Unduh Aplikasi
21.54% Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 87: Chapter 24: Dawn of Light

Bab 87: Chapter 24: Dawn of Light

Atmosfir di sekitar mereka mendadak merah, tangan Amartya dikerubungi lahar panas, membungkusnya dengan cairan yang meletup-letup. Tak lama kemudian, ribuan butir cahaya tertarik masuk ke dalam moncong senapannya, membuatnya menyala-nyala, bersama lava yang menetes darinya.

[Seni Api]

[Tingkat 4 Ekstensi]

"(Ledakan Api Tingkat Tertinggi)"

"Pamungkas! Rangka! Dakagentera!"

Suara letupan yang mengaum-ngaum tertarik kuat ke arah senapan Amartya, mengeluarkan ledakan api yang begitu dasyat, melontarkan isi perutnya ke wajah Parjanya. Namun sebelum api panas itu hendak membakar dirinya, seketika muncul empat perisai (es, angin, listrik, cahaya) di depan Parjanya, melindunginya dari ledakan yang mampu merenggut hidup bahkan mayatnya. Beruntung baginya, tapi itu hampir tidak cukup.

Keempat perisai pecah dan tubuh Parjanya terbakar hebat, membuat seisi kulitnya melepuh dan hitam. Beberapa dagingnya meleleh dan menampakkan tulang putih pada tubuhnya. Dua orang Magistra datang menjemputnya, sementara tujuh orang Manshira menyalakan sihir mereka dan melompat ke arah Amartya.

"Profisa! Profisa! Anda masih sanggup berdiri?" Kata salah satu Magistra berusaha menopang Parjanya walau tubuhnya begitu panas. Keduanya tampak begitu panik.

"Kita harus segera membawanya untuk diobati tim medis Hyakra di kemah, jika tidak dia bisa celak—" Di tengah ucapan Magistra di sampingnya, suara teriakan histeris pun menggema menghentikan kata-katanya.

Dalam sekejap, ketujuh Manshira terlempar ke udara dengan api telah melahap tubuh mereka. Di antara mayat-mayat itu, Amartya tengah berdiri dengan santi dan senapan yang membara kian hebat di tangannya. Kedua magistra menatapnya, tertelan rasa panik, frustasi, tak tau harus bagaimana.

*Darr!*

Amartya menembak salah satu Magistra dengan senapannya, lalu melompat bersama santi yang siap menyayat Parjanya. Magistra yang masih berdiri menabrak Amartya dengan bahunya lalu mementalkannya dengan sihir angin.

Parjanya yang digerogoti rasa sakit sadar akan situasi yang tengah terjadi, dan melesat kabur bagai kilatan petir. Sementara kedua Magistra masih tinggal di sana bersama Amartya yang meluap-luap.

"Ini tidak baik…" Magistra yang tak tertembak kian bergeming melihat Amartya berdiri, bangun setelah ia pentalkan.

Amartya mulai berjalan perlahan ke arahnya dengan santi yang terseret di tanah. Kedua Magistra terjatuh lemas termakan rasa takut yang terus terpancar dari sosok Amartya.

"Tidak… Jangan… Tunggu…" Mereka menggigil ketakutan.

"Kalian akan mati untuk membayar semua ini." Amartya mengangkat santinya ke udara.

"Hentikan!" Suara Magistra itu melengking keras.

Teriakan keduanya bisa terdengar ke seluruh medan tempur, dan tak ada lagi suara yang keluar setelahnya. Sementara itu Amartya kian meratapi langit bersama penyesalan yang terasa begitu berat.

"Bagaimana bisa aku begitu lengah... dan entah mengapa, aku merasa selamatnya Parjanya akan membawa hal buruk untuk kita semua."

***

Parjanya memasuki kemah medis Hyakra, luka dan rintihannya membuat penyihir-penyihir cahaya itu merinding, mereka langsung membaringkannya di tempat tidur tanpa berani berkata-kata. Sehelai selimut cahaya terbit di atasnya, membungkusnya dengan berkah dan kehangatan. 5 kristal alam berdiri di kepala, tangan dan kakinya. Mereka berputar semakin kencang memancarkan cahaya merah muda yang mengelus lembut luka-luka Parjanya. Sementara para penyihir cahaya menggenggam tongkat mereka dan mulai membaca mantra.

Di luar kemah pertempuran masih berlangsung hebat. Para Cassidix (pasukan penyihir es) memunculkan lingkaran-lingkaran sihir yang menembakkan serpihan-serpihan es pada pasukan Daratan, sementara para Elemental menantang mereka di pertarungan jarang dekat.

Santi Waraney kembali memasuki medan tempur dengan santi besar mereka yang telah mendidih bersama kobaran api. Tanpa aba-aba mereka melesat, menebas para penyihir, dan berhenti di tengah-tengah mereka. Dalam sekejap mata, para Waraney membentuk formasi segi enam dengan tiga lapis barisan, masing-masing dengan cincin yang kini telah menjadi sebuah senapan.

"Tera!" Lengking pimpinan regu Santi Waraney.

*Darr!* *Darr!* *Darr!*

Ratusan peluru berterbangan menembus tubuh-tubuh rentan para penyihir. Sementara asap dari jalurnya mengebul, membutakan udara.

"Kumoyak!"

Santi Waraney kembali dengan santi mereka, kali ini lebih kecil dan beriringan dengan salawaku (perisai) di tangan kiri. Mereka melompat-lompat dan mengoyak setiap penyihir yang terjebak di dalam asap.

Muticus (pasukan penyihir angin) berusaha membersihkan asap Waraney dengan sihir mereka, namun begitu udara bersih, para Waraney telah memasang kuda-kuda dengan santi besar yang berkobar-kobar. Bagai peluru mereka melesat dan kembali keluar dari medan tempur, menyisakan jejak api yang membakar para penyihir yang tertebas di jalur mereka.

"Bukankah para Genka itu terlalu mobile? Bagaimana cara kita melawannya!?"

Para Harpactes (pasukan penyihir listrik) berpindah ke jarak yang lebih dekat dengan pasukan Daratan. Mereka melemparkan tegangan tinggi yang melumpuhkan banyak Penempa, sementara itu beberapa raksasa putih dan elemental lain kini mampu bergerak bebas dan mulai menghanturkan serangan yang kuat kepada para Penempa.

"Sepertinya sudah saatnya mengeluarkan mereka." Ucap Amartya yang kini telah kembali ke ruang strategi melalui para kupu-kupu api.

"Dara Komodo?" Tanya Naema setelah melihat Amartya mengubah tujuan logam komunikasi ke arah bangsawan Vhisawi, Grimm.

"Ya, gadis-gadis kadal itu."

Amartya nampak mengotak-atik logam di telinganya.

"Bang, waktunya beraksi…"

Segelintir ekor hijau nampak menari-nari dari ujung medan tempur. Dengan pakaian minim dan kulit tertutup sisik yang mengkilap, gadis-gadis komodo berlari dengan sebuah tongkat hijau di tangan mereka. Semuanya bergerak sampai jarak yang sangat dekat dengan para penyihir. Mereka terhenti dan terpaku pada gadis-gadis itu, yang tentu saja, walau memiliki ekor raksasa, wajah mereka memilik paras yang luar biasa cantik bahkan ketika dibandingkan dengan para Sarma.

"Hei nona manis, seksi amat sih, mau ngapain bawa-bawa tongkat begitu?" Kecantikan dan lekuk tubuh para Dara, terlalu sulit untuk tak tergoda olehnya bila seseorang masih memiliki hawa nafsu yang kuat. Inilah yang membuat mereka terdesain sebagai pembunuh penyihir yang handal.

Mendadak cahaya hijau tua bergema dari ujung tongkat mereka, membentuk mata tombak yang besar dan gemilang bagai racun yang pekat, para penyihir perlahan kehilangan senyum mereka, walau tubuh mereka masih termakan gairah. Dara pun melompat dan menghantamkan ekornya pada mereka dan menebas mereka dengan tombak yang melelehkan tubuh mereka ketika bersentuhan dengannya.

"Dasar sekumpulan orang gila! Bisa-bisanya membuat senjata seperti itu!" Gerutu Amartya melihat betapa korosifnya senjata itu.

"Namun tentu saja… kami tak lebih waras dari mereka." Senyumnya kian pahit, memunculkan gigi putihnya yang kian tegang saling menabrak satu sama lain.

***

Di tengah kericuhan pertempuran Parjanya akhirnya kembali bertumpu di atas kedua kakinya. Ia melihat-lihat sekitar, berusaha menganalisis keadaan, dan salah satu hal yang berhasil ia temui adalah kesemblian manguni kembali menatap tajam ke arahnya dengan mata merah membara mereka.

"Pertempuran ini akan terus semakin menggila ha?" Parjanya dengan cepat memasang perisai sihir yang hancur sesaat setelah muncul.

Mata liar Dinendra masih berburu mencari targetnya. Suara kokangan senjatanya begitu keras, merambatkan rasa takut ke sekujur tubuh para penyihir, jejak dan pecahan pelurunya begitu panas, memandikan mereka yang terjebak di antaranya dengan keringat yang seketika menguap, asap yang keluar menimbulkan bau asing mesiu yang seakan membakar hidung mereka. Parjanya terintimidasi dari 4 indra, membuatnya sulit untuk berpikir.

"Ah sial! Mungkin ini saat yang tepat bagi siang dan malam untuk membantu kita." Parjanya menghentakkan tongkatnya, membelah awan-awan di angkasa.

Muncullah cahaya terang darinya. Terlihat sayap lebar terbentang luas menghiasi awan dan mentari, rambut-rambut kuning pucat nan panjang berkibar-kibar, bergelora dan gemilang. Tentara berkuda dengan tombak panjang berlumurkan cahaya dan zirah putih bermandikan sinarnya, mereka berlarian menuju daratan.

"Pegasus… untuk pertempuran pertamanya kuakui Parjanya cukup gila dalam mengatur barisannya." Tangan Amartya menggigil kian hebat.

"Kakanda...?" Naema memperhatikan tangan itu dengan cemas, tapi ia tak mengerti apa maksud dari getaran itu.

Lalu di belakang pegasus turun pula sayap-sayap hitam dengan zirah berselimutkan kegelapan. Di tangan mereka berdiri sabit-sabit raksasa dengan rantai-rantai hitam melilit lengan mereka. Tubuh mereka mengeluarkan aura jahat yang nampak memakan cahaya di sekitarnya, dan bayangan pun bersarang di antaranya.

"Para malaikat maut, Sur Laavak." Entah mengapa kedatangan mereka mengembalikan ketenangan Amartya.

"Kakanda!?"

"Ah iya... maaf adinda, tapi aku harus melihat mereka dengan mata kepalaku sendiri." Amartya langsung berlari keluar ruangan, menuju ke atas tembok Sfyra.

"Apa yang sebenarnya sedanga terjadi..."

Para penyihir melontarkan ribuan misil sihir ke arah Penempa Bumi, akan tetapi perisai-perisai Lishmi pun berdiri dan menghadang mereka. Solodia (infantri cahaya) melihat ke arah perisai cahaya itu serta sekumpulan Pegasus yang berterbangan di udara, mereka pun mundur selangkah, menjaga jarak dengan keluarga Arimau.

"Maafkan sikap kami, namun di pertarungan hidup dan mati seperti ini, cara apapun halal untuk dilakukan." Solodia tampak mengeluarkan ancang-ancang, sementara para Pasilek berdiri dengan posisi siaga.

[Sihir Cahaya]

[Tingkat 4]

"(Cermin Buta)"

"Darpana Wuta!"

*!!!*

Cahaya yang begitu menyilaukan muncul dari perisai Lishmi, Pegasus dan Solodia. Sinarnya membutakan Pasilek Arimau, menutup pandangan mereka dari jalannya pertempuran. Penjara cahaya lalu terbentuk setelahnya, dan memerangkap gadis Sarma yang bertugas melindungi Pasilek Arimau. Solodia pun mematangkan senjata mereka dan menerjang para Pasilek dengan mantap.

"Apa!?"

Namun sayang kenyataan tak selalu seindah harapan.

"Huffft..."

Menggelegarlah suara hembusan nafas di udara.

"Maafkan kami juga wahai paksi cahaya, namun perburuan sang harimau, akan dimulai hari ini." Para Pasilek menghentikan tiap serangan Solodia. Tertempel karambiak di lengan benderang mereka bersama belasan sayatan luka. Meneteslah darah-darah putih menghujani Bumi.

Pasilek Arimau mengeluarkan aura yang begitu liar dan buas, nampaklah harimau putih mengaum di belakang mereka. Salah satu ilmu silek Tanduk Putih adalah pernapasan, dengan bernafas mereka mampu melihat bentuk dan warna dari benda-benda di sekitar mereka. Membutakan mata mereka, hanya akan mempertajam indra lainnya.

"Di sinilah perjalanan kalian akan berakhir!"

Sementara itu kuda-kuda bersayap tengah mengudara dan menerjang pasukan darat, mereka menghantam para Dubalang dan Pasilek Kuciang, mengobrak-abrik barisan mereka. Cahaya menyilaukan yang mereka keluarkan dan gerak-gerik yang begitu cepat membuat pasukan Daratan kewalahan untuk terbebas dari terjangan maut si kuda putih.

Di bawah mereka, para Sur Laavak berjalan dengan sabit hitam terseret ke Daratan. Amartya kini telah berdiri di atas tembok Sfyra, dan dirinya menatap ke arah mereka. Sur Laavak menyadarinya dan berbalik memandang ke arah Amartya dengan mata ungu benderang mereka. Keduanya pun serentak menyeringai.

"Istinggar! Siapkan jaring saku dari para Dubalang, lumuri mereka dengan api yang panas." Seru Amartya dengan lantang kepada para Istinggar Waraney di atas tembok.

Para Sur Laavak memanjangkan rantai hitam mereka dan mulai memutar-mutarnya. Kabut hitam kian menetes dari rantai itu, penuh dengan kekejian. Mereka pun dilemparkan ke udara, melilit sayap-sayap putih Pegasus. Jaring-jaring api mekar dan melahap para kuda bersayap, sementara di bawah mereka kerumunan Jawara berlari kencang dengan tombak-tombak yang lapar.

"Udeh bawa injeksinye?"

"Udeh bang!"

"Mantab! Kite nambah ternak baru gini hari."

"Sikaaaat!"

Para Jawara melompat ke arah pasukan Pegasus dan menikam penunggangnya. Mereka lalu melepas jaring-jaring api dan rantai hitam, kemudian menyuntikkan sebuah senyawa pada kuda bersayap itu. Tubuh para pegasus lantas berubah hitam dengan sisik-sisik kehijauan, bulu sayap mereka menjadi keras dan lancip dengan cahaya hijau bersinar dari sela-selanya, mata mereka berubah biru pekat dan mulut mereka menghembuskan racun, rambut mereka menjadi hijau dan memancarkan radiasi. Pegasus berevolusi menjadi kuda reptil berdarahkan toksik.

"Hei Dinendra, lihat itu, bukankah ilmu alkimia mereka mengerikan?" Amartya menolehkan kepalanya ke arah para Jawara. Ekspresi tak nyaman terlukis jelas di wajahnya.

"Ya, tuan Amartya, tidakkah para Ilmuan Langit seharusnya juga menggunakan ilmu alkimia mereka untuk melawan kita?" Tanya Dinendra, ia juga sepertinya terganggu dengan bagaimana para Vhisawi berperang.

"Tidak, mereka tak pernah tertarik dalam seni membunuh, kebanyakan ilmu mereka menyangkut inovasi energi dan pemuasan kebutuhan manusia. Bahkan bahan peledak yang mereka lempar pada kita terlihat kurang sempurna... maksudku, lihat saja tembok ini! Sudah berapa lama semenjak mereka mulai melontarinya dengan peledak, tapi tak sedikit pun baja pada tembok ini terkikis, apalagi berliannya!"


Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C87
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk