Sudah Kurnia duga—boro-boro menembus lapisan manusia di balai kota—baru beranjak dua kilo dari rumah saja mereka sudah mentok karena macet.
Jadilah mereka menepi ke sebuah warung kaki lima di trotoar.
Lagi pula, kalau mereka tetap nekat ingin terus melanjut ke balai kota, besarnya effort tidak berbanding lurus dengan apa yang akan mereka dapatkan. Tidak worth it. Itu cuma kembang api.
Setidaknya Kurnia berpikir begitu sampai pukul dua belas tiba dan—seolah sudah gladi resik—seluruh sudut di kolong langit menembakkan bunga api mereka. Seperti satu titik klimaks. Ledakan memercik-mercik dari segala penjuru. Suaranya sudah seperti gemuruh perang.
Kurnia menggeleng terkesan. "Seru anjir."
"Dan gue heran kenapa lo sanggup nge-skip ini setiap tahun," sindir Aristo. Menyesap kopinya yang sudah mulai dingin. "Kalau di balai kota bakal lebih keren lagi."
Kurnia mendengus. Begitu ia menoleh pada Aristo, wajah mereka sudah terlalu dekat.
Aristo tergoda sekali untuk mengecup bibir Kurnia yang manyun-manyun. "Lo tahu, Kur? Ada yang dinamakan ciuman tahun baru."
Kurnia menghentak kaki Aristo. Demi apa pun, mereka sedang berada di tempat umum.
"Bukan budaya kita," desis Kurnia.
Aristo tertawa.
Bonus chapter—fin.
— Tamat — Tulis ulasan
Anda mungkin juga menyukai
Komentar Paragraf
Fitur komentar paragraf sekarang ada di Web! Arahkan kursor ke atas paragraf apa pun dan klik ikon untuk menambahkan komentar Anda.
Selain itu, Anda selalu dapat menonaktifkannya atau mengaktifkannya di Pengaturan.
MENGERTI