Unduh Aplikasi
2.26% Love Rain / Chapter 9: Gambar Arsitektur

Bab 9: Gambar Arsitektur

"Kagak Wit, tadi gue langsung keluar apartemen kok. Cuman ada sedikit cerita tadi."

"Ceritanya udah tamat atau masih bersambung nih?"

"Gue harap sih udah tamat Wit tadi. Tapi mungkin bakal ada cerita baru dengan tema baru tapi masih dengan orang yang sama." ucap gue.

"lah, kok gitu?"

"Dia tetangga sebelah gue Wit, masih anak SMA sih. Udah gitu dia tinggal di situ sendirian, jadi kayaknya bakal ada banyak cerita bareng dia nantinya. Sama kayak kita lah Wit, cerita kita kan masih terus berlangsung nih sampai sekarang." ucap gue yang sedikit membuat Dewita kebingungan.

"Iya deh, yaudah yuk naik!" ajak Dewita.

"Iya, bentar gue buka helm dulu."

Disepanjang jalan menuju ruang kelas, semua mata seolah tertuju ke Dewita, gue mah udah biasa kayak begini. Resiko punya temen cantik kan emang begini. Awalnya gue minder, tapi lama-lama kayak udah biasa aja dengan hal-hal kayak begini. Yang penting mah jadi diri sendiri aja. Dewita aja kadang suka sebel kalau diliatin gitu, berasa risih katanya. Tapi sekarang dia udah biasa aja, udah kebal mungkin. Hhhehe.

"Ra," panggil seseorang sambil menepuk pundak gue.

Reflek gue menoleh sambil mengibaskan tangan karna terlalu kaget dengan sentuhan dadakan ini.

"Ahh, elu dit. Gue kirain siapa? Untung gak gue tampol tu muka." Balas gue, sambil melakukan gerakan tangan yang ingin nampol.

"Hhehehe, sorry Ra. Kaget lu ya?" jawab Dito.

"Hey dit?" ucap Dewita menyela.

"Oh, hey Wit."

"Kaget gue Dit, orang tadi gue lagi serius dengerin si Dewita cerita, ehh tiba-tiba ada yang nepok pundak. Mana suara panggilannya pelan lagi," balas gue sedikit kesel.

"Sorry Ra, gue udah panggil-panggil lu tadi. Tapi, kalian terlalu asik ngobrol makannya gue lari buat nyusul kalian."

"Oke deh oke, emang ada apaan sih sampe ngejar-ngejar begitu? Kan nanti di kelas kita juga bakal ketemu, Dit." ucap gue.

"Cuman mau ngingetin kalau nanti ada kerja kelompok di rumah Dewa, Ra."

"Oh itu, gue inget kok. Soalnya pagi-pagi tadi ada yang ngingetin gue." Balas gue, sambil nyengir ke arah Dewita.

"Siapa? Dewa?"

"Bukan Dit, cewek cantik inilah. Kan dia yang paling deket sama gue." Ucap gue, sambil merangkul pundak Dewita dan dibalas senyum malu Dewita.

Gue tahu sih kenapa Dewita mendadak jadi sok jaim begini, dia bener-bener bisa langsung berubah mood dan ekspresi kalau berhadapan sama Dito. Gimana enggak coba, Dewita kan bucin banget sama Dito. Tapi sayangnya Dito belum menyadari akan kebucinan Dewita ke dia selama ini.

"Oh, gue kirain Dewa. Hhhehe," ucap Dito.

"Yaudah yuk ah masuk kelas, keburu dosen masuk duluan nanti." ajak gue ke Dewita dan Dito.

"Oh iya, ayo Ra." ucap Dewita.

"Oke oke." ucap Dito.

"O iya, tumbenan gak bareng Dewa, Dit?" tanya Dewita.

"Dia udah duluan Wit, nanti kalau kita masuk ruang kuliah pasti udah ada dia kok."

Dan benar juga apa yang di bilang Dito tadi, si Dewa udah duduk manis di salah satu bangku mahasiswa di ruang kuliah ini.

"Hey bro, rajin amat sih. Amat aja gak rajin-rajin banget," sapa Dito ke Dewa.

"Ehh malih, gue kan emang dari dulu udah rajin kali." jawab Dewa pede.

"Iya deh iya, o iya jangan lupa nanti kita ke rumah elu kan seabis selesai kuliah?"

"Iya Dit, Ara sama Dewita gak pada lupa kan ya?" tanya Dewa.

"Kagak bro, tadi udah gue ingetin. Ehh, ternyata si Dewita udah ngingetin Ara dari pagi-pagi malahan."

"Yaudah kalau gitu, berarti hari ini kita bakal jadi kerja kelompoknya." ucap Dewa.

Beberapa saat kemudian, seorang dosen pria memasuki ruangan kuliah kami. Pak Indra namanya, beliau adalah dosen mata kuliah gambar arsitektur untuk semester awal teknik arsitektur.

"Selamat pagi."

"Selamat pagi, pak." balas kami serempak.

"Sekarang, tolong keluarkan buku gambar A3 kalian dan buka tugas kalian di atas meja." perintah pak Indra.

Gila, itu tugas bakal bikin tangan kalian pegel dan gemeteran sewaktu ngerjainnya. Kalian bayangin aja, kita disuruh membuat garis vertical, horizontal dan diagonal full sepenuh dan sepanjang ukuran kertas A3.

Yang mana kertas A3 memiliki ukuran 42cm x 29,7 cm dan kita disuruh membuat garis-garis tersebut dengan cara free hand atau tanpa bantuan penggaris dan alat-alat yang lain selain pensil dan penghapus.

Ingin rasanya waktu itu gue akalin pake bantuan penggaris ngerjainnya, tapi gue batalin. Takut diomelin gue, karna katanya si dosen mata kuliah gambar arsitektur itu jeli banget. Beliau bakal tahu kita ini ngerjainnya free hand atau pake bantuan penggaris, udah gitu beliau pelit banget sama nilai.

Gue aja ngerjain ini tugas gue cicil mulu tiap malem satu lembar, sampe gue minta waktu banyak ke editor buat sabar nunggu update cerita novel gue. Karna gue belum tenang kalau tugas ini belum selesai 6 lembar, dan Alhamdulillah editor gue ngertiin gue banget. Bersyukur banget gue dapet editor dan penerbit seperti mereka.

Pak Indra berjalan ke bagian belakang, menyuruh salah satu mahasiswa untuk menunjukkan hasil tugasnya.

"Mana tugasmu?"

"Ini, pak."

Beliau meneliti dan membuka tutup sebuah spidol berwarna merah, ternyata spidol itu beliau gunakan untuk mencoret-coret dan memberi nilai di buku gambar mahasiswa. Tugas yang sedang diteliti oleh pak Indra adalah tugas milik Rio, dia mahasiswa dikelas gue yang selalu duduk di area belakang. Di mata kuliah apapun dia akan selalu duduk di barisan paling belakang atau dua baris dari belakang.

Pandangan semua mahasiswa bener-bener fokus mengikuti arah pak Indra ke mana pun beliau berjalan dan berhenti. Ada satu mahasiswa yang bener-bener tugasnya langsung di silang besar gitu di buku gambarnya. Padahal pak Indra baru lihat sekilas, dan spidol merah itu sudah membuat tanda di buku gambarnya.

"Kamu pakai penggaris kan?" tanya pak Indra.

Dia hanya terdiam gak menjawab dan semakin menundukkan kepala, mahasiswa yang semakin menunduk itu bernama Harry. Kesalahan yang dia perbuat bener-bener fatal, sampai pak Indra geleng-geleng kepala ngeliat tugas-tugas dia.

Hampir semua garis yang dia kerjain menggunakan bantuan penggaris, entah di tengah garis atau di ujungnya, bantuan penggaris itu jelas-jelas terlihat. Walau diakalin sama dia dengan cara diteruskan secara free hand atau di timpa dengan cara free hand juga. Tapi, itu bener-bener jelas terlihat kalau dia pake penggaris.

Tugas dia rapi banget, gak ada lekok-lekok atau pun miring karna tangan pegel atau gemeteran pas bikin garis memanjang dengan satu kali tarikan nafas. Mahasiswa sekelas di panggil pak Indra untuk melihat kesalahan yang telah dilakukan Harry.

Di dalam hati gue bersyukur banget, karna akhirnya gue ngerjain ini secara free hand walaupun ada yang bergelombang dan terlihat miring sih.


PERTIMBANGAN PENCIPTA
Caira_Asmara Caira_Asmara

Siapa nama guru atau pun dosen kalian yang pelit nilai dan sangat teliti dalam memeriksa tugas?

Setelah itu, mata pelajaran atau mata kuliah apa yang beliau berikan?

Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C9
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk