Hari dengan cepat menjadi larut. Penduduk kediaman masuk ke kamar mereka masing-masing dan keheningan yang pekat melanda. Tidak terdengar bunyi apapun dari dalam maupun luar kediaman.
'Sunyi ... terlalu sunyi....'
Mihai membalikkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan sangat tidak nyaman. Matanya terpejam tapi rasa kantuk tidak kunjung menghampirinya.
Merasakan pergerakan, Liviu terbangun. "Da?" Matanya terbuka lebar, terlihat sekali, ia juga belum tertidur.
"Tidak ada apa-apa. Kembalilah tidur," ujar Mihai memberi Liviu senyum kecil.
Keduanya kembali memejamkan mata.
Namun, Mihai benar-benar tidak tenang. Belum lama, ia kembali membalikkan tubuhnya ke arah lain. Lalu, selang beberapa detik, ia kembali membalikkan tubuhnya ke arah yang sebelumnya.
'Aku tidak bisa tidur!'
Padahal Mihai merasakan kelelahan yang luar biasa.
Setelah sekian lama tidur di luar, akhirnya ia bisa kembali tidur di atas tempat tidur. Bahkan, di atas tempat tidur yang berkali-kali lipat lebih empuk dan nyaman.
Namun, ia tidak tenang.
Luas kamar, tempat tidur, dan keheningan yang menyelimutinya ini membuat ia merasa tidak aman dan merangsang instingnya untuk tetap berjaga.
Lantaran, sebagai orang yang miskin, ia tidak punya rumah yang besar. Kamarnya kecil dan ditempati bersama dengan seluruh anggota keluarganya. Selain itu, walaupun rumahnya berada di bagian yang sangat terpencil dari area pemukiman para half-beast, rumah mereka memiliki dinding yang tipis. Jika ada acara di area pemukiman yang ramai, suara gaduhnya akan sangat terdengar. Jika tidak ada acara pun, suara hewan-hewan kecil di dalam perbukitan dan gesekan daun pepohonan yang diterpa angin akan menemaninya selama tidur.
Tidak tahan lagi, akhirnya Mihai bangun dari tempat tidur. Matanya melirik jam dinding bergaya kuno yang tergantung di hadapan tempat tidurnya menunjukkan pukul 1 subuh.
'Sudah jam segini....' Melihatnya saja membuat Mihai menguap. Namun, ia tetap tidak bisa tidur.
Keberadaan Liviu juga tidak mempan karena ukurannya yang kecil membuat hawa keberadaannya tidak terlalu terasa oleh Mihai.
'Setidaknya aku butuh sesuatu yang membuatku merasa tempat ini lebih sempit dan terasa ramai....'
"Kalau bertambah seorang lagi?" Sebuah suara wanita mengalir di dalam benaknya.
Mengikuti suara itu, sebuah ide muncul di dalam otaknya. Ia bisa pergi ke kamar Luca!
Ia segera menurunkan kakinya dari tempat tidur dan berdiri.
"Da?" Liviu segera merangkak ke atas punggung papanya, ingin tahu apa yang ingin dilakukan Mihai.
"Kau ingin ikut?"
Liviu tidak tahu tujuan papanya tapi ia akan ikut ke mana pun papanya pergi jadi Liviu langsung ber-da! dengan tegas.
Pelan-pelan, Mihai membuka pintu kamarnya dan lorong yang gelap gulita memasuki pandangannya. Hawa dingin yang memenuhi lorong itu membuat Mihai merinding.
Ia tidak takut hantu ... seharusnya....
Ia juga tidak pernah takut kegelapan.
Namun, mungkin karena kediaman ini masih asing baginya dan begitu luas – ia tidak terbiasa dengan luas ini, ia tidak bisa merasakan keamanan.
Dengan penuh ke-was-was-an, ia menutup pintu kamarnya lalu berjalan menyusuri lorong sambil celingak-celinguk, mengawasi sekitarnya.
Segala fokusnya terampas oleh rasa tidak tenang itu membuatnya tidak menyadari sebuah keanehan. Ia tidak tahu penataan kediaman ini, apalagi letak spesifik kamar Luca. Namun, ia dengan yakin menyusuri lorong itu dan secara otomatis berhenti di sebuah pintu bercat putih krem dengan gaya yang sama dengan pintu kamarnya. Di sela-sela pintu yang tertutup rapat itu, cahaya kekuningan merembes keluar.
Tanpa ragu-ragu lagi, Mihai mengetuk pintu itu tiga kali. "Muka suram, kau masih bangun?" panggilnya dengan volume suara yang lebih kecil karena tidak mau mengganggu yang lain.
"..."
Tidak ada jawaban.
Mihai mengernyit bingung. Dilihat dari cahaya yang merembes, seharusnya pria itu belum tidur. Ia kembali mengetuk tiga kali dan melontarkan pertanyaan yang sama,
Hasilnya tetap saja. Tidak ada jawaban.
'Apa dia tipe orang yang tidur dengan lampu menyala?'
Mungkin saja. Namun, kemungkinan lain juga ada, seperti Luca sengaja mengabaikannya.
'Kalau memang begitu, tidak bisa dibiarkan!'
Terlepas dari apakah itu kenyataannya atau tidak, darah sudah keburu mendidih hingga kepala.Tanpa pikir panjang, Mihai memutar gagang pintu itu.
Niat awalnya adalah menggedor pintu itu hingga Luca membukanya. Namun, tanpa ia duga, pintu itu terbuka dengan mudah diiringi dengan bunyi kriett yang halus.
Masih terkejut oleh hal yang tidak terduga, Mihai ragu-ragu menjulurkan kepalanya melalui sela pintu yang terbuka. "Muka suram...?!"
Sesuatu yang bidang berwarna putih bergaris-garis hitam kebiruan terpampang di depan matanya membuat Mihai bingung. 'A—apa ini?'
Ia menjulurkan tangannya untuk merasakan benda itu dan mendapati perpaduan kain lembut dan sesuatu yang berisi dan padat tapi sedikit lentur. 'Apa ini? Daging?' Tebaknya sambil terus meraba-raba.
Tiba-tiba, hembusan lembut menggelitik pangkal kepalanya.
"Berhentilah memegang."
"Wuah!" Suara rendah tiba-tiba terdengar dari atas kepalanya membuat ia meloncat mundur beberapa langkah.
Matanya langsung bertemu pandang dengan sepasang iris merah yang tajam. Itu adalah Luca Mocanu dan ternyata benda yang dari tadi ia raba adalah perutnya Luca!
Wajah Mihai refleks memanas.
Di sisi lain, Luca menatap tajam kepada Mihai dengan penuh selidik. Melirik pintu kamarnya sebentar lalu kembali pada Mihai lagi.
"Mengapa kau bisa membuka pintu kamarku?"
Mihai yang masih belum bisa melupakan bentuk perut Luca di tangannya itu tidak lagi mendengar perkataan Luca. Pikirannya membayangkan bentuk perut yang six pack sesuai dengan apa yang telah ia raba dan seketika itu juga ia merasa kepalanya diambang meledak.
'A—apa yang aku pikirkan?! A—aku juga punya badan seperti itu!' Mihai tidak bohong. Badannya juga cukup berotot akibat kebiasaan berkelahi dan pekerjaan kasarnya. Namun, entah mengapa, memikirkan hal ini dengan Luca sebagai modelnya membuat ia malu tingkat dewa.
Tanpa ia sadari, Luca sudah menutup kembali pintu kamarnya dan meninggalkan Mihai dalam kegelapan.
"Da! Da!" Mihai kembali sadar oleh tamparan halus dari Liviu pada pipinya.
Matanya mengerjap-ngerjap bingung oleh kegelapan di sekelilingnya untuk beberapa saat....
Satu detik....
Dua detk....
Tiga detik....
"Ah! Aku datang ke sini bukan untuk membayangkan perut si muka suram itu!"
Kembali diingatkan, Mihai segera membuka pintu kamar Luca dan....
BRUUK!
Wajah Mihai mencium dinding tak kasat mata yang menutupi seluruh kusen pintu. Wajah dan tangannya menempel erat pada dinding itu dengan kedua mata yang merem dan tertarik ke atas, hidung yang memesek, dan bibir yang terbuka lebar terpampang jelas di hadapan Luca.
Ada sesuatu yang menggelitik tenggorokan Luca ketika melihat wajah kacau itu. 'Hm ... apa ini?'
Belum sempat merenungkannya, Mihai sudah selesai dengan syoknya dan langsung berteriak marah.
"SIALAN! LAGI-LAGI PENGHALANG! MUKA SURAM, BIARKAN AKU MASUK! AKU HARUS TIDUR!" Mihai menonjok dinding penghalang dengan ganas.
Liviu ber-da ria memberi semangat.
'Apa hubungannya masuk ke kamarku dengan tidur?' Luca mengernyit samar. Namun, ia tidak memusingkannya karena Mihai memang tidak jelas dan ia tidak punya banyak energi untuk memikirkan setiap kelakuan aneh Mihai.
"Kau sudah janji."
"HAH?! JANJI?!" Otak Mihai masih panas.
"Ya, janji." Luca hanya mengulang tanpa berniat menjelaskan.
"HAH/! AP ... a ... maksud...." Mihai mulai merasa ada yang ia lupakan.
"..."
"..."
["Untuk kamar, aku akan memberimu kamar tapi tidak satu dengan punyaku. Sudah kubilang aku tidak suka half-beast. Itu adalah tawaran yang sudah paling bagus."]
Perkataan Luca kembali terngiang.
"AH!"
"Kau sudah ingat?" tanya Luca dengan wajah datar yang mendekati bosan. Dibandingkan bosan, ia sebenarnya lebih lelah dan ngantuk. Sekarang, ia berharap Mihai bisa menyerah dan pergi, membiarkannya bisa tidur dengan tenang.
Namun, Mihai tidak bisa menyerah.
"A—aku tidak berjanji aku tidak akan pernah ke kamarmu!"
Mata Luca langsung menyipit tajam. "Aku tidak suka half-beast."
"Aku tidak peduli! Aku tidak bisa tidur jadi temani aku!"
Alis Luca semakin mengernyit dalam. 'Apa hubungannya?' Tentunya ia tidak tertarik untuk menanyakannya walaupun ia masih menyimpan tanda tanya besar.
"Aku juga tidak peduli."
Bibir Mihai melengkung 180 derajat ke bawah."Oh, ayolah!"
"Tidak tetaplah tidak," tegas Luca. Tanpa menunggu jawaban lagi, Luca menutup lampu tidurnya, naik ke atas tempat tidur, dan membungkus dirinya dengan selimut. Agar tidak terganggu oleh suara monsternya Mihai, ia menutup pendengarannya.
"AH! MUKA SURAM! TEMANI AKU BIAR AKU BISA TIDUR! WOII!!!"
Tentunya tidak ada jawaban, seberapa kerasnya Mihai berteriak....
Akhirnya, ia hanya bisa menyerah dan kembali ke kamarnya dengan telinga dan ekor yang memelas.
"Da...." Liviu menepuk-nepuk kepala Mihai dengan tangan mungilnya untuk menghiburnya.
Terima kasih sudah membaca dan memberi dukungan :)
Note: tanda [...] akan digunakan juga untuk ucapan atau kata-kata flashback