Xavier memeluk erat tubuh Ella yang sangat dingin. Dan pergi membawanya langsung ke tempat tabib untuk di periksa keadaannya. "Awas saja, akan aku pastikan mereka berdua itu menderita, sama seperti mereka menyiksa Ella-ku." Tabib mengatakan bahwa kondisi Ella jika telat di selamatkan, sudah pasti meninggal dalam waktu beberapa jam karena suhu dingin. "Terima kasih banyak pak, katakan apa yang bapak perlukan. Saya akan mengambilkannya," ujar Xavier.
"Tidak usah tuan muda, tidak usah ...," tolak tabib itu dengan sopan, namun Xavier tetap memaksa. Masalahnya, setiap Xavier datang kepada tabib itu, dia tidak mau menerima sepeser pun uang. "Baiklah jika anak muda memaksa, permintaan saya adalah tolong jaga nak Ella. Dia adalah orang yang sangat baik sikapnya, sayangnya nasib dia tidak sebagus orang lain sekarang. Tolong jaga dia, tuan muda."
Permintaan yang cukup sederhana sekali, Xavier bisa melihat ketulusan dari sorot mata tabib tersebut. Tidak seperti biasanya juga ia bisa memberikan pertanyaan seperti itu pada orang lain. Bahkan mengambulkan keinginan orang sekalipun. "Baiklah jika bapak bilang begitu, saya akan menjaga Ella dengan baik."
"Senang mendengar ada orang baik yang masih percaya dengan Ella."
Xavier tersenyum tipis dan menatap kearah Ella yang masih memejamkan mata. Xavier pergi ke rumah Ella untuk menemui para prajuritnya yang menunggu dari tadi. "Cepat bawa mereka ke istana!"
"Baik pangeran!" Para prajuritnya menyeret May dan Alana dengan sangat kasar keluar dari rumahnya. Orang-orang yang mendengar teriakkan mereka pun hanya bisa mematung tidak berani mendekat. Ataupun keluar dari rumah. "Tidak lepaskan! Kami tidak salah apapun!" teriak May.
"Diamlah, jika kalian masih mau melihat matahari," ancam Xavier yang langsung membuat May dan Alana menutup mulut dengan rapat. Dalam perjalanan menuju istana, mata Xavier terus menatap kearah Ella. "Bangunlah, sampai kapan matamu tertutup terus."
***
Gelap, dingin, dan sunyi itulah yang aku rasakan sekarang. Apakah ini yang aku rasakan nanti? Namun aku bisa merasakan sedikit hawa kehangatan yang mengelilingiku. Berada dimana aku sekarang? Apa aku sudah mati? Aku rasa aku belum mati sekarang.
"Ella ...."
Siapa itu yang memanggilku, apa ada orang disini?
"Ella ...." Suara lembut itu masih menyebutkan namaku. Tapi aku tidak bisa melihat sosok itu siapa. "Ella, aku disini ...." Cahaya putih kecil itu datang kepadaku. Apa suara itu dari cahaya kecil ini.
"Iya?" jawabku sedikit bingung.
"Jangan takut, semua yang kamu hadapi sekarang akan lebih berat dari ini. Aku tahu kamu bisa melakukannya, karena kamu sudah ditakdirkan."
"Apa maksudmu? Ditakdirkan untuk apa?"
"Kamu akan mengetahuinya seiring waktu berjalan. Ini adalah mimpi, bangunlah, ada seseorang yang menunggumu untuk sadar."
"Kearah mana aku harus jalan, ini sangat gelap ...."
"Berjalanlah lurus dan kamu akan menemukan sebuah pintu. Lalu masuklah ke dalamnya." Aku mengangguk mengerti dengan arahan yang diberikan cahaya kecil itu. Aku tidak tahu apa yang ia katakan, diriku masih bertanya-tanya. Ditakdirkan untuk apa diriku ini. Memang ada apa padaku?
Benar yang dikatakan cahaya kecil itu, aku menemukan pintu yang sangat terang. "Xavier sudah menungguku bangun sekarang. Aku datang Xavier, aku datang ...."
***
Calista syok dengan keadaan Ella, ia dan para maid membersihkan dan menaruh obat di hampir sekujur tubuh Ella. "Sungguh malang sekali nasibnya untuk gadis sebaik dia," gumam Calista.
Xavier terus menatap kearah Ella, sampai-sampai lupa mengedipkan mata. "Hah ... Sudahlah Xavier, dia pasti akan bangun. Tunggulah sebentar." Calista berjalan keluar dari kamar dan Xavier kembali mendekati Ella, padahal sudah dilarang untuk tidak menggangu Ella. Ia meraih tangannya, lalu menggenggamnya erat. "Bangunlah ...."
Matanya terbuka, Ella melihat kearah Xavier yang menatap lekat-lekat. "Ada apa hah? Aku baik-baik saja sekarang," ujar Ella lirih dan lemah.
"Baik-baik dari mananya? Mereka sudah memperlakukanmu sebagai budak dan kamu juga hampir mati tadi," ujar Xavier membelai lembut rambut indah wanitanya. Ella terdiam, ia sedang tidak ingin mengungkit itu untuk sementara.
"Mereka berdua sudah ku bawa kemari dan berada di sel tahanan. Aku ingin kamu memberikan hukumannya pada mereka. Mereka layak di hukum ...."
Ella terkejut mendengarnya, "Apa? Mereka berada di sel tahanan?"
"Iya, di sel tahanan. Pikirkan apa yang ingin kamu lakukan pada mereka berdua."
"Akan aku pertimbangankan nanti, Xavier."
***
May dan Alana di masukkan ke dalam sel tahanan yang dingin dan sempit. Hanya di temani lilin saja yang menerangi satu ruangan sel. "Keterlaluan si Ella, awas saja jika dia tidak mau membebaskan kita, aku tidak mau mati sekarang," gerutu Alana.
"Tahan emosimu Alana, dia kan punya hati yang lembut. Dia pasti akan membela kita nanti, percaya saja sama ibu," kata May yang berusaha tenang. Alana terdiam, namun ia tidak begitu yakin jika Ella akan angkat suara. Ella sendiri pasti kesal dan mungkin saja akan tutup mulut nanti.
"Aku kurang yakin ...," ungkap Alana lirih.
***
Beberapa hidangan masuk ke dalam kamar Ella. Ssmua itu di buat khusus oleh para maid atas perintah Calista. "Ayo di makan Ella, makanlah selagi hangat. Itu akan membantu memulihkan kesehatanmu," kata Calista lembut.
"Terima kasih banyak yang mulia ...."
"Sama-sama, ibu tinggal ya Xavier. Pastikan bahwa Ella menghabiskan makanannya."
"Baik ibu, tenang saja," jawab Xavier. Calista pun berjalan mendekati pintu dan sosok perempuan sudah berdiri di depan pintu tersebut. Calista segera keluar lalu menutup pintu. "Kenapa Lisa? Tumben kamu datang malam-malam, apa kedua orang tuamu tidak memarahimu? Harusnya kamu mengabari lebih dulu jika mau kesini," kata Calista terkejut.
"Maafkan aku, ratu. Aku sudah mengirimkan beberapa surat kepada Xavier dan ia tidak membalas suratku. Dan orang tuaku mengizinkan aku kesini. Dan aku akan pulang besok pagi. Aku bosan di istana terus," jawab Lisa.
"Ya sudah, ayo aku antarkan kamu ke kamar tamu." Lisa mengangguk manis dan berjalan mengikuti Calista. Xavier yang memiliki pendengaran tajam, terkejut mendengar suara Lisa yang berada disini. "Wajah kamu memucat Xavier. Apa kamu sakit?" tanya Ella.
"Tidak-tidak, aku tidak sakit. Aku hanya teringat beberapa pekerjaan yang belum selesai saja. Setelah ini aku harus pergi, tidak apa kan jika aku tinggal?" jawab Xavier kikuk.
"Tentu saja tidak apa-apa." Semua piring yang berisi makanan sudah habis dan Xavier pergi meninggalkan Ella sesuai dengan apa yang ia bilang tadi sambil membawa peralatan makan bekas Ella. Kehadiran Lisa membuat Xavier sedikit kesal dan mengganggu. "Semoga saja Ella tidak beranggapan yang aneh-aneh soal Lisa."
"Xavier ...," panggil Lisa yang terduduk di sofa ruangan tengah. Langkah kaki Xavier terhenti, ia berbalik arah. "Ada apa kamu kesini?" tanya Xavier nada ketus.
"Kenapa? Apa kamu tidak menyukai kehadiranku? Ayolah, duduk sebentar dan berbincang sedikit. Kamu baru selesai makan ya?"
"Ya, aku tidak menyukai kehadiranmu."