Ralin mengabaikan suara-suara ramai di sekitarnya, sibuk mengecek ponselnya yang menampilkan daftar transaksi di akunnya. Dengan jumlah pembaca yang mencapai ratusan ribu, penghasilannya kini melampaui harapannya semula. Ya, dia sudah lama rajin menulis novel dan menerbitkannya di platform menulis digital. Tak banyak yang tahu soal ini, sebab ia tak mau teman-temannya berspekulasi sendiri mengenai tokoh-tokoh yang ditulisnya yang sebenarnya hanyalah rekaan. Ia tersenyum sendiri dan menggigit bibirnya dengan gemas, lalu sibuk mengetikkan balasan komentar untuk salah satu pembaca. Ia tak menyadari saat sosok di hadapannya tengah memandangnya.
“Lin.”
Ralin mendongak.
“Apa?”
“Asyik banget lo dari tadi.”
Ranu mengangkat alisnya. Ralin melayangkan pandang ke sekitarnya, ke arah teman-temannya yang tengah makan sambil berceloteh. Kantin ramai. Ralin meraih gelasnya dan menyedot es tehnya, sedikit terbatuk saat manisnya gula mencapai lidahnya. Ia mengaduk kembali minuman itu dan menyedotnya pelan.
“Nggak makan?” tanya Ranu. Ralin menggeleng.
“Males.”
“Itu tuh yang bikin maagmu kumat.” Riga menukas. “Jangan sampai lo tumbang lagi, Lin.”
Ralin meringis.
“Tadi udah makan kok, Ga. Nanti gue beli roti aja deh.”
“Eh, kata anak IPA 2, tugas seni teater nanti kita bikin drama lho!” Pipin tiba-tiba berkata. Ia menatap serius layar ponselnya. “Drama satu babak, tema bebas, sekalian untuk ujian semester nanti.”
Suara – suara panik terdengar di sekitar Ralin.
“Kelompok atau gimana? Atau naskah doang?”
“Yee…mana mungkin naskah doang.” Pipin menoyor kepala Jenny. “Satu kelompok 5 orang, nanti kita pentasin di auditorium saat jam pelajaran teater. Hmm…seminggu sebelum UAS.”
“Sebulan lagi!” pekik Riga lebay. Ia lalu menoleh pada Ralin yang tenang-tenang saja. “Lin! Gue sekelompok sama lo ya! Please, Lin.”
“Eh, gue juga!” Jenny mengacungkan tangannya.
“Gue juga, Lin. Jangan campakkan gueee…” Pipin berseru dengan tak kalah hebohnya. Ralin terkikik melihat kelakuan mereka.
“Apa sih? Kalau pakai nomor absen gimana?” Ia membulatkan matanya. Giliran Jenny yang terpekik, dan semua menertawainya.
“Nggak adil kalau begitu.”
“Giliran tugas bahasa atau teater, semua pada heboh ngajakin satu kelompok.” Ralin mengeluh pelan. Ketiga sahabatnya tak mendengarnya dan sibuk berdebat mengenai tugas tak menyenangkan itu. Ranu menoyor dahinya, membuat Ralin terkesiap.
“Jangan murung begitu.” Ranu mengingatkan.
“Terserah kan?” Ralin menggembungkan pipinya, kesal. “Nanti pasti ada lagi yang maksa satu kelompok, belum lagi maksa dibikinin naskah dengan bayaran pulsa. Hihhh…giliran aku yang minta tolong, dicuekin.”
“Itu artinya elo bisa diandalkan.”
“Ralat. Dimanfaatkan.” Ralin menopangkan pipi pada tangannya. “Mereka bertiga sih enggak, maksudku yang lainnya.”
“Termasuk gue?”
“Ya.”
Ranu tertawa pelan, lalu menyuap kembali makanannya, masih memandang Ralin yang melamun. “Ngomong-ngomong soal dimanfaatkan, sini gue kasih tahu sesuatu.”
***
“Ngeliat Ralin itu gimana ya….bikin hari terasa cerah.”
Yuga mendongak, mendapati Ravi, sahabatnya tengah memandang lurus ke depan ke arah Ralin yang sedang mengobrol serius dengan Ranu. Ia hanya mengangkat alis, tak menanggapi.
“Kenapa lo nggak jadi ngejar dia, Rav? Masih kosong lho!” Deni memanas-manasi. “Sayangnya gue udah punya pacar.”
“Pengawalnya banyak, galak pula! Tuh liat si Riga, kecil-kecil gitu bisa ngebanting lo dalam sekejap. Pipin yang gede itu bisa menimpa lo sampe rata. Jenny si judes, sekali lirik lo bisa lumer nggak bersisa. Serem!”
Yuga mendengus tertawa, ikut melirik Ralin, mendadak tertegun melihat Ranu yang dengan lembut mengusap rambut gadis itu. Ralin tertawa-tawa, menoyor dahi lelaki itu, yang dibalas dengan cubitan di pipinya.
Pamer!
“Woi, Ranu!” Ravi berseru pada Ranu, yang tersentak dan menoleh. “Jangan pegang-pegang!”
Ralin tertawa, menjitak kepala Ranu yang tengah menjulurkan lidah pada Ravi. Gadis itu melirik sekilas pada Yuga, kembali menyibukkan diri dengan berkelit dari balasan Ranu, tak mempedulikan tatapan dingin Yuga.
“Hei, gue mau tanya sesuatu sama kalian.” Yuga berusaha mengalihkan perhatian dua sahabatnya dari Ralin dan Ranu yang masih heboh berdua.
“Apaan?” tanya Ravi yang masih mendelik pada Ranu. Deni menarik kupingnya hingga Ravi berbalik.
“Menurut kalian, gue bucin?”
Keheningan menyusul ucapan Yuga, lalu tanpa aba-aba, Ravi dan Deni meledak tertawa terpingkal – pingkal. Dalam sekejap mereka menjadi pusat perhatian. Yuga menendang Ravi yang tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. Keterlaluan!
“Menurut lo…” Deni meringis, memegangi perutnya, susah payah berbicara di tengah tawanya. “Menurut lo hal itu perlu ditanyain lagi?” Ia menelungkup di meja dengan tubuh berguncang. “Sialan, sakit perut gue. Kram nih…”
Ravi memegangi kedua pipinya yang tembam, mengusapnya sambil meringis.
“Aduh, pipi gue, konslet. Bisa ngelawak juga lo, Ga.”
Yuga memutar bola mata, sebisa mungkin menahan kesabarannya untuk menunggu dua kunyuk di hadapannya berhenti tertawa. Ia melirik ke meja yang ditempati Ralin, mendapati gadis itu memandang ke arah mereka dengan penuh minat. Matanya berkilauan. Cih!
“Udah selesai? Mau gue tonjokin lo satu-satu?” Yuga akhirnya berkata beberapa saat kemudian. Ravi dan Deni duduk bersandar di meja dengan lemas.
“Ga, bukannya itu keliatan jelas banget? Dan lo baru nyadar sekarang? Sekarang ini?” Ravi akhirnya menjawab. “Siapa sosok misterius yang akhirnya menyadarkan lo dari kefanaan ini?”
“Kunyuk! Bahasa lo!” Tanpa sadar ia melirik Ralin yang tengah berbisik-bisik dengan Ranu. “Ada deh!”
“Lo itu bucin, asli!”
“Terlalu keras, Bangke!”
“Lo itu bucin, Yugaaaa…” Ravi mendesah panjang, mendapat hadiah jitakan dari Deni. “Dan kalau lo sampai sempat duduk bareng kita-kita ini, artinya lo dan Tiffany lagi marahan dan lo lagi males merayu dia. Betul?”
“Dan,” Deni melanjutkan, “Alasan kalian berdua marahan biasanya nggak jauh-jauh dari Fani yang cemburuan. Orang ketigaaaa….” Deni ikut mendesah. “Gue tahu kok siapa orangnya.”
Yuga membelalak, ternganga memandang dua sahabatnya.
“Sejelas itu? Ini asumsi lo doang kan?”
“Asumsi semua orang di kelas, Bangke! Lo pikir kita nggak punya mata dan otak buat mencerna apa yang terjadi? Lo pikir lo doang yang pinter?” Ravi berkata dengan menggebu-gebu. “Kasih tahu dia apa yang kita lihat!” Ravi berkata pada Deni.
“Pasti Ralin kan? Gue pernah lihat kalian jalan berdua, lebih dari sekali. Nggak usah membantah!”
“Bukan seperti itu…”
“Tuh kan, ngaku kan dia!” Ravi menggebrak meja dengan keras, sekali lagi menerima tendangan dari Yuga karena membuat orang-orang menoleh ke arah mereka. “Jangan macem-macem lo, Ga! Kasihan Ralin. Lo kan tahu Fani kayak gimana.”
“Kayak gimana maksud lo?” tanya Yuga mendadak berang. Kenapa lebih dari satu orang yang menjelek-jelekkan kekasihnya? Apa mereka sengaja berkomplot?
“Rav, cari mati lo!” Deni menukas. “Dia nggak bakal terima.” Ia lalu menepuk bahu Yuga yang tegang. “Fani itu urusan lo, Ga. Yang jelas, kalau lo mau nyari selingkuhan, jangan Ralin orangnya. Gue sama Ravi nggak rela.”
“Emang kenapa kalian segitu pedulinya sama Ralin? Apa bagusnya dia dibanding cewek lain? Dia pinter aja enggak!”
Ucapannya membuatnya mendapat hadiah jitakan Ravi yang emosi.
“Buka mata lo, Ga. Cewek itu nggak cuma Fani yang menurut lo sempurna. Di sekolah ini ada banyak cewek yang jauh lebih oke dibanding pacar lo. Kita sih bisa lihat, sayangnya, elo enggak.” Ravi melirik Ralin yang tengah tertawa lepas sambil mendongak, terlihat menggemaskan. “Lo belum tahu Ralin sehebat apa, walaupun menurut lo dia goblok.”
“Setidaknya gue setia kan? Nggak segampang itu melirik cewek lain?” Yuga berusaha membela diri, ikut melirik Ralin.
“Ya, terserah lo dah! Males ngomong sama bucin!” Deni menukas dengan jengkel.
“Pelanin suara lo, Bangke!”
“Bucin..bucin… Yugara Hastinangga bucinnnn!!” Ravi mendendangkan kalimat itu keras-keras agar semua orang di kantin bisa mendengarnya.
Kikik geli Ralin mencapai telinga Yuga. Ralin menutup mulutnya saat tatapan Yuga terpancang padanya, dan balas menatapnya dengan menantang.
Sial, pikir Yuga, ternyata dia benar.