tubuh Joon di detik berikutnya. Pelukan itu sangat erat seolah tak akan melepaskannya lagi.

"Bodoh! Kenapa kau kira ayah setega itu menghukummu saat melihat kondisimu seperti ini, hah?" bentak Jaya, tapi ia sama sekali tak mengendorkan lengannya di punggung Joon.

Sejenak pandangan Joon mengarah ke papa dan daddy-nya secara bergantian.

"Bukan daddy yang cerita pada ayahmu, Joon!" seru Kenichi, melambai ke arah Joon.

"Papa juga belum bicara apapun padanya. Sungguh!" ucap Kevin serius. Ia sembari mengacungkan dua jari telunjuk dan tengahnya.

"Dasar kunyuk, kampret, bodoh, brandalan! Kenapa kau tak mengabariku saat di rumah sakit, hah? Apa ayah tak berhak tahu keadaanmu? Bodoh! Kau benar-benar bodoh, Joon-chan!"

Jaya tak henti-hentinya mengumpat, namun ia masih memeluk Joon dengan erat. Tak berniat melepaskan rengkuhannya itu. Anak itu adalah anak dari wanita yang sangat Jaya dan Kevin cintai.

"A-ayah a-aku bi-sa ma-ti sung-guhan ka-lau le-herku dili-lit se-perti i-ni." Suara Joon terbata karena sesak akibat pelukan dari ayahnya.

Seketika itu juga Jaya melepaskan pelukannya dan mendorong pelan Joon. Ia melihat Joon dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Mana yang masih sakit, eo?"

Jaya menepuk-nepuk lengan dan seluruh tubuh Joon, memeriksanya.

"Wahahaha ini menggelikan, Ayah!" pekik Joon, mundur beberapa langkah dari sang ayah yang kejam.

Jaya mengecup singkat kening putranya.

"Bodoh! Kau masih sangat pucat kenapa pulang, hah?" bentak Jaya, tapi raut kekhawatiran masih terlihat jelas di wajah tampannya.

"Astaga, mau ayah ini apa sebenarnya, hah? Sesaat memeluk, sedetik marah-marah. Memeluk lagi, marah-marah lagi. Dasar ayah labil!" gerutu Joon sembari mengerucutkan bibirnya.

Ctak!

Jaya menyentil keras telinga Joon.

Joon mengeluh sembari mengusap telinganya yang memanas.

"Ya kan! Sekarang menyentilku, pasti setelah ini memelukku lagi!" tebak Joon. Ia berdiri agak menjauh dari Jaya agar tak dianiaya kembali.

"Gak akan!" bentak Jaya di detik berikutnya.

Jaya menoleh ke arah kakak angkatnya, Kevin.

"Kenapa Joon dibawa pulang, Kak Kevin? Apa sudah tak apa?"

tanya Jaya. Pandangannya beralih menatap wajah Joon yang terlihat masih pucat.

Kevin mendekat ke arah Jaya dan menepuk bahunya.

"Dokter menyuruhnya istrirahat, tapi dia malah kabur. Kurasa keras kepala kalian sama persis," gumam Kevin.

Jaya memandang sendu ke arah Joon yang masih tertunduk beberapa langkah darinya.

"Kita balik ke rumah sakit ya, Joon?" tawar Jaya sembari meletakkan tangannya di pundak Joon yang lebih pendek belasan senti darinya.

"Aku keluar dari sana dengan susah payah, Ayah. Mengelabuhi dokter, suster dan para security. Sekarang malah diajak balik.

Yang benar saja?" ungkap Joon.

Joon berjalan menuju rumah, namun tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke depan. Sudah ada Jaya yang menahan tubuh Joon.

"Dasar keras kepala! Ayo kita balik ke rumah sakit!" bentak Jaya.

"Istirahat di rumah saja, Yah. Joon tak suka bau rumah sakit."

Joon mengeluh. Entah kenapa, dari dulu ia tidak menyukai tempat bernama rumah sakit itu. Mungkin juga karena ia sudah bosan sejak kecil sering sekali dirawat di sana.

Sedetik kemudian, Jaya membawa Joon di punggungnya.

Ia menggendong putranya ke punggung seperti yang ia lakukan selama ini sejak Joon masih berusia 4 tahun.

Joon terlihat sedikit meronta di punggung Jaya.

"Astaga, Joon sudah besar, Ayah. Kenapa masih digendong seperti ini, eum?" tanya Joon.

"Bagi kami kau tetap Joon yang cengeng dan suka ngommpphh--"

Belum selesai Jaya menyelesaikan kalimatnya, mulutnya sudah dibekap oleh Joon dari belakang.

Tangan Joon menutup mulut Jaya dengan tidak sopannya.

"Ngo ... ngopi kan, Yah? Joon memang suka ngopi kok. Joon jadi terharu, hehehe," kilah Joon terlihat menutupi sesuatu.

"Heh? Kenapa jadi terharu, hah?!" Jaya membentak kembali.

Dan mereka pun masuk dengan gurauan-gurauan ringan mereka. Joon juga masih berada di punggung Jaya.

Sepertinya ada yang merasa iri melihat mereka.

Kevin yang berada di sebelah Kenichi merasakan firasat buruk.

"Aku merasakan ada hawa menyebalkan di sekitar sini," gumam Kevin.

Di sampingnya, masih ada si Kenichi yang memiliki kelainan biseksual itu. Kenichi melirik ke arah Kevin dengan mata yang berkedip-kedip dengan tak normalnya.

"Woy! Apa maksudmu kedip-kedip menjijikkan itu, hah?!" bentak Kevin.

"Abang, gendong!" ucap Kenichi dengan suara mendayu-dayu. Ia juga sambil bergelanyut manja di lengan Kevin.

"Woy, sadar gender, oy! Jangan memanggilku dengan suara menjijikkan seperti itu lagi!" bentak Kevin. Ia menghempaskan tangan Kenichi yang bergelayut di lengannya. Ia berlari ke dalam rumah menyusul Jaya dan Joon sembari bergidik ngeri. Kalau saja Kenichi bukan adik dari cintanya, pasti ia sudah mengusir lelaki aneh itu dari rumahnya sejak dulu.

Kenichi menatap kepergian Kevin dengan mata berkaca-kaca.

"Kenapa kau tak pernah peka, Abang?!" gerutunya sok mendrama seperti biasanya.

***

Jaya membawa Joon ke punggungku sama persis ketika Joon masih berusia lima tahun dulu.

"Ayah, kamarku kan di atas. Kenapa kita ke sini, eum?" tanya Joon, keheranan.

Jaya menampilkan senyum termanisnya.

"Malam ini kita tidur di kamar ayah," ucap Jaya santai sambil memasuki kamarnya.

Blam!

"Hah? Tidur bareng? Kok horror ya, Yah?" gerutu Joon, merasa sudah tak pantas tidur dengan orang tuanya.

"Kenapa? Kau takut ketahuan masih suka ngompol?" ketus Jaya sambil menurunkan putranya dari punggungku dan menidurkan di ranjang dengan hati-hati.

"Huwakh, Ayah fitnah! Siapa yang masih ngompol juga? Kalau ada yang tahu kan gawat, Yah. Pamorku sebagai pria populer di sekolah bisa hancur," gerutu Joon, menutupi wajahnya dengan bantal, malu.

"Jadi sungguhan kamu masih sering ngompol, eum?" goda Jaya semakin menjadi.

"Haasshh, sudah tak pernah! Itu kan dulu saat aku masih kecil. Semua juga pernah mengalami. Ayah juga pasti begitu kan dulu?"

sungut Joon. Ia kesal selalu dirundung oleh ketiga ayahnya selama ini.

"Sok tahu!" Jaya mengacak rambut Joon. "Tapi tunggu, apa ngompol di usia 10 tahun itu tergolong kecil yah?" sambung Jaya sambil memijat dagu.

"Ayah! Jangan ingatkan itu! Aku kan jadi malu." Joon berteriak tidak terima. Ia jadi mengingat kejadian memalukan itu.

"Hahaha, dasar! Kalau di sekolah saja sok perfect, eh tak tahunya di rumah suka ngompol. Wahahahaha, playboy kok suka ngompol," goda Jaya tak henti-henti.

"Ayah, berhenti menghinaku!" rajuk Joon sambil tidur membelakangi ayahnya.

"Joon?"

Hening.

"Joon?"

Bersambung ....


Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C9
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk