Aku tidak tahan melihat ekspresi wajah Andrian, tapi yang lebih buruk lagi adalah suaranya saat dia memohon padaku untuk berbohong padanya. Aku tidak bisa melakukannya.
"Maafkan gua," kataku pelan. "Gua tidak bermaksud, sungguh. Pertama…."
Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata lainnya sebelum Andrian menerjang ke depan untuk mengambil jurnal itu dari tanganku. Kakinya terpeleset di trotoar es dan dia menabrakku. Lenganku melingkari dia dengan cepat untuk menjaga kami berdua tetap tegak, dan kami mendapati diri kami saling berpelukan. Dia berbau seperti kopi dan kue-kue dan aku mendapati diriku mencondongkan tubuh ke hidungku ke lehernya untuk mencari lebih banyak aroma menggoda itu. Tapi aku segera ingat betapa gugupnya dia dan betapa ketakutannya dia jika aku berani memulai sesuatu yang fisik di antara kami. Aku dengan hati-hati menggenggam lengannya dan meletakkannya kembali, hanya melepaskan cengkeramanku begitu aku tahu dia stabil.