Erza paling suka sama yang namanya bakso tapi sayang kalau ketahuan sama mamanya dia makan bakso hampir tiap hari, udah lah dia bakal nangis di kamarnya karena pasti dimarahin. Erza itu paling nggak mau dimarahin apalagi sama mamanya soalnya dia anak mama yang manja dan sayang banget sama mama, jadi kalau dimarahin bisa sampai baper berkepanjangan dan bakal mikir mamanya udah nggak sayang lagi sama dia.
Erza agak ngerasa aneh waktu Ardy cuma nemenin dia makan bakso sambil ngelihatin dia makan, kayak ada sedih-sedihnya gitu ditambah bibir Ardy sesekali senyum tipis, udah kayak yang mau pisah aja tampang Ardy sekarang. Erza narik tisu dari kotaknya kemudian bersihin bibirnya. "Ardy," Panggilnya lalu minum es teh manisnya.
"Apa Za? Mau nambah?" Tanya Ardy.
"Ih enak aja aku nggak kayak kamu, makannya kayak kesetanan! Aku cuma mau tanya," Jelas Erza kemudian cemberut sebel. Bibirnya yang merah agak bengkak karena makan sambel bakso itu jadi unyu banget kayak buah ceri, Ardy jadi gemes dan malah salah fokus ke bibir Erza.
"Ardy!" Pekik Erza karena nggak ditanggepin sama Ardy yang malah bengong.
Erza dari cemberut kesel sekarang jadi manyunin bibirnya secara nggak sadar karena kesel sama Ardy, dan itu malah nambah-nambahin kadar kegemesannya aja meskipun dia nggak sadar kalau dia itu unyu pake banget. "Apa Za?" Tanya Ardy yang malah bikin Erza makin kesel.
"Aku kan yang mau nanya!" Sewot Erza sembari sedekap dada.
"Za, lo lagi ehm ehm ya?" Tanya Ardy bikin Erza penasaran apa yang dimaksud Ardy sama 'ehm ehm' itu.
"Ehem ehem itu apa?" Tanya Erza yang rasa keselnya sama Ardy agak dilupain gara-gara penasaran sambil beberapa kali ngerjapin matanya. Erza kalau lagi kepo suka lupa tadi mau ngapain.
"PMS," Jawab Ardy diakhiri cengiran yang bikin Erza reflek ngelempar muka ganteng Ardy sama tissu bekas di tangannya.
"ARDY, AKU KAN COWOK, MANA ADA PMS!" Protes Erza ngamuk dengan matanya yang sipit tapi manis itu berusaha melotot dan malah jatuhnya makin unyu bukannya nyeremin.
Kayaknya apapun yang Erza lakuin bakal jatuhnya unyu dimata Ardy Januarto.
"Gue bercanda Za." Ardy cekikikan sementara Erza jadi beneran ngambek.
"Udah yok, mau balik ke Sekolah?" Tanya Ardy ceritanya mau nyudahin ngambeknya Erza.
Tanpa sempat bertanya apa yang mau ditanyain ke Ardy tadi, Erza udah nurut duluan pas diajak balik ke Sekolah dan seketika lupa sama itu. Sewaktu jalan beberapa meter terus belok buat kembali ke Sekolah, mereka ketemu sama Deni si ketua OSIS alias atasan Hendri.
"Kak," Sapa Erza sopan karena Deni ini kakak kelas mereka.
"Den!" Tapi Ardy kebalikannya dari Erza yang sopan banget ke kakak kelas sekaligus ketua OSIS itu karena udah ngerasa akrab banget.
"Gimana bang bro Suharja, jadi ditendang dari kepengurusan OSIS?" Tanya Ardy tiba-tiba dan seceplas-ceplos itu.
Deni atau sering anak-anak panggil kakak karena emang kakak kelas sekaligus ketua osis ini adalah salah satu temen Ardy. Aneh memang tapi ini nyata, Ardy ini entah ada kekuatan apa bisa dapet temen nano-nano gini, sekalem-kalemnya Deni tapi temennya maceman Ardy, temen-temen dan gurunya aja heran apalagi Deni nggak jarang main sama si Ardy ini.
Deni ngerutin dahinya, dia nggak tahu apa yang dimaksud Ardy tapi kalau si adik kelas bisa sampai bilang gitu berarti ada masalah sama Hendri, dan tepatnya Hendri yang buat masalah. "Gimana, gimana Dy?" Tanya balik Deni penasaran.
Ardy ngerjap polos terus noleh ke Erza, saling tatap-tatapan polos beberapa saat sebelum kembali ke Deni. "O-oh belum sampai ke telinga lo, Den?" Tanya Ardy mastiin.
"Bentar, gue nggak tahu apa-apa nih dan gue yakin si Erza juga sama," Deni noleh ke Erza dan Erza ngangguk. "Tuhkan," Lanjutnya setelah dapet jawaban Erza lewat anggukan kepalanya.
Kalau Hendri punya masalah itu nggak akan jauh-jauh dari Ardy, Rendy, Hendra, Yusril sama Bagas, enam bocah yang Deni pikir pada kemasukan setan itu pasti kalau ada masalah harmoni alias saling bersangkutan.
"Aku juga nggak tahu soal kak Hendri, aku aja kaget waktu kamu bilang gitu ke kak Deni," Ucap Erza polos seperti biasa sembari dongak natap Ardy yang berada di sampingnya.
Sebelum Ardy ngejelasin, handphone Deni bunyi dan alhasil Ardy cuma mangap sia-sia karena Deni keburu ngangkat telponnya. "Halo? Waalaikumsalam pak, iya saya ke sana, iya pak." Itu yang Ardy sama Erza denger waktu Deni nerima telpon.
Deni natap Ardy tajam. "Ikut gue Dy," Ucap Deni sembari narik tangan Ardy ninggalin Erza.
"E-eh? Aku ditinggal?" Ucap Erza sembari ngerjap-ngerjap polos kemudian dia buru-buru ngikutin Deni yang lagi narik—dominan nyeret Ardy itu.
.
.
.
Deni nyeret Ardy sampai ke ruang auditorium di mana OSIS biasa ngumpul di sana karena ruangan mereka lagi dibuat, dengan Erza yang ngintilin mereka. Di ruang auditorium udah ada Rendy sama Hendri juga beberapa temen-temen sekelasnya, dari roman-romannya ada yang nggak beres ini, Ardy nelen ludah kasar sewaktu lihat Hendri natap dia sinis. Deni nyeret Ardy sampai ke deket Rendy kemudian Ardy buru-buru berdiri di samping Rendy karena ada sedikit ruang di sana yang memang buat dia.
"Kesaksian Ardy sama Rendy, coba bapak pengen denger yang sejujur jujurnya dari kalian berdua yang kebetulan bobotnya udah sama-sama berat, bener Hendri ngomong jorok sama kasar teriak-teriak di koridor?" Tanya pak Ridwan selaku guru pembimbing buat OSIS.
Ardy dan Rendy saling bertatapan, mereka merasa menyesal karena nggak tahu bakal jadi serius gini, sekarang Hendri beneran terancam. "Be-bener pak," Jawab mereka bersamaan dan Hendri yang denger itu udah lemes pasrah.
"Tapi pak," Ardy buru-buru mengintrupsi sewaktu pak Ridwan mau ngomong. "Ini bukan salah bang—eh, Hendri kok," Ardy ngelirik Rendy.
"I-iya pak, ini sebenernya salah kita, saya sama Ardy bercanda-bercanda sampai mancing amarah Hendri," Ungkap Rendy dan Ardy ngangguk setuju.
"Hendri nyuruh saya sama Rendy supaya jangan lari-lari di koridor tapi kitanya ngeyel sampai bikin dia kesel," Tambah Ardy.
Wajah kedua cowok ini tampak kelihatan menyesal banget, kemudian mereka tegakin kepala mereka dan natap pak Ridwan memelas. "Jangan keluarin Hendri dari kepengurusan OSIS ya pak?" pinta Ardy sama Rendy bersamaan.
Pak Ridwan natap mereka berdua yang lagi masang wajah memelas bikin iba itu. "Tapi coba kalian pikir, ngomong nggak baik sambil teriak-teriak itu salah atau nggak? Di sekolah ini dijunjung tinggi yang namanya disiplin, kesopanan, dan etika. Kalian sadar nggak, kalian ini nggak disiplin dan kurang sopan? Nggak menjalankan peraturan Sekolah dan larangan-larangannya? Kalian ini punya nilai sikap dibawah temen-temen kalian yang lain, apa nggak malu kalian sama orang tua?" Ucap pak Ridwan.
Ardy, Rendy, dan Hendri nunduk, mereka sadar kok sama itu semua apalagi soal malu, jelas mereka malu sama orang tua mereka, cuma yang namanya kebandelan waktu Sekolah itu sulit dilewatin, itu yang mereka bertiga serentak pikirin.
"Habis jam Sekolah, panggil orang tua kalian masing-masing, kita bicarain soal ketidak disiplinan dan sikap jelek kalian." Ultimatum pak Ridwan.
Ardy, Rendy, dan Hendri saling bertatapan dengan mata yang tebelalak kemudian ngumpat didalem hati mereka secara barsamaan bak punya komunikasi telepati.
MAMPUS GUE!