Unduh Aplikasi
62.5% Ada Cerita Cinta Di Asrama / Chapter 10: Episode 9

Bab 10: Episode 9

Kamar ini tidak berubah setelah hampir setahun aku tinggalkan. Posisi tempat tidurku, bantal-bantal dan seprainya juga masih sama, hanya lebih wangi. Tidak ada debu, pakaian di lemari juga tersusun rapi, kelihatannya meski tidak dihuni kamar ini selalu dibersihkan.

"Ibu kalau pulang kantor sering ke kamar mas Ricko, apalagi waktu mas Ricko baru berangkat ke Jawa, ibu suka nangis di sini. Sampe baju yang mas pake terakhir itu nggak dicuci sama ibu," Mbok Sum cerita saat sedang bantu-bantu nyusun koper kemaren.

Ya, tahun itu adalah tahun-tahun yang sangat berat bagi kami semua, bukan hanya mama, aku juga seringkali nangis sendiri di sekolah, sebelum tidur, ketika istirahat, maklum aku baru 12 tahun saat berangkat ke sekolah asrama. Bukan hanya aku dan mama saja, bahkan papa yang biasanya tegar juga meneteskan air matanya, saat meninggalkanku sendiri di sekolah saat itu.

Tapi sekarang masa-masa itu telah lewat, aku sudah masuk tahun ketiga di sekolah asrama, kegiatan yang padat, teman-teman yang menyenangkan, semuanya membuatku melupakan kesedihan, begitu juga papa dan mama, mereka sudah bisa melepaskanku, meski mama masih sering merasa rindu, wajar saja kamarku dibiarkan seperti apa adanya, hati seorang ibu memang begitu tulus, I Love You Mom.

Hemmmm, akhirnya liburan lagi, sudah kangen sama kampung halamanku, kota yang tidak terlalu besar tapi lumayan padat. Waktu masih SD aku sering keliling kota ini, tidak banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyusurinya. Ada beberapa mall yang dapat dikunjungi di sini, aku lebih suka ke Artomoro, tidak sebesar mall di Jakarta, tapi lumyan buat anak-anak ABG nongkrong, apalagi yang sudah punya cewek, sekaligus nonton bioskop. Ya, harga tiketnya lumayan juga untuk kantong anak-anak sekolah.

Sebenarnya ada yang lebih murah, bioskop Bambu Kuning, tepatnya di jantung kota Bandar Lampung, tapi tempatnya terkesan kumuh, di lantai bawah adalah tempat pedagang tradisional yang menata dagangannya tidak beraturan. Selain itu, bioskop ini selalu menayangkan film-film belakangan, biasanya baru dapat giliran beberapa minggu setelah film-film itu tayang di bioskop ternama.

Hanya saja sekarang aku tidak tertarik ke bioskop, beberapa temanku sudah menelpon, kami sepakat akan ke toko buku Gramedia nanti sore, sepertinya aku sudah ketularan Dion, suka sama buku, hehehehe. Sebenarnya aku mau lihat-lihat peralatan marching band, teman-temanku ternyata juga ikut drum band di sekolahnya, jadi kami sepakat untuk melihat-lihat beberapa instrumen yang dipajang di sana.

Aku duduk menghadap jendela, padanganku lumayan luas karena kamarku di lantai dua. Rumah-rumah di sini sangat padat, jadi hanya atap-atapnya saja yang terlihat. Sesekali aku buka ponsel mengecek sms yang masuk. Hemmm belum ada sms baru.

Jadi aneh rasanya, punya ponsel hanya bisa digunakan ketika liburan, maklum di sekolah ku barang seperti itu terlarang. Meski ada saja siswa yang melanggar dan menyelundupkannya, terutama siswa-siswa SMA, namun bila ketahuan siap-siap dengan resikonya. Sebelum liburan kemarin beberapa siswa SMA disuruh menghancurkan ponselnya masing-masing menggunakan palu, beberapa diantara mereka terlihat sangat kecewa, sepertinya ponsel yang baru saja dia hancurkan lumayan mahal, aku sempat lihat artis-artis di televisi menggunakan ponsel yang sama. Wajar saja muka anak itu sampe nggak karuan, salah sendiri, kan sudah diingatkan.

Ada yang berbeda antara liburan kali ini dengan liburan tahun lalu, sekarang aku sudah punya pacar. Tentunya aku tidak cerita sama papa dan mama, karena itu sangat rahasia. Fikri siswa yang aku lihat saat MOS 2 tahun lalu akhirnya jadi pacarku, cowok cute berkulit putih, dengan rambut lurus, hemmmmm, benar-benar seorang pangeran tampan.

Sekarang dia sudah lulus UN, jadi Fikri sudah jadi anak SMA, sedang aku juga sudah naik ke kelas 3 SMP. Hari-hari kami sangat menyenangkan menjelang liburan beberapa waktu lalu. Aku jadian sama Fikri di kolam renang, beberapa hari sebelum UN SMP dimulai. Sebenarnya itu pertemuan tidak direncanakan bahkan tidak sengaja. Ya, aku akui saja kami berciuman dan itu ciuman pertamaku.

Setelah kejadian sore itu, aku menjadi lebih hidup dan bersemangat. Bahkan Dion juga sependapat bahwa pacaran bikin aku tambah giat belajar, memang saat kami ujian kenaikan kelas aku merasa sangat rajin, Fikri juga banyak membantuku belajar, karena dia sudah selesai UN. Reno, Dion dan Idris malah ikut bersemangat, atau itu perasaanku saja, yang jelas kami berempat naik kelas 3 SMP.

Sekarang kami sudah kembali ke rumah masing-masing, liburan 40 hari adalah waktu yang lama. Jadi bisa melepas rasa rindu, dan menikmati kehidupan bebas tanpa peraturan. Sebenarnya aku juga berat untuk pulang, karena harus berpisah sementara dari pacarku, nggak kebayang bila seandainya Fikri benar-benar melanjutkan SMA di Bekasi, mungkin aku akan pulang saja, hampa rasanya.

Dalam percakapan kami di bangku taman beberapa hari setelah jadian, dia sempat mengungkapkan alasan untuk melanjutkan sekolah di Bekasi.

"Itu semua karena kamu" jawabnya, saat aku menanyakan hal itu.

"Kenapa begitu?" tanyaku penasaran.

"Orang tuaku memberikan pilihan padaku untuk menentukan SMA mana yang ingin aku pilih, lanjut di sini atau di luar. Jadi, saat kamu menolak jadi pacarku aku memutuskan melanjutkan di luar" ucapnya lirih. Aku menatap wajah pacarku itu, dia tersenyum malu.

Aku juga mendengar desas-desus dan gosip itu dari Reno. Fikri anak yang populer, berita apa saja tentang dirinya akan cepat tersebar seperti kapas yang berterbangan.

"Aku nggak sanggup saja, melihat kamu jadi pacar orang lain" lanjut Fikri

"Ha? Maksudmu?" tanyaku bingung, aku tidak mengerti maksud ucapannnya.

"Jujur, saat aku tanya perasaanmu dulu, jawabanmu benar-benar bikin aku kacau. meski saat itu aku berusaha tetap tenang."

Dia tidak memandangku, tatapannya lurus ke depan. Di kejauhan siswa-siswa sekolah ini tampak sibuk dengan rutinitasnya masing-masing.

"Aku kan cuma bilang belum siap pacaran, kenapa kamu mikir begitu?" ucapku pelan, sengaja ku rapatkan tubuhku supaya kami lebih dekat.

"Nggak tau, mungkin sudah terlanjur cinta, apalagi kamu suka ngomongin Kevin, jadi..."

"Wait, Kevin? Kamu nggak mikir aku suka sama Kevin kan?" selaku ketika Fikri bicara.

"Hemmmm, sebenarnya aku sempat berpikir begitu."

"Berpikir apa? Aku suka sama Kevin? Ha! Nggak lah. Aku kenal Kevin saat masih anak baru, dan kami hanya berteman, seperti yang sudah aku ceritakan ke kamu. Lagian pertama kali kita ketemu saat MOS itu, aku sudah ada rasa sama kamu." ucapku sambil memandag wajah Fikri yang rada malu.

Masa dia berpikir aku ada hubungan sama Kevin, kami memang dekat karena Kevin adalah siswa senior pertama yang ngajak aku ngobrol dan kenalan. Tapi hubungan kami hanya sebatas sahabat. Lagi pula aku tidak punya perasaan sama Kevin.

"Siapa bilang saat MOS itu pertemuan pertama kita?' tiba-tiba Fikri tersenyum aneh.

"Maksudmu?" tanyaku penasaran.

"Aku pertama kali melihatmu saat pembagian kelas anak baru, di lapangan itu" jawab Fikri santai.

Apa? Aku ingat moment itu, saat siswa-siswa senior mengeluarkan desisan aneh, apakah di antara mereka ada Fikri?

"Kamu sama gerombolan siswa SMA itu?" tanyaku sambil menyipitkan mata ke Fikri,

"Bukan, aku masih kelas 2 SMP, mana mungkin ikut-ikut siswa SMA." jawab Fikri gugup.

Aku memasang tampang cemberut, Fikri jadi salah tingkah, kelihatannya dia tau aku ragu dengan jawabannya.

"Oke, aku tidak jauh dari gerombolan itu. Tapi aku nggak ikut ngucapin desisan yang, hemmm, kamu taulah." Fikri sedikit mengernyit. Aku paham maksudnya.

Huh! Baiklah, kelihatannya dia jujur. Sampai sekarang kejadian itu masih aku simpan, kesan pertama saat pembagian kelas, desisan aneh siswa-siswa SMA, untung saja anak ini nggak ikut-ikutan.

"Tapi, apa yang dilakukan siswa-siswa senior itu yang bikin aku penasaran. Aku memperhatikanmu mulai saat itu, dan ternyata, kamu lumayan juga" beber Fikri pelan, wajahnya sedikit memerah.

What? Lumayan? Huh! Dasar Fikri. Masa aku cuma dibilang lumayan sih, mentang-mentang dia cakep.

"Jadi waktu MOS itu kamu sengaja duduk sebaris denganku?" tanyaku.

Fikri menegakkan kepalanya, sepertinya dia berusaha bicara dengan nada yang normal, alih-alih berhasil malah kelihatan tambah gugup. Padahal biasanya dia begitu cool, dengan wajah tampan, postur tubuh yang lumayan tinggi, menjadikannya remaja yang sempurna, tapi rasa gugupnya bikin gemes dan memperlihatkan bahwa dia juga masih anak-anak, sama sepertiku.

"Sebenarnya aku tidak merencanakan duduk sebaris denganmu?" akhirnya jawaban gugup itu keluar juga, aku tersenyum ragu dengan jawabannya. Fikri memalingkan wajahnya, hahahaha, aku sudah tau dengan reaksi yang seperti itu, artinya dia berbohong. Tentu saja aku tau, dia kan pacarku.

"Ok aku jujur. Ya aku sengaja duduk sebaris sama kamu, emangnya kenapa?" akhirnya dia mengakuinya, aku tertawa mendengarnya, dan lebih lucu lagi melihat tampangnya yang bercampur antara malu, kesal dan cinta, susah untuk digambarkan.

"Berarti kamu ngejar aku dong?" ucapku puas.

"Nggak juga, buktinya kamu yang nyariin aku ke kolam renang" balasnya nyengir. Sepertinya keberaniannya sudah mengalahkan rasa malu dan gugup.

"Enak aja. Aku nggak sengaja, aku bukan cari kamu. Kan sudah dibilangin. Lagian aku tau kamu nanya-nanya tentang aku sama Andre, sepupumu itu."

"Bukannya kamu dan Andre suka ngomongin aku? Kamu sendiri loh yang ngaku waktu di taman kan?" Fikri balik menyudutkanku. Dasar, pintar banget ngeles. Ayo, aku ladenin.

"Habisnya kamu pake nyamperin aku dekat gudang, lalu kamu juga yang mencium keningku kan?" kilahku.

"Lalu yang cium bibir pertama siapa?"

Kata-kata Fikri itu membuat aku terdiam, mau jawab apalagi, ya akulah yang mencium bibirnya pertama kali di kolam renang itu, itu adalah luapan isi hatiku yang tak dapat lagi diungkapkan dengan kata-kata, satu ciuman untuk semua jawaban. Satu ciuman untuk semua harapan, bahwa aku mencintainya, dan aku tak ingin berpisah darinya.

Tapi setelah itu, berapa kali dia mencium bibirku? Hampir setiap dia menemaniku belajar berakhir dengan ciuman. Bahkan saat selesai ujian nasional Fikri menciumku di kamar, hampir saja ketahuan sama Andre, meski kami tidak bertindak berlebihan, ciuman sudah cukup untuk melepaskan hasrat kami, karena kami sadar kami masih anak-anak SMP.

"Yang jelas, sekarang aku tetap melanjutkan SMA di sini. Alasannya sederhana, karena kamu" ucap Fikri pelan.

Dia menatapku dengan mata hitamnya, tatapan yang penuh makna. Wajah tampannya tidak pernah bosan untuk dipandang. Bibir nya yang merah, ingin aku menciumnya lagi, aroma nafasnya begitu segar.

"Bagaimana kalau aku yang tidak melanjutkan SMA di sini?" aku balik bertanya.

Fikri menatapku terkejut, pasti dia tidak menduga pertanyaan aneh ku itu. Aku juga spontan saja mengucapkannya. Lama kami berdua diam, suasana hening, tak ada kata-kata.

"Aku akan menyusulmu," jawabnya tenang, sepertinya dia serius.

Sesaat aku tatap wajah tampan yang sedang memandang lurus ke depan itu, seakan-akan kata-katanya mengisyaratkan keteguhan hatinya untuk menyusulku. Aku benar-benar terharu, sambil tersenyum aku memeluk dan mencium pipinya.

"Aku hanya bercanda, aku nggak akan pergi kemana-mana" bisikku di telinganya.

Fikri menatapku setengah jengkel, mana mungkin aku meninggalkannya sendiri di sana, kami tau setelah tamat SMA tidak ada yang pasti, tapi setidaknya waktu yang ada akan kami manfaatkan sebaik-baiknya.

Sekarang kami sedang liburan, berpisah sementara meskipun berat, aku rindu. Tapi aku tidak akan mengganggunya, Fikri perlu waktu buat keluarga, begitu juga aku, meskipun tetap saja aku menunggu dia menelpon atau sekedar sms-an.

Liburan tahun lalu terasa sangat singkat, 40 hari berlalu dengan cepat, namun kali ini aku sudah merasa seperti 2 bulan, padahal baru libur 2 hari. Mungkin aku kangen teman-temanku, Dion, Reno, Idris, Kevin, Reza, juga Andre, meski kami tidak terlalu akrab. Tapi lebih dari semua itu, aku ingin bersama Fikri, menghabiskan masa-masa liburan ini, egois memang, namun itu hanya sebatas angan-angan saja, toh aku juga merindukan rumah, papa, mama bahkan mbok Sum.

"Ricko ayo turun, mama sudah nyiapin makanan kesukaanmu." suara mama memanggil dari ruang makan.

"Iya ma." teriakku dari kamar.

Kadang aneh rasanya sekolah jauh begini. Kalau sedang liburan, hari-hari pertama pasti seisi rumah pada perhatian. "Ricko mau makan apa? Nanti mama masakin", padahal mama jarang masak. "Ricko mau kemana hari ini?" Nanti papa antar, huft! Dulu biasanya papa sibuk.

Ya, begitulah hari-hari pertama liburan, aku diperlakukan seperti raja, sebelum mbok Sum belanja ke pasar pasti mama nanya dulu aku mau dimasakin apa. Begitu juga papa, pokoknya perhatian banget. Minggu kedua liburan biasanya sudah mulai cuek, minggu ketiga sudah mulai bosan melihatku makan, tidur, nonton, internetan, main game, jalan dan melakukan kegiatan itu berulang-ulang hahahaha, habis mau ngapain lagi, namanya juga liburan sekolah. Lalu minggu terakhir kembali lagi perhatian, karena sudah waktunya berpisah lagi.

Aku pernah tanya sama teman-teman sekolahku, ternyata mereka juga mendapat perlakuan yang sama, suka duka anak rantau. Bahkan Reno pernah cerita, kalau dia pulang ke Padang ukuran potongan daging yang dimasak ibunya ukuran jumbo, semakin lama semakin kecil, dan akhirnya sebelum pulang ke sekolah lagi, ukurannya baru kembali seperti semula, hahahahaha, aneh, untung mamaku tidak sebegitunya, kasian banget Reno.

"Ini mama masakin pindang daging kesukaanmu" ucap mama sambil meletakkan mangkuk berisi pindang di atas meja makan.

Aromanya begitu menggoda, terus terang saja aku jarang makan begini di asrama, bukan dagingnya, kami rutin makan daging di sekolah, tapi menunya. Di Sumatera menu pindang adalah menu yang populer, apalagi daging sapinya dipotong dadu dengan ukuran kecil, jadi lebih empuk.

Selain itu, aku memang suka masakan berkuah, dan di asrama jarang aku dapatkan, karena lebih banyak yang digoreng dan disantan. Kalaupun masakan berkuah, rasanya nggak seenak masakan mama, maklum di asrama kan masak untuk makan banyak orang, jadi masalah rasa tidak terlalu penting.

"Ayo makan yang banyak, tuh badanmu mulai kurus" celetuk mama sambil duduk menemaniku makan. Perasaan badanku sedang-sedang saja.

"Mama nggak makan?' tanyaku sambil menyantap isi piringku yang lezat.

"Mama udah sarapan tadi pagi, kamu sih bangunnya kesiangan" ucap mama.

"Aku bangun pagi kok, cuma males aja turun, masih betah di kamar" jawabku asal.

"Papa mana ma?"

"Biasa, ke kantor"

"Mama nggak ke sekolah"

"Kamu ini gimana sih, sekarang kan sedang liburan,"

"Oh iya, lupa" jawabku manja. Habis dari tadi aku mikirin Fikri. Jadi malu.

"Kamu jadi mau ke Gramedia sore ini?" tanya mama.

"Jadi, tadi Wahyu dan Firman sudah sms" jawabku

"Mau beli buku apa?"

"Bukan buku ma, aku mau lihat-lihat instrumen marching band, kali aja ada yang cocok."

"Oh, yaudah, uang di ATM-mu masih ada kan?"

"Masih ma,"

"Kalau ada yang mau dibeli di Gramedia pake uang ATM aja dulu, sebelum berangkat ke kampus nanti mama isi lagi." Ucap mama.

Aku mengangguk dan tersenyum, mama berdiri meninggalkanku di meja makan. Aneh juga rasanya di meja makan sendiri, biasanya di sekolah rame.

Tak terasa nasi di piring sudah habis. Aku kembali ke kamar setelah makan, suasana rumah ini terasa begitu sepi, penghuninya hanya ada 4 orang, papa, mama, aku dan mbok Sum, kalau pagi paling ada 1 orang ajudan papa, itupun cuma sampe jam 10 saja sebelum dia menyusul papa ke kantor.

Ternyata ada beberapa sms dari Fikri yang baru saja masuk, akhirnya sms juga.

"Aku nggak mood, boring banget. pengennya sih ada kamu"

Lebay banget smsnya, meski aku suka.

"Kesini aja, naik pesawat cuma 40 menit" balasku.

Lagian baru libur 2 hari sudah boring, Bekasi kan kota besar, kenapa dia nggak jalan-jalan saja, ke mall atau kemana gitu. Tidak terlalu lama Fikri membalas sms ku, rada aneh juga bacanya.

"Gimana ya , aku nggak punya saudara di sana. Boleh nggak aku nginap di tempatmu"

Hahahahaha, kelihatannya dia menganggap serius ajakanku tadi, padahal cuma basa-basi saja, dasar Fikri. Mending aku kerjain.

"Ada Kevin nginap di rumahku, kalau kamu nginap di sini juga nanti papaku marah" kukirim sms itu dan bukannya balas sms ternyata Fikri malah menelponku, hahaha.

"Kamu bohongkan Kevin mau ke tempatmu dan menginap?" suara Fikri nggak beraturan diujung telpon.

"Ya, cuma becanda, ngapain pake nelpon segala. Masa begitu aja dianggap serius" jawabku

"Syukurlah. Lagian kamu sih, baru pulang 2 hari sudah ada rencana selingkuh" suaranya terdengar jutek. Kalau aku bisa lihat mukanya, sudah bisa dibayangkan bagaimana raut wajahnya itu hehehehe.

"Sudah dibilangin becanda, Kevin juga nggak tau nomor ponselku" ucapku meyakinkannya.

"Iya, aku percaya, tapi beneran aku boleh nginap di tempatmu?" Fikri balik bertanya, kelihatanya dia ada niat nih.

"Kamu sudah siap menghadap papa dan mamaku? Papaku jaksa loh, sudah terbiasa ngintrogasi tersangka"

"Hah! Aku kan cuma mau main saja kesana, bukan mau ngelamar." jawabnya ketus.

"Kenapa mau nginap segala? Kan bisa nginap di hotel" kilahku sambil tertawa.

"Kamu tega banget, masa pacar sendiri disuruh nginap di hotel sih" Fikri menjawab dengan suara sedih, padahal aku tau dia pura-pura.

"Kalau kamu menginap di rumahku, dan kita tidur seranjang, nanti kamu macam-macam" giliranku yang jutek.

"Macam-macam gimana, paling juga aku cium dan peluk" jawabnya manja.

"Seandainya kita cuma berdua di kamar, kamu memeluk dan menciumku, yakin nggak bakal melakukan yang lainnya?" pancingku.

"Hemmmmmm, gimana ya," Fikri berusaha mencari kata-kata buat ngeles.

"Kalau kamu yakin bisa menahan "itu", kamu boleh tidur seranjang denganku." ucapku semakin nakal saja, hahahaha.

"Masa nggak boleh lebih sih, kan kita sudah pacaran, di luar biasa saja yang begituan, lagian kamu juga nggak bakalan hamil" ucap Fikri asal saja. Aku sempat kaget juga mendengarnya, aneh, masa hamil sih.

"Masalahnya kita masih SMP" jawabku ketus.

"Aku sudah SMA sekarang" kilahnya

"Tapi aku masih SMP" timpalku.

"Iya, aku ngalah, tapi kalau kamu sudah SMA nanti bolehkan?" tanya Fikri ragu-ragu.

"Apanya?" jawabku bingung

"Yang kamu bilang tadi, hmmmmm, itu" ucap Fikri pelan dengan suara yang rada mesum.

"Entahlah, aku nggak janji, semoga aja kita belum putus sampai saat itu" jawabku asal.

"Ha? Kamu ada rencana putus denganku?" ucapnya terkejut.

"Bukan rencana, semua mungkin terjadi, dan aku berharap kita tidak putus, itu maksudku" hahaha aku juga nggak sadar dengan ucapanku barusan.

"Iya semoga aja kita selalu bersama." suara Fikri terdengar pelan

"Ya, semoga saja" Jawabku dalam hati.

"By the way kamu sekarang mau ngapain?" Fikri mengalihkan topiknya.

"Mau tidur, kamu sendiri?" aku balik bertanya.

"Yaelah, mentang-mentang liburan tidur melulu. Yaudah, tidur sana! Aku mau mandi dulu, dari pagi belum mandi." ucapnya dengan suara manja. Coba kamu ada disini Vick, pengen deh aku cubit pipimu itu.

"Pantesan baunya sampe kesini, sudah siang begini belum mandi" ucapku dengan suara yang nggak kalah manjanya hahahaha.

"Tapi kamu suka kan baunya?" pancing Fikri.

"Enak aja, geer banget" jawabku ketus.

"Mau mandi bareng?" Fikri menambahkan.

"Ntar aja, kalau kamu berani kesini" tantangku.

"Yaudah, nanti aku minta izin dulu ke papa dan mamaku, kalau diizinin, siap-siap ya mandi bareng" balasnya dan bikin aku gugup.

"Nggak usah, aku becanda doang"

"Hahahahaha, aku tau kok. Udah, tidur sana, I love you ."

"I love you too" jawabku sambil menutup telpon.

Ku rebahkan tubuhku ke atas tempat tidur, meski hanya lewat telpon, percakapan singkat kami membuatku semakin merindukannya, padahal baru liburan dua hari.

Hari sudah menjelang jam 4 sore ketika Wahyu dan Firman menjemputku di rumah. Mereka adalah teman sekolahku waktu SD. Awalnya kami mau bawa motor masing-masing tapi nggak boleh sama papa, aku belum punya SIM, padahal Wahyu dan Firman juga belum punya. Akhirnya aku boncengan sama Firman sedang Wahyu pake motornya sendiri.

Aku duduk di motor sambil memegang pinggang Firman, ada rasa yang aneh saja. Dulu aku nggak merasakan apa-apa, tapi setelah pacaran aku merasa janggal kalau boncengan sama cowok. Apalagi Firman ini seumuran denganku, lumayan cakep juga. Entahlah, sekarang aku mulai terbiasa menilai fisik teman-teman cowok di sekitarku, ternyata aku baru sadar mereka lumayan ganteng juga.

Mungkin Firman sudah mimpi basah kali ya. Spontan saja pikiranku melayang entah kemana, tanganku yang ada di pinggang temanku ini merasakan kehangatan tubuhnya, ku dekatkan badanku hingga menempel di punggungnya, jadi ingat Fikri, sebelum liburan dia sering mendekapku dari belakang dan mengecup leherku, rasanya begitu nyaman.

"Lu sudah punya cewek belum?" suara Firman terdengar samar saat dia mulai obrolan. Bikin kaget saja.

"Belum, nggak ada cewek di sekolah ku" jawabku singkat, memang begitulah adanya.

Kadang rada risih juga ngobrol tentang cewek sama teman-temanku ini, yang ada aku akan jadi pendengar setia tanpa memiliki bahan untuk dibicarakan, seperti aku bilang, bukannya aku tidak pernah jatuh cinta atau belum punya pacar, justru sekarang aku sedang pacaran, hanya saja pacarku cowok, hal yang tidak biasa untuk dibicarakan sama "orang luar", maksudku luar sekolah ku.

"Kasian amat hidup lu, ngapain juga sekolah di tempat begituan, lama-lama jadi homo lu!" cecar Firman lagi.

Kampret! Omongannya benar-benar menusuk banget, aku memang pacaran sama cowok, tapi rasanya masih kikuk mendengar kata-kata "homo". Apa jangan-jangan dia sadar aku mendekatkan tubuhku ke punggungnya tadi? Tapikan selangkanganku masih ada jaraknya sama pinggangnya itu.

"Emang kamu udah punya gebetan?" aku bertanya balik sama Firman dengan rada jutek.

"Udah banyak kali gebetan gue, bahkan si Apriani yang lu suka waktu SD itu pernah gue cium" jawabnya ceplas ceplos.

"Aku nggak percaya" jawabku. Nggak mungkin anak yang barus naik kelas 3 SMP ini berani cium-cium cewek.

"Kenapa? lu belum pernah ciuman ya?" tanya Firman sambil melihatku lewat spion motornya. Pandangan meremehkan, shit!

"Sudah" jawabku asal saja.

"Hah! lu ciuman sama cowok?" tiba-tiba saja Firman memelankan laju motornya, bikin aku kaget. Dan yang lebih parah lagi responnya itu.

Aku diam, mukaku rada pucat, mengingat-ngingat jawabanku barusan. Hanya kata "sudah", kenapa dia menyimpulkan aku ciuman sama cowok, walaupun maksudku memang aku sudah berciuman sama Fikri, tapi aku tidak mau membukanya.

"Hahahaha, lu kaget gitu. Gue becanda doang. Kalau lu belum pernah ciuman nggak perlu minder gitu, Wahyu juga belum pernah." lanjut Firman, ucapannya bikin aku lega, meskipun rada dongkol.

Anak ini kelihatannya masih tidak berubah, Firman sok tau. Cocoknya dia disandingkan sama Dion, pasti jadi tontonan yang menarik.

"Lagian di dunia ini cowok itu banyak macamnya, ada yang humble, ada yang friendly, ada yang urakan, ada yang maskulin, ada yang feminim, ada juga yang cupu." tambah anak yang memboncengiku ini.

Aku hanya diam saja, dia terus bercerita tentang cewek-cewek yang jadi gebetannya, meski aku rada sangsi bahwa cerita-ceritanya itu benar, secara dari gelagat omongan Firman ini sepertinya bulshit semua.

Jalanan lumayan rame, beberapa kali Wahyu mendekat agar motornya sejajar dengan motor kami, tapi selalu gagal, karena banyak yang ngelakson dari belakang, akhirnya aku diam saja tidak menggubris ocehan Firman, nggak enak saja kami ngobrol berdua sedang Wahyu dicuekin, kalau ngobrol saling berpapasan motor nanti malah bahaya lagi.

Tidak butuh waktu yang begitu lama untuk sampai ke Gramedia, karena rumahku tidak terlalu jauh dari toko buku ini. Aku turun dari motor dan langsung menuju pintu masuk, sedang Firman dan Wahyu memarkirkan kendaraannya di parkiran.

"Ayo masuk" ajak Firman sambil memegang lenganku.

"Kalian tadi ngomong apaan?" tanya Wahyu sambil berjalan masuk ke dalam toko.

"Gebetan" jawabku datar.

"Emang lu sudah punya gebetan?" pertanyaan yang sama diajukan Wahyu.

"Lu gimana sih, di sekolahnya kan nggak ada cewek" potong Firman sebelum aku sempat menjawab.

"Ya bisa aja Ricko pacaran sama cowok, dia kan cakep. Kalau gue cewek, gue juga mau jadi pacarnya Ricko" ucap Wahyu cengengesan, aku terhenyak mendengarnya.

Candaan kedua temanku ini kelihatannya biasa saja, tapi bila diucapkan di sekolahku, tau sendiri gosip apa yang akan menyebar.

"Kita ke atas?" tanyaku, karena kami sudah sampai di depan tangga menuju lantai dua.

"Nggak, di atas kan tempat buku, kita mau lihat alat-alat drum band kan." Firman menjawab pertanyaanku.

Aku sudah lama tidak kesini, jadi lupa. Alat-alat drum band dipajang bersebelahan dengan alat-alat musik. Kami bertiga melihat-lihat peralatan drum band yang dipajang, semuanya alat-alat yang umum untuk drumband, kebanyakan instrumen musik perkusi, tidak banyak alat musik tiup, atau mungkin saja tidak di pajang.

Beberapa snar drum, drum tenor dan drum bass juga simbal dipajang rapi di tengah-tengah ruang kosong yang ada karpetnya, Firman dan Wahyu melihat-lihat alat-alat perkusi itu, karena mereka memainkannya di drumband sekolah.

"Lu megang apa?" tanya Firman ketika aku sedang asik memperhatikan beberapa alat-alat olahraga yang tidak terlalu jauh letaknya.

"Bendera" jawabku lesu, terus terang saja, bawa bendera tidak terlalu bergengsi, padahal latihannya sangat keras dan berat.

"Ha? Buat apa? Di sekolah kita nggak ada yang bawa-bawa bendera tuh" ucap Firman dengan raut terkejut.

"Iya, kecuali kalau ada karnaval, itu juga yang bawa anak paskibra" Wahyu menambahkan.

"Itu kan drumband, di sekolahku itu marching band." ucapku ketus.

"Apa bedanya?' jawab Firman penasaran.

"Dari personelnya saja sudah beda, marching band lebih banyak personelnya, yang bawa alat tiup aja lebih dari 80 orang, pokoknya beda lah" jawabku.

Kedua temanku ini tidak terlalu yakin dengan jawabanku itu, coba ada Dion, pasti kedua temanku ini akan terkejut mendengar penjelasannya, tapi aku bukan Dion, setidaknya aku sudah menjelaskan.

"Jadi kamu kesini cuma mau lihat-lihat bendera?" tanya Wahyu datar.

"Nggak juga, aku tidak ada rencana beli sesuatu, tapi kalau ada yang aku suka dan cocok, aku beli" ucapku tersenyum.

"Ide yang bagus" ucap Firman.

Kami bertiga berpencar melihat-lihat isi etalase yang memajang alat-alat yang cukup mahal, sampai mataku tertuju ke dalam etalase setinggi lemari, di dalamnya berjejer tongkat-tongkat mayor dengan berbagai ukuran, dan tentu saja kualitasnya juga berbeda-beda.

Aku tersenyum sendiri melihat tongkat-tongkat itu, teringat kata-kata Dion kalau aku bisa dipilih jadi mayor, bahkan mungkin gitapati, pujian yang berlebihan, sudah 2 tahun aku ikut eskul marcing band, sampai sekarang cuma bawa bendera, padahal Dion cukup satu tahun saja dan sekarang sudah niup terompet bareng Kevin.

"Mayor juga ya?" tiba-tiba suara perempuan memecah lamunanku.

Aku lumayan terkejut ketika menyadari cewek yang berdiri di sampingku ini, cewek berkulit putih dengan rambut diikat ekor kuda memeperlihatkan betapa putih dan bersihnya kulit wajah dan lehernya. Ya, aku kenal dia.

"Hey, Selvie kan?" tanyaku gugup, meski aku sudah tau dia adalah Selvie temanku waktu SD, hanya saja beda kelas.

"Ternyata masih ingat." jawabnya tersenyum, memamerkan giginya yang putih, bikin iri saja.

"Gimana sekolah di Semarang? Betah kan?' Selvie melanjutkan obrolan tak terduga ini.

"Iya, kalau nggak betah aku sudah pulang kesini." jawabku masih gugup juga, maklum sudah cukup lama aku tidak ngobrol sama cewek, apalagi Selvie ini cewek yang cantik.

Tentu saja cantik beneran, bukan sekedar penilaianku saja, waktu SD juga banyak yang bilang dia cantik.

"Halo vie, ketemu di sini. Sama siapa?" tanya Firman yang baru saja mendatangi kami berdua, dan Wahyu juga ikut nyusul.

"Hai. Sama sepupuku, itu dia lagi lihat-lihat scrabble magnet" Selvie menjawab sambil menunjuk ke arah seorang cowok muda, sepertinya lebih kecil dari kami meski posturnya sudah hampir sama tinggi dengan Firman.

"Sepupu atau pacar?" ledek Firman sambil cengengesan.

"Ih, apaan sih, dia itu baru masuk SMP tau " muka Selvie berubah jutek.

"Kalian masih akrab saja" tanyaku penasaran, perasaan dulu waktu SD Wahyu dan Firman tidak terlalu akrab sama Selvie, aku juga begitu.

"Kami sekarang satu sekolah dan satu kelas" Selvie menjawab masam. Oh begitu, pantesan akrab.

"Ver, sini! kenalin ini teman-temanku, Ricko, Wahyu, dan itu Firman" ucap Selvie ketika sepupunya mendatangi kami.

"Verry" ucap anak itu sambil menjabat tangan Wahyu.

Dia tersenyum, pantas saja anak ini cakep, Selvie juga cantik, mungkin sudah bibitnya bagus begitu.

"Kok lu bengong gitu?" tiba-tiba Firman menepuk pundakku.

Aku benar-benar malu, aku ngelamun gara-gara lihat wajah tampan sepupu Selvie, sampe nggak sadar kalau anak itu sudah mengulurkan tangannya buat salaman, kok aku jadi gini sih kalau lihat cowok cakep.

"Jadi kamu mayor juga?" Selvie kembali bertanya padaku.

"Nggak, aku bawa bendera. Cuma lihat-lihat tongkatnya saja" cepat-cepat aku jawab pertanyaan Selvie, berusaha menutupi rasa gugup.

"Nggak mungkinlah Ricko jadi mayor, apalagi biasanya mayor itu homo" timpal Firman ceplas ceplos.

Perutku mual mendengar ucapannya, ngapain juga bawa-bawa "homo" lagi sih. Selvie juga menutup rapat mulutnya, kelihatan sekali dia tidak suka ucapan Firman barusan, hanya Wahyu saja yang tertawa cengengesan.

"Aku mayor waktu SD" tiba-tiba saja anak yang namanya Verry berbicara. Dia tersenyum, sepertinya tidak terpengaruh dengan ucapan Firman, justru Firman yang jadi merah mukanya, lucu.

"Kamu cocok kok jadi mayor. kan cakep" celetukku spontan, belakangan aku menyesal telah mengatakannya, keempat orang yang ada di depanku justru terkejut.

"Ya, maksudku di sekolahku kan semuanya cowok, so yang jadi mayor harus yang cakep, di sekolah kalian yang jadi mayoret juga yang paling cantik kan?' cepat-cepat aku cari alasan buat menutupi kecerobohanku tadi.

"Ya juga sih, yang jadi mayor di SMA 2 juga cakep banget." Selvie menguatkan argumentasiku, sukurlah, aku sedikit lega.

"Oh gitu ya, nanti aku tanya sama mamaku deh" timpalku lagi, agar suasana tidak jadi canggung, dan tentu saja itu cuma basa basi, lagian buat apa juga nanya-nanya mayor drumband SMA 2.

"Bener banget, nyokap lu kan guru SMA 2, wakil kepala sekolah kan? gue pengen masuk SMA 2 tahun depan." ucap Wahyu sambil melirik ke arahku.

"Makanya belajar, kamu kira gampang masuk SMA 2?" wajah Selvie jadi jutek lagi.

"Makan yuk?" potong Firman tanpa memperdulikan Selvie yang masih cemberut.

"Makan apa?" tanyaku menatap mereka berempat.

"Kalian sukanya apa?" Selvie malah balik bertanya.

"Gue pengennya nasi soto" Firman menjawab duluan.

"Kalau gue apa aja, yang penting gratis" timpal Wahyu cengengesan, bikin kami semua tertawa

"Aku mau makan bakso saja" ucap Verry, hemmmm anak ini sudah berani menawar, baru saja kenal.

"Aku ikut Ricko." Selvie tersenyum menatapku, sementara Wahyu dan Firman saling pandang.

"Makanan kesukaanku jambu air yang warnanya hijau, dan berbentuk lonceng" jawabku sambil membayangkan buah jambu air yang pernah Fikri petik untukku, dia memanjat pohonnya yang ada di belakang gedung Pancasila, ya semenjak itu jambu air hijau jadi makanan kesukaanku.

"Kita tidak sedang bicara buah Favorit bro? Gue laper, nggak butuh cuci mulut" potong Firman, aku tertawa mendengarnya, begitu juga teman-temanku yang lain.

"Yaudah, ke sebelah saja, makan bakso, biar aku yang traktir udah lama juga nggak nraktir kalian" ajakku, sepintas terlihat wajah Verry tersenyum ke arahku.

Akhirnya kami berlima makan bakso di samping toko buku Gramedia sore itu, warung bakso yang cukup terkenal di Bandar Lampung, sampai punya cabang yang cukup banyak. Kami berlima ngobrol cukup lama, terutama tentang sekolahku.

Selvie, Wahyu dan Firman kelihatannya sudah bulat mau masuk SMA 2, meski sekarang kami baru naik kelas 3 SMP, sedang Verry yang baru masuk SMP punya cita-cita masuk SMA Al-Kautsar, Aku sendiri tentu saja tetap di sekolahku yang sekarang.

Kami menghabiskan lebih dari setengah jam di warung bakso, aku pulang bareng Selvie dan Verry naik mobil mereka, tentu saja ada supir pribadi yang nyetir, sementara Wahyu dan Firman langsung pulang naik motor masing-masing ke rumah mereka di Way Halim, karena hari sudah hampir gelap.

Aku ngobrol dengan Verry di jok belakang, sementara Selvie duduk di depan di samping supir. Aku baru sadar ternyata Verry anak yang asik diajak ngobrol, meski baru 12 tahun lumayan nyambung juga. Yang kami bicarakan seputar game, tempat-tempat wisata dan tentu saja drumband.

Selvie dan Verry tidak mampir ketika sampai di rumahku, tapi kami sempat bertukar nomor HP sebelum akhirnya berpisah. Aku duduk sebentar di teras, merenung dan mengingat masa-masa dimana aku tidak betah di sekolah asrama, saat itu keinginanku untuk sekolah di luar seperti teman-teman SD ku begitu kuat, ya sekedar mengecap indahnya sore bersama gebetan, keliling kota dengan sepeda motor, nonton konser, pacaran dan hiburan lainnya.

Seiring waktu berjalan, aku mulai membiasakan diri dengan kehidupan ala sekolah asrama, meski setumpuk disiplin mengawal kehidupan kami, namun persahabatan yang tumbuh sesama anak yang jauh dari orang tua, rutinitas yang padat dan jenis-jenis eskul yang menarik menjadikan keinginan-keinginanku untuk keluar sirna. Apalagi aku sudah mengenal cinta, meski rasa itu muncul untuk seorang pria, tapi jujur saja hari-hariku di sekolah asrama semakin berarti dan berharga, bahkan aku enggan untuk liburan, asalkan aku dapat bersama pacarku yang tampan. Hahahahaha, lebay banget.

Sekarang, setelah sore ini, keraguan itu mulai tumbuh lagi di dalam hatiku, mungkin juga rasa itu tidak pernah hilang, rasa indahnya sekolah di luar, sekolah yang tidak ada asramanya, tidak ada disiplin yang begitu ketat, tidak ada aturan ini itu yang harus dipatuhi, hemmmmmmm terasa begitu menyenangkan.

Seandainya saja tidak ada Fikri, rasanya enggan untuk kembali ke sekolah, tapi ketika wajah manis pacarku itu muncul dan tersenyum dalam lamunanku, muka Dion, Reno dan Idris tersnyum silih berganti dalam anganku... Tidak, aku tidak boleh menilai hanya dari kenikmatan sesaat.

Di sekolah asrama itu aku punya teman, di sana aku punya sahabat dan di tempat itu pula aku punya pacar. Mereka menungguku, untuk kembali berkumpul dan bercengkrama, makan bersama di meja panjang, berenang bersama di kolam renang yang tempat gantinya tidak bersekat (Meski sampe sekarang aku masih risih ganti celana di sana, apalagi kalau ada siswa SMA yang suka ngelirik), aku harus kembali ke sekolahku itu, karena di sana kutinggalkan cintaku.

"Sudah pulang." ucap papa sambil keluar dari pintu utama, Mama mengikuti dari belakang, dan kedua orang tuaku ikut duduk di teras sambil menghabiskan waktu senja. Sudah lama sekali kami bertiga tidak menghabiskan waktu begini.

"Baru aja, tadi diantar pake mobil sama Selvie" jawabku rada manja, mumpung lagi di rumah.

"Selvie anaknya Pak Bachtiar itu?" tanya papa. Aku juga baru ingat nama ortunya Selvie adalah Bachtiar, hehehe.

"Iya, yang rumahnya di Kemiling" ucapku.

"Pegawai pariwisata itu ya pa?" timpal mama sambil memandang papa.

Papa mengangguk sambil menarik nafas pelan.

"Papa kenal ya sama ayahnya Selvie?" tanyaku.

"Tidak terlalu akrab, waktu kamu SD papa dan pak Bachtiar sama-sama di komite sekolah, jadi tau saja"

"Oh gitu," jawabku biasa saja, sebenarnya juga nggak penting-penting amat pertanyaanku tadi.

"Mbak Mita kapan pulang pa?" tanyaku lagi, sudah lama sekali aku tidak ketemu sama kakak perempuanku itu.

Di keluarga ini hanya ada dua anak, satu perempuan, kak mita dan satu lagi laki-laki, siapa lagi kalau bukan aku. Kak mita sekarang sudah kuliah semester empat, dan sebentar lagi masuk semeter lima, di Hubungan Internasional UGM. Sebenarnya itu idenya papa, dan mbak Mita juga setuju, meski mama lebih beraharap kakak perempuan ku itu jadi dokter. Papa bercita-cita mbak mita jadi diplomat, semoga saja berhasil.

"Sekarang mbakmu itu masih UAS, paling juga sebulan lagi baru pulang" jawab papa.

"Sebulan lagi aku sudah kembali ke sekolah" jawabku dingin.

"Kamu kan liburnya 40 hari, pasti nanti juga ketemu" tambah mama sambil tersenyum.

"Kenapa mbak nggak boleh menjengukku di sekolah ma?' tanyaku sambil menatap jalanan yang sudah mulai gelap.

Sudah dua tahun aku di semarang, mbak Mita belum pernah datang menjengukku, padahal jarak Jogja dan Semarang tidaklah sejauh Bandar Lampung. Kadang aku iri sama Dion, orang tuanya saja hampir setiap bulan berkunjung, padahal dari Malang.

"Papa tidak ngasih izin, mbakmu itu perempuan, nggak hafal jalannya. Papa dan mama nggak berani membiarkan kakakmu pergi sendirian ke semarang, apalagi sekolah mu itu juga di bukit" jelas papa dengan lembut, tersirat dari jawabannya tidak ingin mengecewakanku. Aku tersenyum, aku tidak memaksa, hanya berharap.

"Tahun ini kamu harus belajar giat, supaya nanti bisa masuk SMA yang bagus" mama membicarakan topik baru, dan terus terang saja bikin aku kaget. SMA yang bagus? Apa maksudnya?

"SMA di tempatku juga bagus" ucapku dengan penuh penekanan.

"Kamu masih mau sekolah di Semarang? Nggak ada niat pindah ke sini, di SMA 2 atau Al-Kautsar?" mama berbicara pelan.

"Aku sudah banyak teman di sana, males adaptasi lagi" jawabku datar.

"Bukannya di sini kamu juga banyak teman, tadi ke Gramedia sama teman-temanmu kan, juga ada anak pak Bachtiar itu" kilah mama.

"Ya, tapi maksudku teman dekat," bantahku. Mama sedikit terkejut.

"Apa kamu punya pacar di sana? Emang di sekolahmu ada anak cewek?"

Aku menelan ludah mendengar kata-kata mama, mampus! Mau jawab apa sekarang, jangan-jangan mama tau kalau di sekolahku banyak yang pacaran sesama cowok.

"Eh, nggak lah, maksudku sahabat, bukan pacar ." ucapku gugup. Mama justru tersenyum melihat tingkahku yang rada aneh.

"Hem, nggak apa-apa kalau kamu mau tetap lanjut di sana, mama merasa kesepian aja, kakakmu sudah di Jogja, kamu di Semarang, rumah ini tambah sepi" ucap mama lirih.

Aku bangkit dari kursiku dan duduk di lengan kursi mama, sambil mendekap ibu yang melahirkanku, sedih mendengarnya. Mama menatapku penuh sayang.

"Tapi di sekolahmu ada jurusan IPA kan?" mama kembali bertanya dengan nada biasa lagi.

"Ada, emang kenapa?" tanyaku bingung.

"Kamu harus masuk IPA, makanya belajar mesti rajin" tambah mama sambil melirik ke papa yang sedang asik membolak-balik halaman koran yang diantar tadi pagi.

Hahahaha, jadi ingat mbak Mita, dulu juga mama yang ngotot masukin kakakku itu ke IPA, agar bisa kuliah di kedoteran, tapi akhirnya mbak Mita daftar di Hubungan Internasional. karena ulahnya papa.

"IPA sama IPS nggak ada bedanya juga, toh nanti kami kuliah di Hukum kayak papa," papa akhirnya ikut nimbrung, aku kira tadi papa sibuk baca koran, rupanya menyimak juga.

"Nggak! kamu harus jadi dokter, masa semua anak mama kuliah di sosial" ucap mama sambil melirik tajam ke papa.

"Dimana-mana anak laki-laki itu mengikuti jejak ayahnya, masa anak cowok jadi dokter sih" bantah papa.

"Adiknya papa dokterkan? Perasaan mama dia juga cowok tuh" suara mama sudah rada berubah, wait bisa-bisa berantem nih.

"Udah ah, aku masih SMP, perlu 4 tahun lagi menentukan mau kuliah dimana. Kalau seandainya nanti aku kuliah di hukum, aku tidak akan berkarir sebagai jaksa, aku akan jadi pengacara saja, biar bisa bertemu papa di ruang sidang" jawabku asal saja.

Papa terkejut mendengar ucapanku, mama tampaknya puas, dan akhirnya kami bertiga tertawa, hemmmmmmmm suasana yang asyik, coba kalau mbak Mita ada di sini, akan terasa lebih sempurna.

Hari-hariku di rumah berjalan sesuai dengan perkiraanku sebelumnya, setelah masuk minggu kedua, papa dan mama sudah mulai sibuk dengan urusannya masing-masing, papa dengan banyak berkas yang harus diteliti di kantor, dan mama yang juga sebagai wakil kepala sekolah sibuk dengan Penerimaan Siswa Baru.

Karena sekarang musim penerimaan siswa baru, ternyata berdampak dengan suasana rumahku, aku mendapat tugas baru untuk menjawab dan bertanya pada setiap tamu yang datang mencari mama, karena mama wakil kepala sekolah di SMA 2, yang notabenenya sekolah paling Favorit di Bandar Lampung, jadi banyak cara yang ditempuh calon siswa dan walinya agar bisa diterima di sekolah itu.

Ada istilah lewat pintu belakang, beli kursi, siswa titipan dan istilah-istilah aneh lainnya, jadi tugasku hanya satu, yaitu berbohong. Anehkan, jarang-jarang orang tua mengajarkan anaknya berbohong, tapi ini demi kebaikan. Bila ada wali calon siswa datang ke rumah, biasanya tujuannya tidak lain mau memasukkan anaknya melalui pintu belakang, mungkin karena nilai anaknya tidak sesuai standar, sehingga menggunakan uang untuk menutupinya. Hemmmmm, cara-cara yang menjijikkan, "Nyogok" agar bisa sekolah di tempat bagus. Seharusnya belajar yang benar, kalau Dion tau, pasti sudah kena semprot tuh.

Tugas yang tidak terlalu sulit, hanya perlu menjawab, "Mama sedang tidak di rumah, kalau mau ketemu ke sekolah saja om, tante", sampe capek juga mulutku mengulang-ulang kalimat itu.

Kadang aku bingung, apakah tamu-tamu ini nggak takut sama papaku, itukan melanggar hukum. Aneh memang, tapi begitulah. Demi anak, orang tua akan melakukan apa saja, meski itu jelas-jelas salah.

Setelah tiga minggu di rumah, aku menerima surat dari sekolah, surat yang biasa diterima oleh seluruh siswa lainnya, tentu saja daftar buku dan iuran yang harus dipersiapkan saat daftar ulang. Tapi dalam amplop cokelat yang diterima mbok Sum pagi itu ada yang berbeda, ya ada surat dari Kepala Sekolah yang isinya pemberitahuan bahwa aku dipilih jadi mayor junior marching band.

Aku membaca surat itu berkali-kali, ada rasa senang, bangga, cemas dan juga gugup, ada pertanyaan yang dari tadi pagi muncul dalam benakku, apa aku mampu? Bagaimana kalau aku cuma malu-maluin saja? Dari segi apa mereka menilaiku? Semakin banyak pertanyaan yang timbul membuat aku semakin cemas.

Dalam surat itu juga ada pemberitahuan bahwa marchingband sekolahku akan tampil dalam kompetisi Hamengkubuwono Cup di Yogyakarta akhir November, oleh karena itu semua personel harus kembali ke sekolah 10 hari lebih cepat dari jadwal liburan, artinya minggu depan. Aku lumayan kelabakan, karena aku belum siap-siap. Dalam daftar aku harus menyiapkan biaya kostum mayor yang akan dijahit di sekolah, sedang tongkat dan aksesioris lainnya sudah disediakan.

Beberapa hari terakhir mama sudah mempersiapkan semuanya, termasuk biaya-biaya daftar ulang, beli buku, dan kostum mayor. Bahkan sepertinya mama terlalu semangat, sampe-sampe tidak pernah lagi membahas tentang hiruk pikuk penerimaan siswa baru di SMA 2, padahal biasanya setiap makan malam mama selalu membahas hal itu, terutama wali calon siswa yang sekuat tenaga mencari jalan pintas, ngirimin tas mahal lah, sepatu dan macam-macam lagi. Padahal semua barang itu sudah dikumpulin di sekolah buat dilelang, hasilnya jadi tambahan beasiswa bagi yang kurang mampu.

"Waktu tampil November nanti, mama dan papa pasti datang, sekalian mengunjungi mbakmu di UGM." ucap mama berseri-seri.

Aku juga tidak terlalu kecewa meski tidak ketemu mbak Mita sekarang, karena kepulanganku ke sekolah dipercepat, nanti juga ketemu saat tampil di Hamengkubuwono Cup. Dion sering menceritakan padaku betapa prestisiusnya kompetisi itu, bisa dikatakan Hamengkubuwono Cup adalah event bergengsi. Akan banyak peserta yang tampil, sebut saja Marching Band Madah Bahana Universitas Indonesia, Marching Band Gita Pakuan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang pernah menyabet juara umum, dan masih banyak lagi.

Beberapa hari menjelang kepulanganku ke sekolah, teman-temanku beberapa kali main ke rumah. Wahyu, Firman, Selvie dan juga Verry, mereka berempat hampir tiap hari datang, kami menghabiskan waktu bercerita, ngobrol, nonton, makan-makan, dan banyak hal lagi.

Setelah keempat temanku itu tau bahawa aku akan kembali ke sekolah lebih cepat dari jadwal, mereka tambah sering datang, kami bercerita tentang Hamengkubuwono Cup, Selvie dan Verry tampak terkesima dengan ceritaku, Wahyu dan Firman juga sangat tertarik, maklum saja kami berlima semua mengikuti eskul yang serupa.

Akhirnya hari keberangkatanku ke sekolah tiba, pesawat akan berangkat siang jam 2, papa yang akan mengantarkanku sampe sekolah, karena banyak juga yang harus dibayar. Sebelum aku berangkat ke badara keempat temanku sudah datang membawa hadiah, aku tidak sedang ulang tahun, mungkin sekedar ucapan perpisahan, karena kami akan bertemu lagi tahun depan.

Mama mengedipkan matanya berkali-kali sambil melirik ke arah Selvie, bikin aku gerah saja, kalau aku respon cemberut, mama malah tertawa.

"Kasian banget lu vie, baru juga deket, sudah ditinggal" celetuk Firman.

Selvie diam saja mendengar ucapan Firman, sementara Wahyu tertawa, aku cuek saja, sekilas Verry tersnyum tipis.

"Nggak usah cemas vie, waktu setahun nggak lama kok, sabar saja, Ricko pasti kembali" timpal Wahyu disambut tawa Firman. Aku menjelitkan mata ke arah dua teman ku itu.

"Lu nggak perlu takut vie, di sana nggak ada cewek, jadi Ricko akan tetap single kok, kecuali kalau dia mencoba pacaran sama cowok" ucap Firman cengengesan.

Aku shock mendengar candaan kedua orang ini, benar-benar kelewatan. Yang aneh reaksi Verry justru kalem-kalem aja. Huft!

"Udah? Puas kaliang ngerjain aku?" jawabku sambil menatap Wahyu dan Firman sementara Selvie tertawa diikuti oleh Verry.

Kami berbicara sebentar sebelum papa memberitahu untuk segera berangkat, Selvie memberiku sebuah kotak yang langsung aku buka saat itu juga, ternyata isinya cokelat, sudah aku duga. Kado Wahyu dan Firman dibungkus nggak karuan bentuknya, isinya baju kaos berwarna putih, dan terakhir Verry memberikan aku jaket berwarna merah, warna favoritku, di bagian depan jaket itu bergambar singa yang disablon timbul berwarna hitam, artistik banget.

"Kenapa gambar singa?" tanyaku.

Verry tidak menjawab, dia hanya tersenyum saja. Mungkin hanya suatu kebetulan, ngapain juga ditanyakan, meski belakangan ini aku sudah mulai akrab dengan Verry yang cute, hehehe semoga saja Fikri nggak cemburu.

"Oh ya, satu lagi kak, ini ada titipan dari mama" Verry mengeluarkan satu keresek hitam berisi jambu air hijau.

"Kakakkan suka jambu air hijau, di belakang rumahku ada pohonnya" ucapnya sambil menyerahkan kresek berisi jambu itu.

Wahyu dan Firman bengong melihat kejadian itu, sedangkan Selvie tersenyum. Aku masukkan jambu air hijau yang mengingatkanku pada Fikri itu ke dalam tas, mama dan papa sudah berdiri di pintu mobil, mama hanya akan mengantar sampe bandara dan membawa mobil pulang, sedang aku dan papa akan langsung berangkat ke Semarang, tentunya transit dulu di Jakarta.

Aku mengucapkan terimakasih dan pamit sama teman-temanku, bersalaman sama Selvie, berpelukan dengan tiga lainnya, dan ketika memeluk Verry dia berbisik di telingaku. "Gambar jaket itu adalah simbol zodiakku"

Aku menatapnya sesaat, sambil berucap, "Terimakasih ver, buat jambunya dan jaketnya."

Dia mengangguk dan tersenyum, aku masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang, meninggalkan dua sahabat lamaku, satu sahabat yang baru saja akrab, dan satu orang teman baru, yang lumayan menarik perhatianku, entahlah.

Aku buka ransel yang ada di sampingku, dan mengeluarkan jaket yang diberikan Verry tadi, gambar singa yang gagah, ternyata ini zodiaknya Verry, Leo. Lambang keberanian.

"Kita akan ketemu lagi tahun depan sobat," ucapku dalam hati. Sekilas senyum Verry muncul dalam benakku.

Mobil ini melaju kencang, hingga akhirnya melewati terminal Rajabasa dan terus lurus sampai simpang Natar dimana ada gapura besar bertuliskan "SELAMAT JALAN KOTA BANDAR LAMPUNG, KOTA TAPIS BERSERI"

Aku tersenyum, sementara menara kendali bandara sudah kelihatan di kejauhan, satu tahun lagi aku akan kembali ke kampung halamanku ini. Apakah aku lebih rindu kehidupanku di asrama atau kehidupan yang aku tinggalkan di sini, hanya waktu yang akan menjawabnya. Yang jelas saat ini aku kangen pacar ku. Aku kangen sama Fikri, yang sudah ada di sekolah semenjak beberapa hari lalu, karena siswa yang baru masuk SMA harus registrasi, selain itu juga mereka perlu melakukan cap ijazah SMP, jadi harus datang lebih cepat. See you honey .

Sampai jumpa teman lama, dan jumpa kembali teman lama.

BERSAMBUNG


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C10
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk