" OMG, Brother?!" pekik Cherlin dan langsung mendekat kearah Max. Cherlin yang secara kebetulan baru keluar dari kamarnya itu, dikejutkan dengan kehadiran Max yang wajahnya sedikit lebam. Tubuhnya langsung menghadang Max yang ingin menghindar dari pertanyaan. Namun Cherlin adalah gadis cekatan, secara cepat ia langsung berdiri diantara pintu kamar Max dan tubuh besar kakaknya itu. Raut khawatir terpampang jelas di wajah Cherlin, " Brother, pulang-pulang kok wajahnya bonyok, sih!"
" Minggir," perintah Max dengan suara datarnya. Sedangkan Cherlin yang lebih merasa khawatir dibanding takut pun tak mempedulikan hal itu. Tarikan tangan Max yang memaksanya untuk menyingkir dari jalan, di pertahankan Cherlin dengan sekuat tenaga. " Minggir atau aku akan sangat marah!" peringatan final dari Max sedikit menggetarkan Cherlin. Jujur saja, kakaknya itu memang begitu menakutkan saat marah. Ia masih dengan jelas mengingat, mata yang membelalak tajam dan rahang yang berkedut karena geraman marah.
" Ihh… nggak mau, brother cerita dulu!" paksa Cherlin yang kini memeluk tubuh Max. Pria yang begitu dingin itu masihlah saudara kandungnya, ia sungguh merasa sangat khawatir. Mereka memang tak begitu dekat dan tak banyak berbagi masalah, tapi insting sesama saudara begitu kuat. Mereka saling terkoneksi, dan Cherlin tau jika Max butuh mencurahkan isi hatinya.
" Aku sedang dalam keadaan yang tidak stabil saat ini, kau jangan menggangguku!" ucap Max berusaha bicara sepelan mungkin. Lengan kanannya pun terangkat untuk mengusap rambut adik satu-satunya itu, tak bisa dipungkiri kalau rasa rindu tetap ada untuk gadis yang dianggapnya begitu manja. Adiknya ini memang begitu keras kepala, walau pun begitu ia tak mungkin memakinya saat bertindak semaunya, kan?
" Baiklah aku tidak akan mengganggumu dengan bertanya macam-macam. Tapi sebagai sister yang baik, aku akan ada di sampingmu," putus Cherlin seketika malah membuka pintu di belakangnya. Ia langsung memasuki kamar sang kakak dengan berlari cepat lantas melompat dan akhirnya bersila di tengah ranjang dengan menampilkan cengiran khas. " Ayo, cepat masuk!" titah Cherlin dengan melambaikan tangan kearah Max yang masih berdiri di depan pintu.
" Dasar!"
Max sudah tak bisa lagi mengelak, Cherlin selalu membuatnya tak berkutik. Dengan menarik kopernya, Max pun menutup pintu setelah memasuki ruangan. Ia melangkah dengan perut yang sedikit terasa nyeri, ia belum menyelesaikan sarapannya dan malah melewatkan makan siang. Tendangan dari kaki Nathan itu juga turut menyumbang rasa sakitnya.
" Brother mandi dulu, habis itu ku obati, ya!"
" Heem," gumam Max yang mendapat respon cebikan bibir dari Cherlin. Sang adik merasa kesal karena perhatiannya hanya dibalas gumaman. Setelah menaruh koper di sudut ruangan, Max pun membuka lemari besarnya dan mengambil handuk bersih serta pakaian santai. Langkah lemasnya menuju kamar mandi itu tak sekali pun lepas dari pandangan Cherlin yang menatap penuh dengan rasa penasaran. Kakaknya nampak begitu beda.
Titik-titik deras air yang mengguyur dari atas kepala sedikit merelaksasi denyutan sakit. Pembatas dinding dilapisi marmer dan ornament tanaman pun membuat pandangannya sedikit segar. Menyunggar rambutnya ke belakang, kepalanya mendongak dengan kedua mata yang tertutup rapat. Tubuhnya yang semula terbakar panas seketika mendingin kala suhu air melingkupnya, namun hal itu rupanya tidak cukup menenangkan pikirannya yang kalut. Matanya yang terpejam erat malah menggiringnya untuk lebih fokus pada kejadian beberapa saat lalu.
Nathan yang begitu menempel erat ditubuhnya. Nathan yang menyandarkan kepala di dada bidangnya. Nathan yang meremat baju di bagian dadanya. Dan Nathan yang menatapnya penuh dengan permohonan. Bukan dalam artian baik, nyatanya semua itu berbanding terbalik. Nathan seolah sudah frustasi dengan kehadirannya yang terus menempel. Nathan yang begitu merasa kedongkolan dengan sangat hingga meneteskan air mata. Nathan yang sudah tak berdaya sampai melunaknya tulang yang akan meronta meminta di lepaskan kala di dekapan Max, sedahsyat itu Nathan memohon untuk dilepas secara keseluruhan.
" Aku tak tau lagi caranya untuk mendorongmu menjauh. Aku sudah melakukan cara bodoh, mengatakannya secara halus, mengabaikan atau pun bertindak terlalu jauh dengan beradu fisik seperti tadi. Dan pada kesimpulannya pasti kau memahami, aku sama sekali tak tertarik dengan mu. Selama ini aku diam bukan karena mempertimbangkan dirimu untukku. Aku diam karena aku masih menganggap kau adalah orang yang keluarganya dekat dengan keluarga berantakan milikku. Tapi dengan kepulangan mu setelah beberapa bulan, itu sudah cukup menggangguku. Beberapa jam dalam dua hari ini, kau sudah sangat cukup membuatku frustasi dan memutuskan untuk tak mempedulikan segala bentuk kehadiranmu."
Ya, kata-kata panjang dari Nathan masih diingatnya dengan jelas. Tubuh yang lama kelamaan begitu tenang dalam dekapannya itu membuat Max tak habis pikir. Lontaran curahan hati yang begitu panjang dikatakan Nathan dengan suara pelan dan di sisi lain begitu memporak-porandakan hati Max. Nathan bahkan mengucapkannya tanpa tersembunyi, masih ada Tommy dan Aki yang ada di dekat mereka. Setelah usaha gilanya selama ini, apa sama sekali tak berpengaruh? Ia yang terlalu menggebu, atau tak sadar kondisi saat Nathan sudah menggembok pintu hatinya? Ia yang sejak awal terlalu percaya diri dalam bertindak atau memang Nathan yang hatinya sudah sekeras batu? Jadi, kesimpulannya ia di tolak?
" Brother kenapa bisa jadi seperti ini, sih?" ucap Cherlin yang sudah begitu lama menunggu pintu kamar mandi terbuka. Sedangkan Max yang mendengar pertanyaan itu tak menyahut apa pun. Dengan melemparkan handuk basah bekas Max kearah Cherlin itupun sukses menutup kepalanya. Cherlin sontak menjerit, " Huaaa… nakal banget sih, brother!"
" Kau lupa dengan perkataanmu sendiri!" ucap max dengan mendudukkan diri di pinggir ranjang dengan satu kaki yang bergelantung ke bawah dan satu lainnya tertekuk di ranjang. Sedangkan sang adik yang mendapat kejahilan di tengah rasa penasarannya yang menggebu, hanya sanggup mencebikkan bibir dan menghempas handuk basah yang membuat rambutnya berantakan.
" Iya-iya, sini ku obati!"
Cherlin pun harus dibuat lebih mencebik lagi karena kode Max yang harus pindah posisi mengikuti Max yang duduk di pinggir ranjang. Tempat duduknya yang sudah nyaman berada ditengah-tengah itu pun harus menurut. Max pun berhadapan dengan Cherlin yang mulai sibuk mengusap pipi dan sudut bibirnya dengan obat p3k yang sempat diambilnya tadi.
" Parah banget sih! Siapa yang berani nyetak bonyok ini di wajah, Brother?" omel Cherlin dengan tatapan menuntut untuk dijawab.
" Yang pasti orang,"
" Ya, aku tau! Tapi masalahnya, siapa yang berani sama brother yang tubuh besar dan terlihat dominan seperti ini?" ucap Cherlin dengan mengeratkan gigi merasa gemas. Kakaknya itu selalu saja menjelma menjadi orang misterius yang tak bisa terbaca.
" Kalau kau sudah mengobati luka ku, pergi sana! Kepalaku bertambah pusing mendengar suara berisikmu," ucap Max lantas mencubit pipi pucat Cherlin.
" Ihh… jangan membuat ku penasaran dengan mu! Ceritalah sedikit denganku!" bujuk Cherlin dengan mengoyang-goyangkan lengan Max.
" Dari pada penasaran dengan kehidupan datar ku, lebih baik kau katakan tentangmu! Kau memang mahasiswi yang begitu cerdas hingga tak perlu mempelajari materi dari dosen, atau kau berniat mengumpulkan poin pelanggaran hingga bisa membuat mu bebas dari kuliah?"
" Kau tak mengenal adikmu sendiri atau bagaimana? Jelas aku adalah mahasiswi yang termasuk dalam jajaran tingkat atas dalam prestasi. Paras ku yang cantik banyak digandrungi para lelaki. Dan saat ini aku sudah berada di level jenuh. Dengan bangku kuliah yang membuat pantatku panas, dengan gombalan pria yang selalu mengiringiku di setiap langkah kaki. Atau pun permasalahan cinta yang selalu bersiklus sama. Aku hanya ingin bebas dari rutinitas membosankan."
" Benarkah? Jadi, saat ini kau sedang tak menjalin hubungan dengan siapa pun? Tak tertarik dengan pandangan iri dari musuhmu saat kau menggandeng pria tampan?"
" Tidak, pria tampan sangat membosankan. Terlebih aku selalu menjalin hubungan dengan pria yang bersikap sama, mereka nampak begitu gay dengan selalu memperhatikan penampilan, bahkan lebih sering dari pada aku!"
" Gay, menurutmu mereka begitu?"
" I-ya, kebanyakan yang ku temui seperti itu. Ah-ya, kau tau Adit? Pria yang tahun lalu ku kenalkan padamu? Kau pasti sudah menduganya gay sejak awal kan, sampai-sampai kau menyuruhku putus dengannya!"
" Adit?"
" Ya, pria dengan wajah lugu dan selalu berjalan penuh kehati-hatian itu! Sampai sekarang aku tak menyangka kalau dia menutupi jati dirinya dan memacariku, brengsek sekali memang!"
" Pandanganmu tentang gay sesempit itu?" tanya Max setelah ia meresapi pembicaraannya dengan Cherlin. Pandangannya berubah begitu datar, ia seketika takut dengan respon semua orang jika dirinya pria yang berbeda.
" I-ya, lagipula kebanyakan seperti itu. Dan aku tak sedikit pun berniat untuk mengetahui lebih dalam. Eh? Kenapa brother malah memberondongiku dengan pertanyaan?" timpal Cherlin yang baru menyadari kalau kakaknya sedang mengalihkan pembicaraan dan malah terfokus kearahnya. " Ih, nyebelin! Pinter banget ngubah topik pembicaraan."
" Itu salahmu, kau begitu mudah dipancing. Sudah sana pergi, aku ingin tidur!" balas Max lantas menghempaskan tubuh dengan posisi ternyamannya, tengkurap. " Kalau pergi jangan lupa tutup pintu!" tambah Max dengan matanya yang sudah terpejam.
" Nggak mau pergi!" manja Cherlin dengan menghempaskan tubuh tepat di samping max yang kosong. Max yang sudah lelah untuk berdebat itu pun membiarkan sang adik memeluknya dengan erat.
" Eh, brother! Sebelum tidur, kau harus mengatakan alasan kau tak langsung pulang ke rumah dan asal dari wajah lebam mu ini. Ayo, cepat katakan! Kau tidak boleh curang, setidaknya beri aku sedikit petunjuk biar tidurku nyenyak. Kau tak ada permasalahan dengan orang ke tiga atau pun dengan-"
" Menemui orang yang sudah menarik perhatianku begitu jauh. Tapi sayang, anganku seperti tak bersambut baik," potong Max dengan kedua mata yang otomatis terbuka. Ia menatap adik satu-satunya itu dengan dalam. Mereka yang sedang berhadapan itu pun terdiam beberapa saat. Cherlin cukup memahami arti tatapan itu, kecewa.
" Ihh… brother, jangan cerita yang ngenes dong!" sahut Cherlin lantas mengelus punggung Max dan menumpu satu kakinya di bagian tubuh bawah Max, Cherlin memeluknya.
Clek
Bunyi pintu terbuka dan menampilkan wajah paruh baya yang masih terlihat begitu cantik. " Max, kau tidak menghampiri ibu dulu setelah kepulangan mu, ya!" omel Nina dan langsung ditanggapi Cherlin dengan isyarat diam.
" Brother ku sedang tidur karena kelelahan, ibu pergilah dulu!" ucap Cherlin pelan dengan tubuh yang semakin memeluk kakaknya. Ia tak ingin, mamanya itu mengganggu Max dengan pertanyaan-pertanyaan karena wajah lebamnya.
" Kau ini! Sudah besar tapi masih saja menyelinap ke kamar bujangan. Ya sudah, tetap rukun ya!"
" Oke!" balas Cherlin yang seketika mengangkat tangan dengan jari jempol dan telunjuk yang bertemu.
Pintu pun tertutup rapat, suasana juga semakin senyap dengan suara napas yang terdengar beraturan.
" Lea? Ah tidak, wanita itu bahkan sempat menghubungiku karena protes akan kelakuan Max yang meninggalkannya begitu saja di bandara. Lantas siapa yang ditemui Max?" batin Cherlin.
Setelah curahan hati Nathan yang tak sengaja tersalur dengan berlebihan, kini dirinya hanya sanggup menatap langit-langit kamar dengan lamunan. Beberapa pendapat dalam dirinya beradu, ada yang membenarkan dan ada yang seolah menyalahkan. Teriakan kencang dari sudut terdalam hatinya cukup terdengar jelas, "Kau tadi sedang apa? Menangis dan hanya bisa berucap begitu lemah di dekapan seorang pria yang pada dasarnya ingin kau hilangkan? Kau sedang memikirkan apa, saat melakukan itu? Kau cemburu dengan kedekatannya dengan mama mu atau kau sebenarnya merasa terganggu dengan tingkah Max yang bisa saja meluluhkanmu?" batin Nathan.
"Sial!" umpat Nathan yang berteriak begitu keras. Ia lantas terbangun dari keterbaringannya dan mengacak rambut yang sudah sedikit memanjang. Kedua kakinya bahkan ikut mengambil alih kekesalan dengan menendang guling atau pun selimut tebal yang terasa begitu mengganggu. Kemudian kepalanya menunduk dengan mata yang melirik tajam hasil kericuhannya, semuanya berjatuhan di lantai dan terlihat begitu berantakan. "Sial-sial-sial!" umpatnya lagi saat rasa hati yang masih begitu mengganjal akan sesuatu, dan Nathan begitu tak menyukai sudut lain yang menyalahkan tindakannya tadi.
"Hei! Ada apa denganmu?" tanya Tommy dengan suara terkejutnya. Ia yang baru saja pergi ke luar kamar dengan Aki untuk mengambil air minum secara tiba-tiba dikejutkan dengan ruangan Nathan yang sudah sangat berantakan. Tommy dan Aki pun lantas mendekat kearah Nathan yang nampak frustasi dengan tubuh membungkuknya. Pintu itu pun ditutup dengan cepat oleh Aki, jangan sampai mama Nathan melihat anaknya seperti ini, pikirnya.
"Dia terlihat begitu menyeramkan, Tom!" timpal Aki yang berdiri tepat di belakang Tommy. Tubuhnya secara tidak sadar menempel ke tubuh kawan didepannya itu dengan memegang erat ujung baju.
"Sstt! Diamlah!" tegur Tommy dengan berbisik pelan ke Aki. Tommy yang sedang memegang secangkir teh ditangannya pun lantas memfokuskan diri kearah Nathan. Ia memandang dengan prihatin sosok kawannya, meski dilain sisi ia juga tak membenarkan perilakunya terhadap Max.
"Hei, minum teh hangat ini dulu! Setidaknya jangan buat aku malu sebagai seorang tamu, aku makan dengan rakusnya makan dirumahmu, sedangkan kau sebagai tuan rumah, malah sama sekali tak makan! " bujuk Tommy sembari mengelus punggung Nathan. Perlahan ia pun mendekatkan cangkir itu ke arah Nathan yang menunduk dengan rambut yang begitu berantakan.
"Nggak mau…" balas Nathan dengan suara serak seperti habis menangis. Tommy yang mendengarkan itu lantas mengansurkan cangkir teh ke Aki. Tommy kemudian duduk di sebelah Nathan dan merangkulnya.
"Ayolah, kau bahkan sama sekali belum mengisi perutmu sejak pagi!" bujuk Tommy sekali lagi. Ia pun berusaha mengalihkan wajah Nathan yang menunduk, namun usahanya tak membuahkan hasil saat Nathan malah mengelakkan wajahnya dan membuat lengan Tommy menjauh. Tommy pun langsung mengalihkan pandangan ke arah Aki yang terlihat mengerutkan wajah, cemas.
"Nath… setidaknya minumlah teh hangat ini agar perutmu tak terlalu kosong," sambung Aki ikut bantu membujuk Nathan. Lengan kanannya itu pun menyodorkan cangkir ke depan Nathan yang masih tak mau menegakkan tubuhnya.
Prangg
Bunyi cangkir jatuh dan membuatnya menjadi puing-puing kecil bergabung diantara barang-barang porak-poranda lainnya, Nathan menghempasnya. Sedangkan cairan teh itu mengotori selimut yang membuat Aki dan Tommy berpandangan dengan raut penuh keterkejutan. Ini bukan pertama kalinya pertemanan mereka di uji dengan hal yang memacu emosi. Namun ini adalah pertama kalinya Tommy dan Aki menahan keinginan mengumpat dan bertingkah sesuai umur, mereka sudah dewasa.
Sejak masa sekolah mereka banyak mendapatkan ujian kesabaran karena sifat keras kepala dari masing-masing sahabat. Entah karena kejahilan salah satu anggota yang malah membuat kelimanya ikut mendapat hukuman atau karena sifat egois yang begitu keukeuh dan membuat pertengkaran yang menjadi besar. Mereka banyak melalui rintangan dalam hubungan pertemanan meski terkadang hal itu membawa pengaruh jarak untuk mereka yang saat itu masih labil. Saling tidak sapa dan menghindar ketika dalam satu ruang sudah sering mereka alami. Semua tak lantas baik-baik saja hingga waktu yang mempereratkan. Persahabatan mereka sudah sampai ditahap dewasa yang saling mendukung tanpa emosi. Ya, saat ini pun Aki berusaha tak menunjukkan raut keanehan saat mendengar pengakuan cinta dari Max kepada Nathan pagi tadi. Aki sudah cukup paham mencerna kata-kata Max, meski Tommy terus saja mengatakan untuk tidak usah ikut campur.
"Nath! Aku tau kalau kau sedang tak enak hati dan merasa emosi, tapi bisakah kau bertindak dewasa? Jangan ulangi tingkah bodohmu seperti tadi! Bagaimana kalau tangan Aki terluka karena terkena-"
"Apa katamu tadi?" potong Nathan lantas mengangkat pandangan kepada Tommy yang sudah bangkit berdiri dari duduknya. Matanya yang memerah itu cukup menjadi sorotan untuk Tommy dan Aki.
"Tom… ini salahmu, dia marah!" kesal Aki dengan geraman kecilnya. Lengannya lantas mencengkram milik Tommy dengan raut ketakutan. Aki memang payah, ia bukan orang yang bisa menerima tatapan seperti itu, apalagi jika Tommy yang melakukannya.
"Apa katamu tadi, Tom? Aku memang bertingkah bodoh kepada Max, begitu kah?" ucap Nathan saat anggapan orang lain membenarkan suara terkecil di hatinya. Seketika suara kecil itu pun membesar dan berteriak dan kembali menyalahkannya, " Lihatlah! Bahkan kawan mu sendiri juga membenarkan anggapanku. Lagipula bagaimana kau bisa terganggu dan berusaha keras memukul mundur Max jika kau tak menganggap kata-kata Max sungguhan!" batin Nathan.
"Jangan marah, aku memang kawan mu… tapi aku juga kawan Max saat ini," ucap Tommy yang langsung ditanggapi Nathan dengan ekspresi menuntut kejelasan. Tommy pun melanjutkan bicaranya, "Dia memang sedang mengejarmu, ya… seperti yang kau tau, dia tertarik dengamu. Tapi semua itu tak lantas harus membuat mu bertingkah kasarkan, Nath? Aku ingin tau, kau homophobia atau bagaimana?"
"Bu-bukan begitu," balas Nathan yang seketika merasa bersalah, ia sudah bertindak tak adil dengan menyembunyikan jati diri serapat itu bahkan kepada orang-orang terdekatnya.
"Terus bagaimana? Kau merasa bersalah atas tindakan mu pada Max, kan? Apa mau langsung minta maaf biar dia ku hubungi?" timpal Tommy.
"Tidak, biar aku minta maaf secara pribadi saja," balas Nathan yang seketika mendapat pelukan dari Tommy dan Aki.
"Yey! Akhirnya kita bisa langsung lepas dari ketegangan antar kawan tanpa menunggu hari berganti," pekik Aki lantas berpindah tempat dan membaringkan tubuh di hadapan Nathan dengan kedua kaki yang tergantung.
"Ya, syukurlah! Tapi kau harus benar-benar minta maaf padanya loh! Kau tidak tau bagaimana cara berjalan Max yang sungguh memprihatinkan akibat pukulan bertubi mu itu!" ucap Tommy berusaha memastikan. Lagipula Max sudah banyak memberikan bantuan kepadanya, jadi untuk membalas itu Tommy memang harus melibatkan Nathan dan mendorong sahabatnya itu sekuat tenaga.
"Ya…" ucap Nathan pada dirinya sendiri. Ia berusaha menenangkan diri pada sudut hati yang merasa kalah karena niatnya untuk berbaikan dengan Max. Ia berusaha tak menambah masalah hidupnya dengan pertengkaran tidak penting. Ya, harusnya ia tak berlebihan dan membuat masalah baru dengan Max. Ya, ia harus secepat mungkin meminta maaf dan bernegosiasi dengan pria berwajah bule itu!
Dan malam itu pun mereka bertiga tidur bersama dalam satu ranjang setelah sempat membereskan ruangan. Malam yang untuk kedua kali berturut-turut pikiran Nathan penuh mengenai Max. Max yang begini, Max yang begitu… bahkan selama itu juga ia seolah lepas dari bayangan kekasih, Rian.
Anda mungkin juga menyukai
Komentar Paragraf
Fitur komentar paragraf sekarang ada di Web! Arahkan kursor ke atas paragraf apa pun dan klik ikon untuk menambahkan komentar Anda.
Selain itu, Anda selalu dapat menonaktifkannya atau mengaktifkannya di Pengaturan.
MENGERTI