BAB 6
Angela melihat berbagai kemewahan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Dia melihat meja, kursi, piring, gelas, sendok, garpu, dan segala perabotan dan perlengkapan lainnya yang terbuat dari emas, berlian, intan, permata dan segala jenis batuan berharga lainnya. Benar-benar seperti di surga. Para pelayan yang jumlahnya tidak terhingga, menghidangkan segala jenis sayur-mayur dan lauk-pauk yang Kenny Herry inginkan. Yang diinginkannya, akan tetap ada. Sayur-mayur atau lauk-pauk yang tidak diinginkannya akan menghilang dengan sendirinya. Hal yang sama terjadi pada menu minuman yang beragam dan beraneka jenis.
"Wah… Lezat sekali… Sudah lama aku tidak makan makanan Jepang. Tahulah aku kan sibuk kuliah dan kerja, Baju Biru…" tampak Angela menyantap makanan yang ada di hadapannya dengan lahap. "Kenapa kau bisa tahu sudah lama sekali aku tidak makan makanan Jepang?"
"Kau terlalu banyak berpikir, Gel. Memang hari ini aku lagi mood ingin menikmati masakan Jepang kok…" kata Kenny Herry sembari memasukkan satu suap ke dalam mulutnya dengan lahap.
Tampak Angela merapatkan sepasang bibirnya dan tampak pula raut wajahnya yang sedikit bersungut-sungut.
Makan siang selesai dengan cepat. Lupalah Angela dia masih harus ke PT. Keramik Rusli untuk kerja. Kenny Herry membawanya ke sebuah gerbong di mana dia bisa memilih pakaian perempuan dalam beragam gaya. Dia bebas memilih pakaian perempuan dalam gaya apa pun yang dia suka. Juga terdapat banyak sekali aksesoris perempuan mulai dari kepala hingga ujung jari kaki. Untuk beberapa saat lamanya, Angela serasa berada di surga, dan dalam sekejap dia melupakan segala urusan dan kehidupannya di dimensi manusia.
"Kau sangat memanjakan Angela," tukas si baju hijau yang berdiri di belakangnya.
"Kenapa kau tidak memanjakan Felisha juga?" tukas si baju biru sedikit mengerutkan dahinya.
"Mau sih… Tadi aku ke rumahnya pagi-pagi sekali, bermaksud menjemputnya pergi kerja. Tapi rupanya kedua orang tuanya sedang mengatur sebuah perjodohan untuknya!" tampak jelas gigi-gigi si baju hijau yang bergemelutuk.
"Bagaimana dengan kualifikasi sainganmu itu memangnya, Boy?" tanya Kenny Herry.
Boy mendengus, "Laki-laki yang cukup berduit sih… Anak bos sebuah penerbitan buku yang cukup terkenal di Jakarta sana. Rencananya akan buka cabang di Medan sini juga. Tapi, Felisha ada menanyakan tentang beberapa buku ke dia, dia tidak tahu apa-apa. Katanya dia tidak terjun ke bagian marketing. Dia cenderung lebih fokus ke bagian operasional dan cenderung mengurus bagian keuangan saja."
"Jelas dia tidak bisa dibandingkan dengan kekayaan yang kaumiliki sekarang," senyum Kenny Herry. "Ayah ibu Felisha dulunya begitu meremehkanmu. Sekarang jika mereka tahu jati dirimu dan kekayaan yang kaumiliki, mereka bukan hanya akan terkena serangan jantung, tapi mereka juga akan berlutut di hadapanmu dan memohon padamu untuk segera menikahi putri mereka satu-satunya."
"Itu nggak penting deh, Ken!" Boy kini meledak dalam tawa. "Yah, memang aku selama ini belajar ada uang, abang disayang; nggak ada uang, abang ditendang. Tapi, kau tahu deh bagaimana karakter dan kepribadian gadis yang kucintai itu. Dulu begitu, sekarang juga begitu…"
"Anak burung garuda dengan kehidupan kaya raya, tapi sayang sekali… Dia hidup di sangkar emas. Aku ingat dulu kau pernah menghindarinya dengan bersembunyi di rumahku dan kemudian bersembunyi di rumah Jacky. Dia juga bisa menemukanmu. Kalau tidak salah, itu kejadiannya satu bulan sebelum kau kerja di redaksi majalah Belanda dan Inggris itu. Benar-benar deh… Dia begitu tergila-gila padamu."
"Masih segar ingatanmu rupanya, Ken… Makanya aku bilang, segala yang kumiliki sekarang takkan bisa memenangkan hati Felisha jika dia tidak menemukan ketulusan dalam diriku. Itulah yang akan kutunjukkan padanya sekarang."
"Ayo, Boy… Kau bisa…" kata Kenny Herry memberi semacam dorongan semangat kepada sang sahabat.
Boy berlalu. Tinggal Kenny Herry yang terus memperhatikan Angela yang masih sibuk dengan pakaian dan aksesorisnya di dalam gerbong. Ketulusan, cinta dan sejuta kelembutan terpancar dari sorot mata Kenny Herry.
Angela menarik tangan sang malaikat birunya untuk memilih pakaian dan aksesorisnya sama-sama. Beberapa kali sang malaikat biru menganggukkan kepalanya dan beberapa kali juga tampak sang malaikat biru menggelengkan kepalanya.
Cinta, kelembutan, dan kebahagiaan berselarak pada sinar mata Kenny Herry.
***
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang.
Si baju merah mendadak muncul di depan Carvany yang sedang makan siang dalam ruangan kerjanya. Dia baru bisa makan siang ketika sebagian besar murid SD sudah pulang. Tentu saja Carvany sedikit terperanjat kaget dengan kemunculan sosok sang malaikat yang mendadak nan tiba-tiba.
"Tiba-tiba kau muncul begitu… Mengagetkan saja, Baju Merah…" Carvany mendengus sebentar.
"Jika tahu kau sekarang lagi makan siang, tadi aku akan membawamu makan di kereta api saja," tampak senyuman santai si baju merah. Kali ini dia tidak mengenakan jas dan celana panjang lagi. Dia tampil dalam kaus merah, celana jeans warna hitam pekat, dan sepatu sport yang juga berwarna merah.
"Nah, aku anggap itu sebagai utang janjimu kepadaku loh…" kata Carvany seraya menghabiskan sisa-sisa nasi padangnya.
"Tentu saja. Tidak masalah…" kata si baju merah santai.
Di koridor depan yang terhubung langsung ke ruangan lobby sekolah, tampak seorang murid SD perempuan sedang menunggu jemputannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu jemputannya. Dia mulai gelisah. Dia mulai takut kenapa sang ayah belum datang menjemput. Detik demi detik berlalu sebelum akhirnya sang ayah melangkah masuk ke bagian lobby sekolah. Tampak seorang lelaki pertengahan dua puluhan melangkah masuk dan mendekati si murid SD perempuan tersebut. Si lelaki pertengahan dua puluhan menatap si murid SD dengan sorot mata yang dingin nan membekukan sumsum tulang.
"Ayo kita pulang!"
"Kenapa kau lama sekali, Ayah? Kenapa kau lama sekali? Aku sudah lapar! Aku sudah kelaparan menunggu hingga satu jam lebih di sini, Ayah!" si murid SD perempuan mulai merengek.
Satu tamparan mendadak didaratkan pada wajah si anak. Tangisan si anak perempuan menjadi semakin keras.
"Sudah kubilang tunggu sebentar! Apa kau tidak bisa tunggu sebentar! Menyusahkan saja! Kau lapar, apa aku tidak lapar? Aku mau datang jemput kau saja seharusnya kau sudah bersyukur! Jangan kau kira rengekanmu itu bisa berguna di depanku ya!"
"Aku sudah menunggu satu jam lebih, Ayah! Aku sudah lapar!" si anak perempuan kini menangis tersedu-sedu.
Tamparan didaratkan si laki-laki ke wajah anak perempuannya lagi. Dia hendak menampar lagi ketika terdengar suara sang wakepsek dari dalam ruangannya.
"Oh, Bertha… Bertha… Kenapa menangis?"
Carvany keluar dan menghampiri si anak. Mendadak wajah si laki-laki pertengahan dua puluhan itu menampilkan sejuta kasih, sayang, dan kelembutan. Jelas terpancar naluri kebapakan dari sorot matanya dan tindak-tanduknya.
"Oh, Bertha Sayang… Bertha Sayang… Jangan menangis lagi ya… Tadi Ayah sibuk loh… Ini Ayah sudah datang. Kita akan pulang dan makan nasi kari ayam buatan Ibu."
Dia mendekap anak perempuannya erat-erat dan ke telinga anak perempuan itu, dia kembali membisikkan, "Awas kalau kau berani lapor pada Bu Carvany soal apa yang kaualami tadi! Akan kubuat kau tidak usah makan apa-apa seharian ini!"
Rasa takut mulai menggelimuni tudung sanubari si anak perempuan.
"Sekarang diamlah! Satu detik kau menangis lagi, jatah makanmu akan aku kurangi satu suap. Mengerti kau?"
Kontan tangisan si anak perempuan itu berhenti. Si baju merah yang memang sejak tadi berdiri di belakang lelaki pertengahan dua puluhan itu kini melemparkan sebersit senyuman sinis. Carvany tentu saja bisa melihat senyuman sinis pada sudut bibir sang malaikat merahnya. Carvany mulai merasa bertanya-tanya kenapa sang malaikat bisa tersenyum sinis begitu melihat ayahnya Bertha Tulas ini. Apa sebenarnya yang diketahui oleh si baju merah?
Si ayah berdiri dan langsung menyalami tangan sang wakepsek. Tentu saja Carvany sedikit terkejut karena kedua tangannya langsung disalami tanpa aba-aba terlebih dahulu.
"Terima kasih sudah bantu jagain Bertha ya, Bu Carvany… Kasihan sekali anak ini memang. Aku memang tiap hari jam segini baru bisa datang menjemputnya. Terima kasih pada Bu Carvany yang sudah menunggu bersama-sama dengannya."
"Memang sudah tugasku, Pak Sandy. Lagipula, memang jam kerjaku sampai jam empat sore nanti. Ini baru jam dua, jadi ketika kerjaanku tidak begitu banyak, aku bisa menemani Bertha mengobrol," tukas Carvany dengan sebersit senyuman ramah dan menarik tangannya dari genggaman tangan Sandy Austeen Tulas.
"Oh, biasanya setiap hari Bu Carvany juga pulangnya jam empat sore toh?" tanya Pak Sandy.
Si baju merah menangkap adanya maksud terselubung dalam pertanyaan Sandy Austeen Tulas. Dia menghilangkan dirinya dan dia kembali muncul dalam ruangan kerja Carvany.
"Iya…" Carvany mengangguk dengan sebersit senyuman ramah lagi.
"Biasa naik apa pulang, Bu Carvany? Perlu aku antarkan tidak? Rumah kami di Cemara Hijau saja. Kebetulan sekali aku juga jam empat baru off dari kantor. Kalau rumah Bu Carvany sejalan, mungkin Bu Carvany bisa nebeng ke mobilku saja."
"Tidak usah, Pak Sandy. Nanti merepotkan. Lagipula…"
"Carvany…" terdengar suara si baju merah dari dalam ruangan kerjanya. Carvany terjengat sejenak. Tampak jelas Pak Sandy Austeen Tulas ini juga bisa mendengar suara si baju merah yang berasal dari dalam ruangan kerjanya. Berarti, si baju merah memang sengaja memperdengarkan suaranya. Dengan demikian, bisa saja si baju merah akan keluar dari ruangan kerjanya dan Sandy Austeen Tulas ini bisa melihat sosok si baju merah.
Benar saja tebakan Carvany. Si baju merah keluar dari ruangan kerjanya.
"Tadi kau bilang hari ini kerjaanmu tidak begitu banyak kan? Kau sudah janji padaku mau menemaniku minum-minum di Starbucks. Bisa kita jalan sekarang?" tukas si baju merah dan kemudian dia menatap Sandy Austeen Tulas dengan sebersit senyuman ganjil.
"Masih ada orang tua yang datang menjemput anaknya jam-jam segini, Carvany?" tanya si baju merah dengan nada suara yang ganjil.
Untuk beberapa saat lamanya, Sandy Austeen terus memandangi malaikat merah yang kini berdiri di hadapannya. Mulai terbit semacam perasaan aneh di benaknya, suatu perasaan mengenal yang kurang wajar. Entah di mana dan entah kapan rasa-rasanya aku pernah bertemu dengan orang ini. Rasa-rasanya aku mengenal orang ini. Tapi, jelas itu tidak mungkin. Ini baru pertama kali aku bertemu dengannya. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya. Siapa sebenarnya orang ini? Pacar Carvany? Selama setahun aku mengenal sang wakil kepala sekolah, baru hari ini aku tahu dia sudah punya pacar.
"Iya, Rio…" Carvany terpaksa panggil asal-asalan. Tidak mungkin dia memperkenalkan si baju merah dengan nama Red di hadapan Pak Sandy Austeen ini. Tentu saja si baju merah memandangi Carvany dengan sorot mata penuh arti dan sebersit senyuman lucu.
"Ini Pak Sandy Austeen Tulas dan anak perempuan ini adalah anaknya, Bertha Tulas. Bertha sudah bersekolah di Oliver Plus ini sejak kelas empat SD tahun lalu. Sudah setahun sih…"
Si baju merah menatap Pak Sandy Austeen Tulas kembali sembari menganggukkan kepalanya. Dia sama sekali tidak terlihat akan mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Dan, Pak Sandy…" kali ini si Carvany yang memandangi Pak Sandy Austeen dengan sebersit senyuman ganjil pada wajahnya. "Ini pacarku, Rio Augusto Wiranata. Panggil saja Rio, Pak Sandy."
"Senang berkenalan denganmu, Rio. Aku Sandy," Sandy Austeen mengulurkan tangan. Barulah si baju merah mengulurkan tangan dan keduanya bersalaman.
"Bagaimana, Sandy? Apakah kau tidak merasa nama Rio Augusto ini begitu akrab di telinga atau bagaimana begitu?"
Tampak sebersit senyuman ganjil di wajah si baju merah lagi. Kontan Sandy Austeen mengerutkan dahinya. Rio Augusto Wiranata? Ya… Ya… Ya… Nama itu begitu akrab di telingaku. Ada apa ini sebenarnya? Semenjak bertemu dengan orang ini, perasaanku menjadi tidak enak dan aku deg-degan tanpa alasan yang jelas. Siapa sebenarnya orang ini?
"Apakah… Apakah… Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Sandy Austeen agak ragu-ragu.
Si baju merah menampilkan sebersit senyuman santainya, "Tidak… Hanya saja, aku merasa wajahmu begitu familiar. Jadi, aku rasa dulu-dulu begitu mungkin kita pernah bertemu entah di mana begitu. Rupanya hanya perasaanku…"
"Iya… Memang tidak pernah, Rio. Memang ini baru pertama kali aku bertemu dan mengenalmu. Oke, karena kalian sudah mau cabut, aku tidak ganggu lama-lama lagi. Ini Bertha juga belum makan. Aku duluan saja deh kalau begitu."
"Sampai jumpa besok, Pak Sandy. Hati-hati di jalan," Carvany mengantar kepergian Sandy Austeen Tulas dan anaknya dengan sebersit senyuman ramah.
Pak Sandy Austeen menganggukkan kepalanya dan berpamitan dengan sebersit senyuman cerah. Namun, begitu ia berpaling, senyumannya kontan lenyap. Wajahnya mendingin kembali, dan mulai menunjukkan sisi lain dirinya yang beringas. Bertha Tulas mulai menarik tangannya dari genggaman tangan laki-laki itu. Dia kembali takut terhadap laki-laki pertengahan dua puluhan itu.
"Kenapa bisa mendadak muncul ide dalam benakmu untuk memperkenalkan aku sebagai Rio Augusto Wiranata kepada laki-laki itu?" tanya si baju merah sepeninggal Sandy Austeen Tulas.
"Mendadak saja nama itu keluar. Nama Rio Augusto Wiranata ini juga ada dalam mimpiku. Aku pikir mungkin nama itu adalah nama aslimu. Bukan ya?" celetuk Carvany agak ragu.
Si baju merah menggeleng. Carvany kembali terpuruk dalam kekecewaan.
"Kau akan terkejut jika kukatakan padamu siapa Rio Augusto Wiranata itu."
"Siapa memangnya?" tanya Carvany dengan mulut yang sedikit menganga.
"Hati-hati ketika bergaul dengan Sandy Austeen Tulas itu. Dia bukan orang yang baik… Dia bermuka dua. Di depanmu akan bersikap sebagai temanmu. Namun, di belakangmu dia akan menjadi seorang musuh yang sangat mematikan. Dulu begitu, sekarang juga begitu…" tukas si baju merah seolah-olah mengabaikan pertanyaan Carvany.
"Hah? Benarkah? Really? Are you sure, Baju Merah?" Carvany terperanjat kaget. Sekarang dia mulai mengerti kenapa tadi si baju merah sempat memandangi Sandy Austeen Tulas dengan sebersit senyuman sinis.
"Apa kau tidak merasa anak itu langsung diam begitu ia memeluknya?"
"Ya, memang selalu seperti itu. Bertha gampang sekali menangis. Dia dalam kelas juga begitu, dalam pelajaran olahraga dan dalam kegiatan ekstrakurikuler apa pun juga begitu. Kami anggap memang pada dasarnya dia adalah anak yang cengeng. Tapi setiap kali ayahnya datang menjemput, dia sudah langsung diam dan tidak menangis lagi. Apa ada yang salah dengan itu? Wajar dong dia tidak menangis lagi begitu bertemu dengan ayahnya…"
"Anak yang dekat dengan orang tuanya, biasanya justru akan menangis dengan lebih keras – untuk mencari atau meminta perhatian lebih. Ini kau lihat saja si Bertha. Begitu Sandy Austeen Tulas memeluknya, pada saat itu juga dia langsung diam dan tidak menangis lagi. Diam karena patuh dan diam karena takut itu jelas berbeda, Carvany."
Carvany kembali terjengat di tempatnya berdiri. Dia mundur beberapa langkah. Kepalanya mulai terasa sedikit pening dan ia mulai kehilangan keseimbangannya. Sayup-sayup mimpi masa lalu kembali menggelincir di pucuk hati Carvany.
***
Mobil yang dikendarai oleh sopir pribadi sudah memasuki halaman rumah. Ada pembantu yang membukakan pintu pagar. Ada pembantu yang membukakan pintu depan. Tampak Bu Saniyem yang keluar dari dalam rumah dan menyambut kepulangan anak majikannya dengan sebersit senyuman hangat pada wajahnya. Bu Saniyem membukakan pintu mobil dan Felisha Aurelia tinggal melangkah turun dari dalam mobil.
Langkah-langkah Felisha Aurelia terhenti sejenak saat ia melihat ada mobil lain yang tidak ia kenal diparkir di halaman rumah juga.
"Hengky Fredieco datang lagi, Bu Saniyem?"
Bu Saniyem hanya mengangguk dengan tidak enak hati.
"Iya, Nona… Dari jam lima tadi sudah muncul di sini dan sampai sekarang tidak pulang-pulang," bisik Bu Saniyem dengan volume suara yang teramat kecil.
Felisha Aurelia menghela napas panjang. Ngapain lagi dia datang? Bukankah kemarin sudah kuberitahu dia untuk sementara aku tidak tertarik untuk menikah dengan siapa pun? Aku masih muda… Dua puluh lima tahun saja belum sampai… Mau menikah di usia yang sedini ini? Ini kan bukan di Tanah Deli lagi tahun 1932… Ini sudah menjadi kota Medan tahun 2018. Ayah & Ibu sungguh tidak ada kerjaan sampai-sampai mereka bisa mengatur perjodohan untukku segala!
Dengan langkah-langkah berat, Felisha Aurelia melangkah masuk. Di ruang tamu terdapat ayah ibunya dan Hengky Fredieco Godwin. Felisha Aurelia hendak melangkah masuk ke dalam begitu saja ketika terdengar suara berat ayahnya.
"Fel! Ini Hengky datang. Temani saja dia mengobrol dulu… Nanti jam tujuh begitu baru kau mandi…"
"Aku sudah capek, Ayah. Tidak bisakah aku mandi dulu?" belum tampak niat Felisha Aurelia untuk memutar badannya dan duduk di ruang tamu bersama-sama dengan kedua orang tuanya dan Hengky Fredieco.
"Apa-apaan kau ini!" suara ayahnya kembali berdentum, sama seperti kemarin pagi ketika Felisha menolak untuk bertemu dengan Hengky Fredieco. "Hengky ini bukan orang luar loh! Dia sengaja menyempatkan diri datang ke sini sore-sore begini sehabis dari kantor hanya untuk bertemu denganmu! Coba lihat bagaimana kelakuanmu ini!"
"Mungkin Felisha masih capek seharian disibukkan oleh segudang aktivitasnya di luar, Pak Erwan. Tidak apa-apa deh… Aku bisa menunggu. Biarkan saja Felisha mandi dulu," kata Hengky Fredieco berusaha menampilkan senyumannya yang ramah maksimal.
"Lihat itu, Fel! Orang masih membelamu meski kau tidak memberinya muka!" sambung Bu Quenby Clara Viraluo dengan tatapan sinis ke anak perempuannya. "Apa salahnya sih kau duduk sebentar di sini dan mengobrol dengan Hengky sebelum setengah jam lagi baru kau naik ke lantai atas mandi!"
Bu Quenby bangkit dari duduknya. Dia berjalan menghampiri anak perempuannya dan menarik tangan si anak untuk mendekat ke ruang tamu. Dia mendudukkan si anak perempuan dengan paksa ke samping Hengky Fredieco. Tampak raut muka Felisha yang merengut dalam.
"Ayo, Wan… Sudah jam enam… Para pembantu sudah selesai menyiapkan makan malam tentunya. Kita makan sekarang," kata Bu Quenby Clara sembari menarik tangan sang suami untuk masuk ke dalam menuju ruang makan.
"Oh ya… Kau mau makan sekalian, Hengky?" tanya Pak Erwan Viraluo sebelum ia benar-benar masuk ke bagian dalam rumah.
"Tidak usah, Pak Erwan… Tidak usah… Terima kasih banyak. Ini Ayah juga sudah Line aku untuk makan di rumah saja. Aku sudah mau cabut kok setelah aku mengobrol-ngobrol dengan Felisha…" kata Hengky Fredieco menampilkan sebersit senyuman ramah.
Pak Erwan Viraluo mengangguk. Dia dan istrinya segera berlalu masuk ke dalam. Tinggallah Hengky Fredieco dan Felisha Aurelia di ruang tamu. Tampak Felisha menjadi begitu gelisah dan berkali-kali ia meremas-remas kedua telapak tangannya sendiri. Sayup-sayup mimpi masa lalu kembali menyelangkupi muara hatinya.
"Pergilah! Aku tidak bisa bersama-sama denganmu lagi! Lupakan aku! Memang sejak awal hubungan kita adalah sebuah kesalahan! Memang kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama, Valencia!" terdengar suara si laki-laki dalam pakaian model China klasik warna hijau.
"Aku takkan pergi!" Valencia masih berdiri di belakang si lelaki dan masih tidak beranjak dari sana.
"Hubungan yang dipaksakan seperti ini takkan berakhir bahagia, Valencia! Sampai selamanya, ayah ibumu takkan merestui hubungan kita. Mereka takkan mengizinkan kau menikah denganku. Mereka hanya menginginkan Terry Liandy itu sebagai menantu mereka. Mereka akan segera menemukanmu di sini dan membawamu kembali. Kembalilah ke rumahmu sebelum semuanya terlambat," kata si lelaki baju hijau dan ia membalikkan badan membelakangi Valencia.
Air mata Valencia bergulir turun dengan deras, butir demi butir. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Susah payah dia mencari ke sana ke sini, akhirnya ia menemukan sang pangeran pujaan di rumah salah satu sahabatnya. Namun, bukan penerimaan sang pangeran pujaan yang didapatnya, malahan dia ditolak mentah-mentah dan disuruh kembali ke rumahnya sendiri.
"Kau tahu aku takkan bahagia jika aku menikah dengan Terry. Kau tahu hati dan masa depanku sudah kuletakkan di atas pangkuanmu. Menyuruhku kembali ke rumah itu dan kemudian menikah dengan Terry sama saja menyuruhku mati."
Valencia sudah memiliki persiapan rupanya. Seandainya dia tidak bisa mendapatkan lelaki yang benar-benar dicintainya, satu-satunya jalan terakhir baginya hanyalah kematian.
Valencia mendadak mengeluarkan sebilah pisau dari dalam tas tangannya. Dia hendak mengarahkan pisau tersebut ke lehernya ketika tangan si lelaki berbaju hijau mencegat dan menahan tangannya.
"Jangan bertindak bodoh, Valencia! Aku mohon hentikan perbuatan bodohmu ini! Kenapa kau mesti berbuat begini? Kenapa kau mesti berbuat begini demi aku?"
"Biarkan aku mati saja! Biarkan aku mati saja!"
Terjadilah dorong-mendorong antara Valencia dan sang pangeran pujaan. Namun, memang tenaga sang pangeran pujaan jauh lebih kuat. Dengan sekali dorong, pisau tersebut terlepas dari genggaman tangan Valencia dan terjatuh ke lantai. Valencia tampak membiarkan air matanya mengalir deras nan menganak sungai.
"Aku tidak pantas mendapatkan pengorbananmu seperti ini, Valencia… Aku sungguh tidak pantas menerima pengorbananmu ini. Dengan Terry Liandy, kehidupanmu bisa jauh lebih makmur dan kau akan lebih bahagia dibandingkan kau menghabiskan hari-hari tuamu bersamaku."
"Aku takkan memiliki hari tua lagi jika aku tidak bisa melewatinya bersama-sama denganmu. Aku akan mati sekarang. Jelas kau tahu hubungan kita adalah segalanya bagiku. Jelas kau berjanji akan membawaku keluar dari penjara emas yang selama ini mengungkungku. Jelas kau berjanji akan membawaku ke masa depan yang penuh dengan kebebasan. Ke mana semua janjimu itu, Boy? Di saat-saat aku sudah jatuh cinta 100% kepadamu dan sudah bergantung sepenuhnya kepadamu, apakah kau akan mencampakkan aku begitu saja?"
Masih tampak derasnya air mata Valencia yang menetes turun butir demi butir. Keraguan mulai terpercik dan bertengger dalam pikiran Boy. Keraguan dan cinta mulai saling bertaut di dalam padang sanubari. Cinta kembali berselarak di padang sanubari. Perang batin menyelisir di kuncup batin Boy untuk beberapa saat lamanya sampai akhirnya Boy menyerah pada tekanan cintanya yang sedemikian kuat. Dia segera merengkuh sang putri pujaan ke dalam pelukannya. Valencia membiarkan tangisannya pecah berderai dalam pelukan sang lelaki yang dicintainya. Dalam pelukan lelaki itu, Valencia merasa dia bisa menangis dengan bebas.
"Aku tidak mungkin bisa membahagiakanmu, Valencia. Denganku, kau hanya akan hidup susah. Setiap hari aku akan dikejar-kejar oleh orang-orang Belanda karena aku memang adalah seorang pemberontak. Hari ke hari, kita akan terus berlari dan bersembunyi. Itukah masa depan yang kauinginkan? Kau yakin kau akan bertahan hidup dalam kondisi yang seperti itu?"
"Aku sudah menjalani hari-hari seperti yang kaukatakan tadi selama dua tiga tahun belakangan ini, Boy. Aku berlari dari kejaran orang tuaku. Aku berlari dari kejaran Terry Liandy. Aku berlari dari semua orang yang menginginkan aku berpisah dari pasangan jiwaku. Tapi aku takkan berlari dari perasaan cintaku sendiri. Aku takkan melarikan diri dari masa depan yang kuimpikan. Aku takkan melarikan diri dari kebebasan yang telah kita perjuangkan dengan susah payah."
"Kau begitu menginginkan kebebasan? Apakah kau berpikir aku bisa memberikanmu kebebasan yang kauinginkan itu?" perlahan-lahan tangan Boy naik dan membelai-belai wajah sang putri pujaan.
Valencia mengangguk-ngangguk mantap. "Kau sedang memperjuangkan kebebasan negeri ini. Aku akan selalu berada di sampingmu, diam-diam… sama sekali takkan mengganggumu, tapi aku diam-diam sedang memperjuangkan kebebasan masa depan kita bersama. Bisakah… Bisakah… Bisakah kau membiarkan aku terus diam-diam berada di sampingmu?"
Boy mengangguk. Pas dia hendak merengkuh si putri pujaan ke dalam pelukannya lagi, terdengar dentuman suara Terry Liandy di belakang mereka. Boy dan Valencia terhenyak bukan main. Ternyata Terry Liandy telah menemukan tempat persembunyian mereka.
"Apa-apaan ini, Valencia! Kau adalah calon istriku! Ayah ibumu setuju kau menikah denganku, bukan dengan si pemberontak ini! Aku harap kau tidak lupa hal itu!" suara Terry Liandy berdentum.
Tampak Terry Liandy mengarahkan sepucuk pistol ke Boy. Tampak sorot mata Terry Liandy yang mendelik tajam penuh dengan marah dan benci.
"Turunkan senjatamu! Peluru tak punya mata! Kau akan melukai Valencia secara tidak sengaja nanti!" teriak Boy mulai merasa gelagapan karena dia yakin Terry Liandy pasti memiliki sejumlah anak buah yang mengikutinya sampai ke tempat persembunyiannya.
"Itu dia Boy Eddy Wangsa! Tangkap dia dalam keadaan hidup atau mati!" teriak salah seorang anak buah Terry Liandy, memberikan arahan pada anak-anak buah yang lain.
Satu tembakan dilepaskan dan langsung mengenai tangan kiri Boy Eddy Wangsa. Boy mundur beberapa langkah secara sempoyongan. Tampak tetesan-tetesan darah di lantai kayu. Tembakan kedua dilepaskan lagi dan mengarah ke dada kiri Boy Eddy Wangsa. Valencia Fang maju dan menangkis peluru tersebut. Akibatnya, peluru tersebut bersarang pada pundak kanannya. Dia memekik tertahan dan terjatuh ke dalam pelukan sang lelaki pujaan yang dicintainya. Boy kontan mengeluarkan sepucuk pistol juga dari saku celananya dan satu peluru dimuntahkannya ke lutut kanan Terry Liandy. Terry Liandy menjerit tertahan. Dia memberi isyarat pada anak-anak buahnya untuk berhenti melepaskan tembakan.
"Hentikan tembakanmu! Atau mungkin kau lebih senang kita sama-sama ke neraka, Terry Liandy…?" tampak senyuman sinis Valencia Fang dari wajahnya yang sudah semakin lemas dan lemah.
"Kau tidak apa-apa, Valencia?" tanya Terry Liandy dengan raut wajah khawatir.
"Ada Boy yang akan merawatku. Kau tidak perlu cemas. Satu hal yang pasti kuberitahu padamu. Jika kau berani datang dan hendak melukai Boy lagi, aku akan membuatmu membayarnya dua kali lipat daripada hanya sekadar luka di lututmu itu! Aku serius, Terry Liandy… Camkan kata-kataku itu baik-baik!"
"Kenapa kau bisa berkorban sebanyak itu untuk laki-laki yang tidak lebih dari seorang pemberontak sampah? Tidakkah kau merasa pengorbananmu ini terlalu banyak dan terlalu bodoh, Valencia?" terdengar lagi suara Terry Liandy yang berdentum.
"Dia memperjuangkan kebebasan negeri ini, Terry Liandy. Aku akan berada di sampingnya terus karena aku juga sedang memperjuangkan satu kebebasan. Tapi, kau yang jelas-jelas adalah orang dari negeri ini, kini bisa berdiri di pihak musuh dan berbalik menyerang negeri ini! Mati sebagai seorang pemberontak jauh lebih ada harga dirinya daripada mati sebagai seorang pengkhianat!"
"Mundur semua!" teriak Terry Liandy kepada anak-anak buahnya ketika dirasakannya beberapa dari mereka mulai bergerak maju lagi. "Aku akan kembali lagi, Valencia. Aku tetap akan kembali mengklaim apa yang seharusnya menjadi hakku! Aku akan kembali lagi…"
Terry Liandy dan beberapa anak buahnya menghilang dari pandangan mata.
"Sudah kubilang… Bersamaku kau hanya akan berada dalam bahaya. Aku tak sanggup melindungimu! Aku bahkan tidak bisa melindungi hidupku sendiri! Aku bahkan tidak tahu apakah aku pasti memiliki hari esok atau tidak! Inikah hidup yang benar-benar kauinginkan? Inikah masa depan yang kauimpikan, Valencia?" tampak sebutir air mata ketidakberdayaan gelingsir di ekor mata Boy.
Valencia menyeka ekor mata sang pangeran pujaan. "Begini sudah benar, Boy… Begini sudah benar… Kadang dengan membiarkanku di sampingmu saja, kau sudah menuntunku ke kebebasan yang kuimpikan. Dengan hari-hariku kelak yang penuh dengan kebebasan di sampingmu, itu semua sudah sangat tidak tergantikan dengan apa pun di dunia ini."
Boy Eddy mendaratkan satu ciuman mesra nan penuh dengan kepedihan ke bibir sang putri pujaan yang begitu ia cintai dan ia agungkan. Cinta kembali bergelitar di teluk batin Boy dan Valencia.
Pikiran Felisha Aurelia bergerak kembali ke alam realita. Dia menatap Hengky Fredieco yang masih ada di sampingnya dengan sorot mata nanar.
"Apakah kemarin belum jelas?"
Hengky Fredieco hanya bisa membalas pertanyaan itu dengan sebersit senyuman lirih.
"Kenapa kau kembali lagi?"
"Sudah kukatakan kepadamu bukan? Begitu melihatmu, aku yakin kaulah perempuan yang ada dalam mimpiku selama ini. Aku yakin aku sedang mencari-cari perempuan itu selama ini. Dan kini aku yakin perempuan itu adalah kau, Felisha…"
"Sudah kubilang mimpi hanyalah cerminan yang tidak berarti dari sepenggal masa lalu. Kau belum memastikan isi mimpi itu secara lengkap, kenapa kau begitu yakin bahwa perempuan yang kaucari-cari selama ini adalah aku? Kau yakin kau sedang mencariku selama ini?"
Tampak sinar mata yang sedikit menantang dari mata Felisha Aurelia. Hengky Fredieco terperanjat kaget sejenak. Gadis ini mendadak menjadi lain. Apakah ini karakter dan kepribadiannya yang sesungguhnya? Apakah yang ditunjukkannya kemarin pagi itu bukanlah karakternya yang asli?
Bingung mulai mengeriap di tudung sanubari Hengky Fredieco.
"Maksudmu?" Hengky Fredieco mengerutkan dahinya dalam-dalam.
"Selain perempuan yang kaucari-cari dalam mimpi itu, aku yakin masih ada satu orang laki-laki lagi yang menjadi rivalmu yang utama. Apakah kau tahu siapa dia? Jika kau sudah menemukan laki-laki dalam baju model China klasik warna hijau, kau baru bisa menemukan perempuan yang kaucari-cari itu."
Mata Hengky Fredieco membesar. Panik mulai melungkup di benaknya. Kenyataan satu demi satu sudah semakin terperuak. Kepingan masa lalu kembali mengeriap di pesisir sanubari hati.
"Oke, Dedrick… Aku pasti akan mengumpulkan bukti bahwa yang telah membunuh Tuan Ambrose Vanderbilt adalah tiga sahabat The Amazing Boys," kata Terry Liandy menunjukkan sebersit senyuman sinis pada wajahnya.
"Terima kasih, Sahabat… Sudah kuduga kau adalah mata-mata yang bisa kuandalkan dalam hal ini. Jangan khawatir… Keluarga Jenderal Ambrose Vanderbilt pasti akan memberimu kompensasi yang pantas jika kau bisa membuktikan tiga sahabat The Amazing Boys itu adalah pembunuhnya," tampak sepasang mata Dedrick de Groot yang mendelik tajam.
"Aku pasti akan menemukan buktinya. Bagaimanapun juga, aku harus menemukan bukti pembunuhannya dan menyeret ketiga sahabat itu ke hukuman mati. Dengan demikian, takkan ada lagi yang bisa berebutan Valencia denganku."
Terry Liandy meletakkan gelas yang ada dalam genggaman tangannya ke atas meja dengan kasar. Tampak senyuman sinis lagi di wajah Dedrick de Groot.
"Kau sangat membenci The Amazing Boys aku lihat."
"Ya… Mereka begitu licin dengan siasat dan taktik pemberontakan mereka. Mereka menggunakan klub korespondensi yang dibentuk oleh Ivana Pangdani itu sebagai kedok. Mereka juga banyak mengadakan bakti sosial untuk masyarakat di Tanah Deli ini. Semua penghasil dan petani rempah-rempah di Tanah Deli ini ada di pihak mereka. Kita tidak bisa berbuat banyak."
"Kecuali kita punya bukti mereka yang telah membunuh Jenderal Ambrose Vanderbilt. Dengan demikian, kita punya alasan untuk menyingkirkan mereka. Takkan ada yang bisa membela mereka lagi jika bukti itu sudah ada di tangan kita," senyuman sinis Dedrick de Groot kembali menghiasi wajahnya yang putih bersih.
"Iya… Semua petani dan penghasil rempah-rempah itu akan terdiam jika pada akhirnya nanti aku berhasil membuktikan merekalah yang telah membunuh seorang jenderal petinggi di Tanah Deli ini. Lihat saja nanti…"
"Kau tampaknya punya keyakinan yang tinggi, Ter…" tukas Dedrick de Groot mengangkat gelasnya lagi. "Aku akan bersulang untuk keberhasilanmu."
Keduanya bersulang. Setengah jam kemudian, Terry Liandy mengantar kepulangan Dedrick de Groot dari kantornya. Begitu ia kembali ke ruangan kantornya lagi, ia terperanjat kaget mendapati Valencia Fang sudah duduk di depan meja tulisnya. Kini Valencia Fang menatap Terry Liandy dengan sorot mata nanar.
"Sejak kapan kau masuk ke dalam ruangan kantorku?" tanya Terry Liandy sedikit gelagapan.
"Sejak kapan seorang notaris menjadi mata-mata musuh dan pengkhianat negerinya sendiri?" air mata kekecewaan mulai menggenang di pelupuk mata.
"Apakah kau menangis untukku atau untuk Boy Eddy Wangsa itu? Jika air matamu itu adalah untuknya, simpan saja air mata itu. Aku tak sudi melihatnya!" ujar Terry Liandy dengan gigi-giginya yang bergemelutuk. Ia tampak berdiri membelakangi Valencia Fang.
Valencia Fang menghapus rinai-rinai air matanya. Ia sadar menangis di hadapan Terry Liandy takkan membuat lelaki itu mundur dari tindakan dan keputusannya.
"Kau kira kau bisa mendapatkan bukti keterlibatan The Amazing Boys dalam kematian Jenderal Ambrose Vanderbilt?" tampak sorot mata menantang di kedua bola mata Valencia.
"Kau pikir aku tidak sanggup mendapatkannya?" balas Terry Liandy dengan sorot menantang yang sama.
"Mmm…" tampak sebersit senyuman sinis Valencia di sini. "Jenderal Ambrose sendiri saja sampai di hari kematiannya tidak bisa membuktikan keterlibatan klub korespondensi itu dan The Amazing Boys dalam usaha-usaha pemberontakan yang terjadi di Tanah Deli selama beberapa tahun terakhir. Kau tahu nggak? Kadang kau tidak boleh menggantungkan kepercayaan dirimu itu terlalu tinggi."
"Aku pasti akan bisa membuktikannya! Kau sudah tahu selama ini The Amazing Boys menggunakan kedok klub korespondensi itu untuk melancarkan usaha pemberontakan mereka dan menggulingkan pemerintah! Kenapa kau diam saja! Kau itu sebenarnya berada di pihak mana sih! Jelas kau tahu pemberontak takkan bisa bertahan lama di negeri ini! Hanya ada hukuman mati bagi mereka!"
Valencia berdiri dan kini menatap Terry Liandy dengan pandangan tajam.
"Kau adalah seorang pengkhianat dan kau masih bisa mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakanmu itu! Aku tidak tahu aku berdiri di pihak yang mana, tapi asal kau tahu saja… Aku sedang berdiri di pihak yang benar! Kau takkan bisa mendapatkan bukti itu! Aku takkan berdiam diri begitu saja! Jika kau ingin membungkam mulutku, kau harus membunuhku!"
Valencia Fang berlalu begitu saja dari ruangan kantor Terry Liandy. Naik emosinya sampai ke ubun-ubun, Terry Liandy menjatuhkan semua barang yang ada di atas meja ke lantai.
"Diam-diam makan dalam… Sungguh tak kusangka Valencia bisa memiliki karakter dan prinsip yang begitu kuat. Diam-diam dia selama ini, ternyata dalam otaknya itu bisa mengalir prinsip dan pemikiran yang begitu kuat. Dia mulai menjadi liar. Dia harus segera dijinakkan… Dia harus segera ditenangkan kembali…" kata Terry Liandy dalam hati dengan sekelebat pemikiran jahat yang menyelisir di semenanjung batinnya.
Sontak alam pikiran Hengky Fredieco kembali ke masa kini. Dia menatap Felisha Aurelia yang ada di hadapannya kini dengan sepasang mata yang membelalak lebar.
"Kau… Kau… Kau adalah…" Hengky Fredieco mulai bergelugut dan tak kuasa menyelesaikan pernyataannya.
"Pergilah dari sini sebelum semuanya menjadi lebih runyam dan lebih rumit! Aku tak mau berteman dengan seorang pengkhianat! Jangan pernah lagi kau muncul di depanku, Terry Liandy!" kata Felisha Aurelia dengan sebersit senyuman tipis nan sinis.
Pas pula si ayah yang sudah selesai makan malam, kembali ke ruang tamu di depan. Ia mendengar semua kata-kata putrinya kepada calon menantunya.
"Felisha! Apa kau bilang tadi?" bentak Pak Erwan dengan keras. Dia berjalan menghampiri putrinya dan berteriak dengan keras, "Kau ini sungguh tidak tahu berterima kasih! Dengan karakter dan perangaimu yang seperti ini, siapa coba yang menginginkanmu sebagai istri? Sudah syukur Hengky mau mencoba untuk menjajaki suatu hubungan yang serius denganmu. Bukannya berterima kasih padanya, kau malah mengusirnya! Apa-apaan kau ini? Kau ingin membuatku malu di depan Hengky dan kedua orang tuanya?"
"Terima kasih kepada kalian karena telah bersusah payah mengatur suatu perjodohan untukku. Namun untuk sementara waktu ini aku masih ingin sendiri," kata Felisha Aurelia dengan wajah yang merengut dan ia membuang pandangannya ke arah lain.
"Aku yang mengatur perjodohan ini, Felisha!" suara Pak Erwan semakin lama semakin meninggi. "Apa yang harus aku bilang ke ayah ibu Hengky jika ternyata nanti mereka mendapati kau sama sekali tidak ada sopan santunnya dan telah mengusir Hengky dengan kasar? Hah? Kau ingin membuatku malu benaran ya…? Kau ini benar-benar tidak tahu diuntung ya…!"
Tangan Pak Erwan naik dan hendak mendarat di pipi Felisha Aurelia ketika mendadak dirasakannya ada tangan lain yang tak terlihat menahan tangannya. Pak Erwan berusaha menggerakkan tangannya. Namun, tangannya itu sama sekali tidak bergerak. Yang ada, dia malahan didorong mundur dan ia terduduk ke sofa di belakangnya secara sempoyongan.
Felisha segera menyadari adanya kehadiran sang malaikat hijaunya di ruang tamu tersebut. Namun, dia hanya diam-diam dan tidak berucap sepatah kata pun. Pak Erwan dan Hengky Fredieco memutar kepala mereka ke sekeliling. Gelisah dan takut mulai terpancar dari bola mata mereka.
"Tidak apa-apa, Pak Erwan. Mungkin Felisha masih membutuhkan sedikit waktu untuk beradaptasi denganku. Dia masih shocked dengan perjodohan yang mendadak ini. Tidak masalah… Aku bisa menunggu. Aku akan kembali lagi besok atau lusa. Aku akan pelan-pelan berbicara dengan Felisha supaya dia bisa mengerti aku hanya ingin mengenalnya dengan lebih dekat."
Hengky Fredieco meraih kunci mobilnya dari atas meja tamu. Dia segera berlalu dan langsung menghilang dari pandangan mata hanya dalam waktu beberapa detik.
Bu Quenby Clara merasa geram dengan tingkah laku anak perempuannya. Dia menghampiri anak perempuannya dengan beberapa langkah lebar.
"Apa sih yag telah kaukatakan kepada Hengky sehingga dia tampak begitu ketakutan?" tanya Bu Quenby Clara dengan gemas.
"Ibu tanya saja padanya kenapa bisa merasa takut tidak jelas begitu. Mana tahu aku dengan apa-apa saja yang dipikirkannya."
Felisha Aurelia segera berlalu dari kedua orang tuanya. Ia masuk ke bagian dalam rumah dan naik tangga ke lantai atas.
"Kembali kau, Felisha! Aku belum selesai bicara nih! Felisha! Felisha! Kau dengar aku tidak sih!" masih terdengar teriakan si ayah di ruang tamu.
"Beri dulu ia sedikit waktu, Wan. Aku rasa ia hanya terkejut karena perjodohan ini datangnya mendadak tanpa kita beritahu dia dulu jauh-jauh hari," kata Bu Quenby Clara dengan sebersit senyuman menenangkan.
"Kali ini kau jangan coba-coba untuk membela dan memanjakannya lagi. Bagaimanapun juga, kedua orang tua Hengky itu adalah pelanggan utamaku. Aku ingin keluarga kita dan keluarga mereka menjadi besan."
Pak Erwan juga berjalan masuk ke bagian dalam rumah dengan cepat. Ia masuk ke dalam kamar dan membanting pintu di belakang punggungnya. Terry Liandy? Kenapa Felisha bisa memanggil Hengky dengan suatu nama lain yang begitu asing? Apakah itu nama lainnya atau nama sebutannya? Tapi selama ini aku selalu dengar ayah ibunya memanggilnya dengan Hengky saja. Tidak pernah ada nama lain… Kenapa Felisha bisa menyebutkan nama itu?
Bingung dan tanda tanya terus meragas alam bawah sadar Pak Erwan Viraluo.
Di lantai dua, akhirnya Felisha sampai di dalam kamarnya. Dengan wajah yang masih merengut dalam, dia mengunci pintu kamar dan merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Keriap kesal masih menggelincir di pucuk pikirannya.
"Sepertinya ayah ibumu bersikeras kau harus menjalin hubungan dengan Hengky Fredieco. Terjadi pertengkaran yang cukup sengit di bawah tadi," kata si malaikat berbaju hijau.
Felisha bangkit dan menatap sang malaikat hijau dengan tatapan nanar. Air mata mulai terbit dan menggenang di bawah kelopak mata.
"Apa sebenarnya yang kaukatakan pada Hengky Fredieco itu sehingga dia bisa langsung angkat kaki dari sini?" tanya si baju hijau sembari sedikit mengerutkan dahinya.
"Kau tidak tahu? Aku kira kau juga berada di ruang tamu tadi."
"Ya, aku memang berada di ruang tamu. Dari kata-katanya, aku tahu Hengky Fredieco adalah Terry Liandy di kehidupan lampau. Hanya saja, aku tidak mengerti kenapa dia bisa begitu takut padamu setelah itu dan kau bisa mengusirnya dengan mudah."
Felisha Aurelia tersenyum kecut sejenak. Dia tampak menerawang keluar jendela kamarnya.
"Benaran kau ingin tahu, Baju Hijau?"
"Nah, sekarang kau membuatku takut dan deg-degan. Ada apa? Apa kau mengingat sesuatu?" si baju hijau menghampiri Felisha Aurelia dan mengamatinya lekat-lekat.
Mendadak Felisha Aurelia meraih si malaikat hijau ke dalam pelukan. Tentu saja si malaikat hijau sedikit tertegun dipeluk secara tiba-tiba seperti itu.
"Hengky Fredieco bisa ketakutan karena dari tatapan mataku, secara tidak langsung aku memberitahunya satu hal."
"Apa… Apa itu?"
Felisha Aurelia melepaskan pelukannya. Kini ia menatap lekat-lekat ke mata sang malaikat hijau. "Bahwa aku adalah… adalah… adalah Valencia Fang di kehidupan lampau."
Kini sang malaikat berbaju hijau seolah-olah tersadarkan dari mimpinya yang panjang, bagai gementam halilintar yang mengoyak keheningan mimpinya.
"Aku juga ada tanya dia. Selain Valencia yang ingin dia cari-cari, masih ada satu laki-laki lagi yang juga menjadi rival utamanya di dalam mimpi. Aku tanya dia apakah dia tahu siapa nama laki-laki itu. Ia menyadari segalanya dan langsung ambil langkah seribu setelah itu. Entahlah… Merasa bersalah dengan segala kejahatannya mungkin. Makanya aku bilang, lebih baik dia cepat pergi dari rumahku ini sebelum semuanya menjadi lebih runyam dan rumit, karena aku tidak suka berhubungan dengan seorang pengkhianat."
Si baju hijau masih membisu seribu bahasa dengan mulutnya yang menganga selama beberapa detik.
"Kau sudah mengingat semuanya…?"
"Tidak semua sih… Aku tidak ingat kenapa kita berdua bisa berakhir dan akhirnya bisa terpisah. Aku tidak ingat apakah Terry Liandy ada datang lagi mengancam kita atau tidak setelah kejadian itu. Aku juga tidak ingat apa yang terjadi kemudian pada klub korespondensi itu setelah kematian Jenderal Ambrose Vanderbilt."
Si baju hijau mengangguk-ngangguk. Berarti gadis di sampingnya ini hanya mengingat sekitar 40% dari kehidupan masa lampaunya.
Felisha Aurelia merengkuh si malaikat pujaan hati ke dalam pelukan lagi. Air mata mulai terbit. Tampak bahu Felisha Aurelia mulai naik turun dengan irama yang teratur. Dia mulai terisak-isak.
"Anak buah Terry Liandy pernah melukai tangan kirimu kan? Meski tanganmu terluka parah, kau tidak berteriak sekali pun dan tetap bisa melindungiku. Entah kenapa hatiku selalu merasa sakit setiap kali kenangan itu mencuat ke permukaan," Felisha Aurelia mulai meledak dalam isakan tangisnya.
Si baju hijau mempererat pelukannya. Dia memicingkan matanya sejenak dan menikmati saat-saat kedekatannya dengan sang putri pujaan yang teramat dicintainya.
"Aku tidak apa-apa. Kau juga terluka waktu itu saat kau menangkis peluru yang kedua. Aku akan mati pada saat itu juga jika seandainya kau tidak menangkis peluru yang kedua. Demi aku, kau sudah banyak menderita."
"Apa yang terjadi setelah itu? Apakah kau tidak bisa menulis lagi? Aku ingat waktu itu kau bekerja di redaksi majalah Belanda dan Inggris. Apa kau tidak bisa bekerja lagi setelah itu?"
"Aku masih masuk kerja setelah itu…" kata si baju hijau sembari membelai-belai wajah dan rambut poni sang putri pujaan. "Kau yang menjadi kedua tanganku. Kau yang mengetikkan semua naskah artikel majalah yang akan diterbitkan. Kau yang membantuku menulis semua suratku dalam klub korespondensi. Tanpa kau waktu itu, aku benar-benar bagai butiran debu."
"Aku benar-benar tidak bisa mengingatnya, Boy."
"Tidak apa-apa… Kau akan mengingatnya perlahan-lahan nanti. Biarkan segalanya mengalir bagai air sungai, Felisha. Semuanya akan memunculkan diri ketika sudah tiba pada waktunya."
Felisha Aurelia menenggelamkan diri dalam pelukan Boy Eddy Wangsa. Kenangan lama kembali merecup rindu dan cinta dalam kelopak pikiran keduanya.