Unduh Aplikasi
9.61% Be Here For You / Chapter 37: "Tokoh Antagonis!"

Bab 37: "Tokoh Antagonis!"

Setelah melewatkan waktu istirahat dengan perbincangan tak berguna, Devan pun kembali ke kelas dengan membawa barang-barang pria itu lagi. Sungguh, Nathan memang orang yang sangat membingungkan, Devan sama sekali tak bisa menebak setiap langkah yang akan diambilnya. Disatu waktu Nathan terlihat baik, tapi disisi lain pria itu bertingkah licik dengan mempergunakan jasa kebaikan sebagai alasan untuk menjahilinya kembali. Devan sangat yakin jika Nathan tak akan mengingkari perkataannya untuk memberi upah atas kerja keras yang dilakukan, Nathan juga berhak memerintahnya sesuka hati. Tapi tetap saja, sikap menyebalkan Nathan sama sekali tak bisa ditolerir.

Seperti sekarang, disaat Devan sedang memperbaiki suasana hati dengan obrolan ringan bersama ketiga kawannya, ia malah dikejutkan dengan suara dering ponsel yang membuat tawa mereka serentak terhenti.

Ay, ay, ay

I'm your little butterfly

Green, black and blue

Make the colours in the sky

Ay, ay, ay, I'm your little butterfly

Green, black and blue

Make the colours in the sky

guk guk gukk

Benar saja, Devan sudah menduga jika ponsel mahal yang diberikan Nathan akan menjadi media baru untuk mengganggunya dengan lebih mudah dan waktu yang juga tak kira-kira.

"Bunyinya dari tas milikmu Dev, kau sudah punya ponsel?" tanya Fandy yang memang duduk disamping Devan. Suasana riuh yang ada di kelas pun tak mempengaruhi fokus ketiga orang itu dalam menatap penuh pertanyaan pada Devan.

"Ehmmm... Sebentar ya," sahut Devan dengan pelan. Ia pun dengan cepat menyabet benda persegi panjang itu dari tasnya lantas bergerak menghindar. Sedangkan ketiga kawan Devan yang melihatnya pun menjadi begitu penasaran. "Kenapa Devan nampak jelas menahan kesal?" pikir mereka.

Hawa siang yang sama sekali tak terlihat itu tertutup kabut hitam. Angin yang mulai bertiup dengan kencang seolah menandakan sambutan untuk datangnya hujan. Mungkin musim penghujan memang sudah terlalu rindu untuk membasah tempat tinggal makhluk-makhluk bernafas, walau sedikit tak dipungkiri kebenarannya, mereka datang telalu cepat.

"Ada apa lagi!" tanya Devan dengan suara sewot. Nathan memang pria yang sama sekali tak bersikap efektif. Setelah pertemuannya beberapa jam lalu, kini pria itu kembali menghantuinya, kenapa tak sekalian waktu Devan ke kelasnya tadi saja?

Suaranya yang tanpa sadar berubah kencang, membuat Devan langsung melirik lorong sekitar yang untungnya sepi. Maklum, ini memang masih jam pembelajaran, hanya saja kelasnya tak diisi oleh guru yang sudah terjadwal, beliau izin karena sakit.

Seperti murid pada umumnya, mereka langsung bersorak riang seperti terbebas dari jerat rutinitas wajib. Berlari sana-sini dan bertingkah kekanakan dengan saling menjahili, itu memang biasakan? Bahkan sedari tadi kelas mereka tak henti mendapat teguran dari guru petugas piket. Itu juga yang dikhawatirkan Devan saat ini, bisa mencuat rasa malunya jika ia ketahuan keluar kelas dan malah berteleponan ria. Sudah cukup ia mendapat gelar murid pindahan dengan memecah rekor hukuman terbanyak, ia tak ingin lagi menambah masalah. Tapi ia bisa apa? Devan tak mungkin menerima panggilan Nathan di kelas, ia juga tak mungkin untuk mengabaikannya. Memang serba salah!

"Eiizt! Santai... Aku tuanmu, kau masih mengingat dengan jelaskan kan, my maid?!" sahut suara diseberang membuat Devan mengeratkan gigi merasa kesal untuk kesekian kalinya. Memang, pria itu pasti sengaja untuk menyulut emosinya.

"Oke-oke, tapi bisa tidak kau memanggil ku Devan saja!" ucap Devan berusaha bernegosiasi. Maid? Panggilan itu sungguh menggelikan bila tertuju kepadanya, ia tak suka.

"Hahahah... Jangan harap, aku suka panggilan itu. Sebutan nama yang membuatmu meradang, membuatku senang bukan main," jawaban itu cukup membuat Devan mengerti, Nathan memang memiliki jiwa pembully yang seperti tak bisa diobati.

Devan yang saat ini berdiri diluar kelas itu pun memilih berjongkok dengan menyandar tembok, tubuhnya terlalu bergetar hebat untuk memaksanya berlari dan mencekek leher pria yang sudah membuatnya kesal itu.

"Heehh....! Kalau bisa menyamakan sosokmu dengan tokoh sinetron, pasti kau langsung menempati tokoh antagonis!" kesal Devan dengan menggeram di awal kata ucapannya.

"Hem! Itu bagus. Dalam sinetron pun tokoh antagonis akan mendapatkan durasi bahagia lebih lama, sedangkan tokoh utama? Mereka hanya menangis menderita di sepanjang episode. Si protagonis yang tak kuasa dan begitu lemah, persis seperti mu," balas Nathan berhasil menjungkir balikkan sindiran milik Devan.

"NATH! Aku tak ingin berdebat denganmu!"

"Siapa suruh kau selalu menimpal ucapanku?"

"Hufh... Oke, ku tutup telponnya," timpal Devan lantas berniat menekan tombol merah untuk memutus pangkal komunikasi yang membuatnya frustasi.

"Eiits! Kau belum mendapat perintahku!" cegah Nathan dengan cepat.

"Yang benar saja?!" marah Devan seperti sudah menyadari gelagat pria itu, Nathan pasti akan mengucapkan kata-kata yang membuat Devan berpeluh banjir karena emosi, 3.... 2.... 1!

"Kirimkan semua yang ku mau ke basecamp!" titah Nathan singkat dan padat.

"Halo-halo-halo...! Shit!" panggil Devan beberapa hitungan sebelum menampilkan tulisan "Panggilan Berakhir". Tak lama setelah itu pun muncul dering pesan yang begitu keras menyentaknya. "Daftar makanan chiki yang harus ada dalam waktu sepuluh menit, antar ke basecamp!" baca Devan lantas membelalakkan mata, banyaknya koma setelah nama makanan membuatnya tersadar dan langsung berlari kencang menuju kantin yang ada di lantai dasar. Biar saja guru tau dan menghukumnya, bukankah Nathan yang memegang kendali atas riwayat keberlangsungannya di sekolah ini?

Angin... angin, angin mana angin...! Tiupan yang beberapa saat lalu mampu menyegarkan gerah tubuh seperti tak berguna lagi. Nafas memburu dengan peluh yang menetes menggelitik punggung mendesak untuk mendapatkan sapuan semilir dingin.

Menuruni lantai dasar menuju kantin, lantas kembali mendaki undakan menaiki lantai tiga dengan satu kantung plastik besar pemberat beban. Sungguh kakinya seperti hilang kekuatan karena banyaknya jejak yang tertinggal.

Menatap sebuah pintu yang akan membawanya menemui sang penguasa. Langkahnya bersiap lebih dekat untuk menyelesaikan perintah hingga sebuah suara menariknya mundur ke tempat asal.

"Hei! Kenapa kau bisa kesini?!"

Bian? Ya, nama pria itu Bian. Pria yang dengan tak yakin dijuluki cantik oleh Devan. Sosok mungil dengan ketajaman mata yang menatapnya menuntut untuk diberi balasan wajah tunduk.

"Ehm... Nathan menyuruhku," jawab Devan dengan suara pelan. Kalau boleh jujur, Devan merasa jika aura kelam yang dibawa oleh Bian sangat dominan hingga sekejap menghadirkan rasa takut di benak Devan. Tak bisa dipungkiri juga, semua itu memang berlandaskan kejadian lama, terkurungnya Devan di gudang sekolah karena pria itu.

"Nathan?"

"Hei, cepat masuk!" suara Nathan saat pria itu membuka pintu. Mendengarnya pun lantas mengalihkan perhatian Devan, ia menggerakkan langkah ke ruangan yang sudah terbuka itu, mendahului Bian dengan wajah memberengutnya.

"Sesuai pesanan nggak, nih?!"

"Iya, Nathan....!" jawab Devan dibarengi dengan kantung plastik yang ditaruhnya di meja.

"Ya sudah, pergi sana!"

"Hufh... Baiklah," balas Devan dengan menghela nafas panjang. Ya, Devan harus mempergunakan lagi fungsi kakinya dengan langkah paksaan. "Oh ya, kenapa kau bisa tau kalau kelasku sedang tak ada guru?" tanya Devan menatap Nathan yang duduk disofa dengan bersandar, Devan hanya penasaran.

"Kau itu bodoh atau bagaimana? Jelas saja aku mengetahui itu karena kau bisa membalas panggilanku."

"Ckkkc!"

Ya, itu memang alasan kebetulan yang sangat masuk akal. Kalau saja suara panggilan dengan lagu tema di hp mainan anak kecil itu tak berdengung dengan keras, pasti ia tak akan repot-repot diperintah seperti ini. Kalau begitu ingatkan Devan untuk menonaktifkan tombol suara!

"Berhubung kau tak ada kelas sampai jam sekolah berakhir, duduk disini!"

"Heh?"

"Kupas semua kuaci ini untukku!" ucap Nathan sembari melempar bungkus kuaci kearah Devan.

"Kau itu benar-benar, ya!" protes Devan saat Nathan lagi-lagi memberatkannya. Namun tak bisa dipungkiri itu juga salahnya, pertanyaan bodoh setelah mendapat usiran keluar seperti memberi kode, "Kerjai Aku lagi!"

"Benar-benar apa? Benar-benar tampan? Kalau yang itu sudah pasti," timpal Nathan dengan cerdas. Bibirnya pun tertarik dengan begitu lebar hingga menampakkan gigi putih tertata rapi.

"Benar-benar membantu ku nampak 10 tahun lebih tua. Kau selalu bisa membuatku marah hingga rautku berkerut tak karuan!"

"Hahahah... Kau lucu juga, ternyata!"

"Aku sedang tidak melawak ataupun coba menghiburmu!"

Keributan dengan tedeng berdebat itu pun hanya diperhatian Bian dengan diam. Tak lama setelahnya satu per satu personil dari geng Nathan pun hadir dan langsung memecah ketidakstabilan. Meneriakkan kata demi kata yang terdengar terlalu berombak hingga menggetarkan telinga merasa tak nyaman. Kegaduhan itu juga diperparah iringan musik alakadarnya berasal dari tepukan meja kayu.

Kolaborasi dari Marco dan Sandy itu pun tak lantas mendapat gemuruh tepuk tangan alih-alih geplakan keras dibelakang kepala dari seorang Randy yang malah terealisasi. Semua orang pun tertawa karena itu, sedang Devan? Ia harus apa, tertawa? Tidak, ia malah mengerucutkan bibir menahan kesal. Kerja kerasnya untuk mengupas satu persatu biji mini itu sama sekali tak dianggap Nathan. Dan ia malah terlihat begitu santai kala Sandy langsung meraup banyaknya butiran biji itu dan langsung melahap sampai habis tak tersisa. Nathan juga nampak tak tertarik dengan makanan itu. Ya, Nathan memang hanya mengerjainya!


Bab 38: "Belagak seperti aktor?"

Aroma debu yang kadung mengendal di jalan, tercium begitu menusuk pembauan. Serangan air langit yang menjadi dalang, seketika datang tanpa penjadwalan. Kepulan asap yang membentuk gumpalan ringan, secara tiba-tiba lenyap tersapu hembusan. Riuh gemericik yang dihasilkan, membuat para manusia seperti dipaksa berhenti pada perjalanan.

Benar saja, hujan telah datang.

"Deras sekali," keluh Devan dengan tangan terulur memainkan air hujan yang turun dari atap pelindung bergelombang. Beberapa percikan air pun tak bisa dielak hingga membuat beberapa titik basah dicelana abu-abu miliknya. Suasana yang begitu senyap sepi sedikit menghadirkan rasa takut di benak remaja itu. Penglihatan yang sudah minim cahaya membuatnya ingin menyerah untuk bisa menunggu lebih lama lagi. Mike, kemana dia?

"Belagak seperti aktor yang tengah memerankan adegan nelangsa di kepungan hujan?" sebuah lelucon yang lebih mengarah ke ledekan itupun berusaha tak dipedulikan Devan. Ya, sudah biasa jika seorang Nathan selalu berusaha membuat panas hati. Devan cukup memaklumi karena itulah tugas utama seorang iblis.

Bunyi bel sekolah yang berdenting sejak satu jam lalu, memang sudah membebaskannya dari kurungan. Namun apa daya, satu rintangan terlewati datang yang lain. Mau bagaimana lagi, hujan menahannya untuk bisa lari menghindar dari aroma tubuh yang saat ini seperti membuatnya alergi.

"Bodoh ya?"

Kalimat tajam lagi-lagi menyentil ego Devan, namun sekejap langsung ia tangkis dengan tak mempedulikan. Saat ini pikiran cemas memang lebih mendominasi, Mike baik-baik saja? Apakah pria itu sedikit melupakan rutinitas untuk menjemputnya? Sungguh, ia sangat khawatir jika Mike mengalami suatu kejadian buruk.

"Jangan membuat gara-gara denganku!"

"Aku tidak mencari gara-gara, hanya saja sikapmu yang seperti ingin diolok," timpal Nathan saat sedari tadi melihat pergerakan Devan yang sedang menggosok-gosokkan tangan seperti mencari kehangatan. Nathan tak habis pikir, apa gunanya Devan melakukan itu setelah sebelumnya asik memainkan air hujan?

"Kalau dingin pakai jaket, bukankah punyaku masih ada padamu?" lanjut Nathan lantas menggigit besar sepotong gorengan yang dicomot dari pos penjagaan tempat mereka berdiri sekarang. Jangan tanya, kenapa Nathan tak takut ataupun merasa sungkan dengan tindakan tak sopannya! Karena pada kenyataannya ia memang suka bertingkah sesuka hati. Namun jangan sekali-kalinya membatin tentang tindakan yang berkesan tak bernurani, Nathan juga masih punya setitik kedermawanan dengan menyelipkan selembar uang bernominal paling besar di bawah piring saji, bayaran yang cukup setimpal untuk dua potong gorengan yang dicomotnya tanpa izin.

"Berisik!"

"Terserah! Aku kan hanya mencoba bersikap baik," timpal Nathan lantas melahap habis sisa tempe berbalut tepung yang tersisa digenggamannya.

"Sudah, kau pergi sana!" usir Devan yang tak ingin terganggu.

"Iya, ini juga mau pergi. Lagipula siapa yang ingin berlama-lama di gedung sekolah yang sudah sepi, hujan bertambah deras dan cuaca yang semakin menggelap," balas Nathan berusaha menakuti Devan. Wajahnya maju meneliti pria pendek dengan poni yang sedikit mengenai mata, mereka berjarak sangat dekat. Sorot mata yang dibuat begitu meyakinkan berharap dapat tersalur lewat kontak pandang dan dapat menggetarkan rasa takut yang sengaja di munculkan Nathan lewat kata.

"Aku pergi dulu," lanjut Nathan seraya bergerak untuk menjauh dari sosok yang sudah nampak mematung. Benar dugaannya, pria seperti Devan pasti sangat takut akan hal-hal tak terlihat. Mendengarnya menjerit dengan raut wajah penuh ketakutan memang sepintas ada dalam rencana, namun lagi-lagi Nathan masih mempunyai sisi baik di sudut terkecil hatinya. Dari pada merealisasikan imaginasinya yang hanya bisa dinikmati oleh pandang mata, lebih baik Nathan menggiring Devan untuk bisa memanjakan kepuasan lidah serta debat panjang yang berakhir dengan Nathan sebagai pemenang, seperti biasa. Nathan memang tak bosan mengusik buruannya.

"Nath!"

Senyum seringai lantas tersungging di bibir milik Nathan. Panggilan pelan dibalik gemericik air yang jauh lebih mendominasi, tak lantas membuatnya langsung membalik badan. Nathan masih menunggu, menunggu Devan untuk merengek padanya.

"Hemm..."

"Kau-kau tidak mau aku membuatkan mu makanan? Maksudku… Apa kau tidak butuh bantuan?"

Kena! Nathan memang begitu cerdas. Hanya dalam hitungan detik pria itu sudah memasuki kandang perangkapnya. Sial! Nathan begitu menyukai setiap permainan dengan sang maid miliknya, apalagi jika sudah mendapat raut memelas tanda patuh. Benar, Nathan memang sangat terobsesi untuk bisa mendominasi. Dan melihat sosok mungil yang sebelumnya begitu nampak menantang berani, cukup membuat Nathan berbangga diri karena telah menakhlukkannya.

"Pulang. Aku sudah sangat lapar, nanti buatkan aku masakan terenak yang pernah kau buat," sahut Nathan dengan suara sedatar mungkin. Pandangan dingin pun ditunjukkan untuk lebih bisa mempengaruhi. "Cepat berdiri, pakai juga hoodieku!" lanjut Nathan lantas menarik tisue basah dari dalam tas miliknya, ia kemudian membersihkan sisa minyak yang menempel di ujung-ujung jari karena gorengan tadi.

"Baiklah," balas Devan dengan suara yang terdengar begitu lega. Ya, khusus kali ini Devan mengakui kegunaan Nathan di dekatnya. Untung saja pria itu mau membawanya pergi dari gedung sekolah yang sudah nampak begitu seram tanpa seorang pun terlihat. Lagipula menunggu datangnya Mike juga tak pasti.

Devan pun bergegas menuruti perintah Nathan untuk membalut tubuhnya dengan hoodie kebesaran milik Nathan. Menyembunyikan tas satu-satunya di dalam pakaian tebal yang telah dikenakan, lantas menepuk-nepuk dan memeluknya erat seakan bicara, "Kau aman anakku!"

"Pssttst!"

Sedangkan Nathan yang menatapnya dibuat tak bisa menahan rasa geli, Devan terlihat kekanakan dengan tingkahnya.

Deru suara khas motor mengaung di tengah jalan. Melaju dengan kecepatan sedang membelah celah hujan. Pakaian yang sudah begitu basah sampai menembus lapis terdalam. Berbalut helm merah muda yang beberapa kali dikenakan, membuat Devan menarik nafas lega. Maklum, ia sangat sensitive dengan air hujan. Ia tak ingin merepotkan Mike seperti kesakitannya kemarin. Tubuhnya membungkuk dengan kedua lengan berpegangan ringan pada hoodie milik Nathan. Motor melaju dengan kencang, seiring dengan debaran dada yang sudah terbiasa hadir di kala ia ketakutan. Seperti biasa, ada kejahilan dalam setiap tindak baik Nathan padanya.

"Nih, pakai!"

"Terimakasih."

Devan pun menarik setelan santai serta pakaian dalam baru yang diberikan Nathan. Memasuki kamar mandi mewah dan langsung melecuti seluruh pakaian basah miliknya. Devan menyempatkan mandi singkat kemudian mengurusi pakaian yang sempat diperas sebisanya di halaman depan sebelum memasuki kediaman bersih milik Nathan. Devan juga meninggalkan sepatu kotornya di pintu masuk rumah. Devan memang begitu menjunjung tinggi adab dalam bertamu.

"Hei, setidaknya keringkan rambutmu dulu!" ucap Nathan lantas menyampirkan handuk kecil keatas kepala Devan. Saat ini mereka sedang ada di luar kamar milik Nathan, dengan Devan yang sibuk dengan olahan ayam bumbu kecap miliknya. Ingat lantai tiga daerah kekuasaan Nathan, kan?

"Tidak masalah," timpal Devan yang sibuk mengiris tipis bumbu-bumbu yang diperlukan tanpa menghiraukan Nathan yang masih berdiri dibelakangnya.

"Tidak masalah apanya? Kalau kau lagi-lagi sakit siapa yang akan ku suruh-suruh?" ucap Nathan lantas mengacak singkat rambut Devan dengan handuk yang sudah disampirkan.

"Sungguh, aku merasa sangat bersalah karena telah berpikir kau sedikit mempedulikanku," ungkap Devan dan kemudian membalikkan posisi untuk berhadapan dengan pria tinggi itu.

"Mempedulikanmu bukan tugasku. Cepat masak!" titah Nathan dengan menundukkan pandangan menatap sosok mungil itu. Kedua lengannya pun mengacak rambut Devan sekali lagi. Beberapa detik setelahnya, Nathan berbalik pergi dengan meninggalkan kain penyerap itu di leher Devan.

"Dia mempedulikan ku. Huh! Dasar Nathan menyebalkan!" omel Devan didalam hati. Pandangannya mengikuti langkah lebar Nathan yang berakhir di sofa multifungsi yang digunakannya berbaring. Devan masih saja sibuk meneliti setiap pergerakan ringan milik Nathan yang sedang menatap layar televisi. "Dia sebenarnya baik, tapi kenapa selalu ditutup-tutupi dengan tampang menyebalkan?"

"Hei! Ada masalah apa kau sampai menatapku intens seperti itu?" teriakan Nathan pun menyadarkannya dari keterdiaman. Nathan yang berbaring tengkurap dengan tatapan mengarah persis kearahnya. Jarak mereka terbilang cukup jauh hingga Devan cukup merasa lega karena Nathan tak mungkin bisa melihat raut terkejutnya dengan jelas.

"Tak apa," jawab Devan dengan singkat. Ia lantas membalikkan posisi tubuh menghadap meja dapur, begitu pun dengan Nathan yang berbalik memutar arah dan menghadap layar kaca besar yang sebelumnya dipunggungi.

Tak ingin memperlambat waktu pulang, Devan pun mempercepat kerja tangannya dalam meracik masakan. Melahap makanan dengan cepat lantas membentuk wajah permohonan kala hari sudah mulai larut dan hujan telah menyisakan rintik kecil, berharap Nathan berbaik hati untuk mengantarnya pulang.

Pukul sembilan empat lima, kaki Devan berusaha mempercepat langkah kaki saat ia sudah berhasil mencapai gedung apartement tempat tinggal Mike. Ya, untung saja malaikat baik masih menempel di tubuh Nathan hingga pria itu tanpa basa-basi menancap gas motor untuk mengantarnya.

"Mike....!"

"Mike...!" panggil Devan setelah ia berhasil memasuki apartement yang ditinggali. Sepi, Mike belum juga pulang. Kemana dia?

Devan terus berkeliling mencari ke setiap sudut rumah hingga mengecek kamar mandi. Kosong! Mike belum pulang.

"Mike... Kau kemana, aku cemas."


Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C37
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank 200+ Peringkat Power
    Stone 0 Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk

    tip Komentar Paragraf

    Fitur komentar paragraf sekarang ada di Web! Arahkan kursor ke atas paragraf apa pun dan klik ikon untuk menambahkan komentar Anda.

    Selain itu, Anda selalu dapat menonaktifkannya atau mengaktifkannya di Pengaturan.

    MENGERTI