Sepulangnya dari Sunbucks, Lisa langsung merebahkan tubuhnya yang lelah itu di atas tempat tidurnya. Lisa sudah tidak memikirkan soal denda pajak rumah, tetapi pikiran tentang Oscar dan kejadian tadi pagi berkecamuk di dalam benaknya. Membuatnya gelisah dan sulit untuk memejamkan mata.
Berpapasan dengan ayahnya tadi pagi di busway merupakan pengalaman paling menyakitkan setelah sekian lama tidak bertemu dengan sosok pria bajingan yang tega meninggalkan ibunya demi menikah dengan seorang janda kaya raya. Sialnya lagi, saingannya, Karina secara teknis menjadi saudara tirinya semenjak itu.
Lisa tidak tahu mulai dari mana ia harus menceritakan hal – hal yang selama ini terjadi padanya kepada ibunya.
Sesaat sebelum Lisa memejamkan matanya kembali untuk mencoba tidur, seorang wanita paruh baya mengetuk pintu kamarnya dengan lembut. Suara dari balik pintu itu terdengar sangat pelan dan intonasinya sedih.
"Lisa, kamu masih bangun nak? Ibu boleh masuk?" Suara dari balik pintu itu memecah keheningan, terdengar sangat pelan dan intonasinya sedih.
"Masuk saja bu."
Wanita paruh baya itu memutar gagang pintu dan melangkah ke dalam. Ditatapnya Lisa yang terbaring di atas kasur masih mengenakan pakaian kerjanya. Wajah Lisa terlihat lebih pucat daripada biasanya.
Kumala mendaratkan tangannya ke dahi Lisa yang pucat itu. Dirasakannya suhu badan Lisa agak sedikit lebih tinggi seraya berkata, "Kamu sedang sakit nak?"
Lisa hanya menggeleng lesu. Iya Lisa tidak sedang sakit, ia hamil muda. Ia harus menyembunyikan fakta bahwa ia berbadan dua dari ibunya. Tetapi perubahan fisik sudah pasti tidak dapat disembunyikan, lambat laun ibunya pasti curiga.
"Ayo makan Lisa, ibu sudah buatkan nasi goreng kesukaanmu."
Tanpa banyak pikir, Lisa langsung bangkit dari tempat tidurnya dan melesat ke ruang makan. Ia mengambil piring dan sendok, meletakkannya di meja makan sambil menuang air ke dalam gelas. Disendoknya nasi goreng itu dengan terburu – buru. Ia menyendok nasi goreng yang ada di meja makan dan menumpuknya hingga menjadi gunung di atas piringnya.
Kumala melihat putri sulungnya itu dengan sedikit heran. Tidak biasanya Lisa menyendok nasi sebanyak malam ini. Paling banyak hanya dua sendok nasi. Putri sulungnya itu pasti sangat sibuk di kantor sehingga tidak sempat makan.
Mereka berdua saling duduk berhadapan. Menyantap makan malam dengan nikmat. Dengan rakus Lisa melahap nasi goreng itu sambil menyendok acar sebanyak – banyaknya. Wanita paruh baya yang duduk di seberangnya menatapnya dengan keheranan.
Kumala agak sedikit khawatir dengan cara makan Lisa yang tidak seperti biasanya. "Nak, kamu tumben makan acarnya banyak sekali?" Setahunya, Lisa tidak terlalu suka dengan acar. Entah apa yang membuat putri sulungnya itu menggilai acar hari ini.
"Lagi kepingin bu, lidahku rasanya hambar belakangan ini!" ucapnya dengan mulut setengah penuh.
"Ibu harap kamu tidak sedang sakit.."
"Tenang saja, mungkin aku sedang PMS."
"Jadi Lisa, ibu sebenarnya mau mengingatkan saja."
"Mengingatkan apa bu?"
"Jangan lupa membayar denda pajak, besok hari terakhir soalnya. Kalau tidak segera kamu bayar nanti dendanya semakin bertambah."
Lisa mengangguk dan tetap menjaga mulutnya agar tidak keceplosan soal uang dari Oscar. Sejenak pikirannya diganggu oleh bayang – bayang ayahnya yang tadi pagi ia temui di busway.
"Ibu tidak usah khawatir, besok Lisa akan izin untuk ke kantor pajak."
"Baik. Ibu sempat berpikir soal pindah rumah Lis."
Lisa menghentikan sendoknya, meletakkannya di atas piringnya yang setengah penuh.
"Maksud ibu bagaimana?"
"Maafkan Ibu tetapi, mengingat gaji bulanan kamu tidak benar – benar mampu menghidupi keluarga ini dan segala kesulitannya. Ibu rasa, setelah bayar pajak ada baiknya kita memikirkan untuk menjual rumah ini dan pindah ke tempat baru yang lebih murah. Pajaknya tambah lama tambah naik Lisa. Ibu khawatir jika dengan keadaan ekonomi yang kita punya saat ini tidak mampu membuat kita bertahan hidup di rumah ini." Kumala meletakkan sendoknya, tiba – tiba air mata mengalir dari matanya. Sesekali terisak.
Lisa menghentikan santapannya itu dan memeluk ibunya yang tengah menangis. Dibelainya punggung ibunya itu agar sedikit lebih tenang. Rambut ibunya yang sudah beruban dan berantakan itu jatuh ke pundak Lisa. Tatapan sedih itu masih terpampang jelas di wajah Kumala. Lisa sudah kehabisan kata – kata.
"Maafkan Ibu yang tidak mampu bekerja nak. Seandainya ayahmu masih bersama kita. Ibu tidak akan berpikir ingin menjual rumah ini!"
Mendengar kalimat itu, terbayang dengan jelas sosok ayahnya yang Lisa temui di busway tadi pagi. Pria itu tidak lebih dari seorang pecundang yang suka menyakiti hati ibunya. Sesaat hati Lisa bergejolak, ingin sekali ia melabrak ayahnya yang lari dari ibunya itu dan menghajarnya.
"Ibu bodoh sekali Lisa! Seharunya dahulu ibu tidak menikah dengan ayahmu!" Kumala menggebrak meja makan untuk pertama kalinya dalam seumur hidup Lisa. Lisa terkejut melihat ibunya semarah itu. Belum pernah ia melihat sosok ibunya yang lembut dan halus itu meledak.
"Ibu sudahlah, bukan salah ibu kalau ternyata ayah adalah seorang pecundang tidak bertanggung jawab. Lisa akan bekerja lebih giat lagi agar mampu menghidupi keluarga kita bu!"
"Tidak Lisa, ibu realistis saja. Jika lima tahun ke depan gajimu masih seperti yang sekarang, ibu tidak yakin kita mampu membayar pajak rumah ini. Ibu minta tolong dengan sangat Lisa. Pikirkan ke mana kita sebaiknya pindah. Rumah ini sudah menjadi malapetaka bagi keluarga kita..."
"Baiklah ibu, jika memang demikian Lisa akan bantu mencari hunian baru yang terjangkau. Lisa besok akan ke kantor pajak untuk bayar denda dan mencoba bertemu dengan teman Lisa untuk mencarikan tempat tinggal baru ya bu?"
"Iya nak, tolong sagat ibu benar – benar tidak tahu harus bagaimana selain menjual rumah terkutuk ini..." ucapnya lirih, air mata masih menggenang di matanya yang berkerut.
"Ibu sebaiknya tidur saja, sudah hampir tengah malam."
Lalu Lisa mengantar ibunya yang masih terisak itu ke kamar tidurnya, dan mematikan lampu kamar itu.
Masih belum mampu tidur, Lisa mendaratkan tubuhnya di atas sofa di ruang tamu, menghembuskan napas panjang. Ia benar – benar tidak paham dengan apa yang terjadi pada hidupnya belakangan ini.
Hamil anak presdir kantornya sendiri. Turun jabatan karena paksaan. Ditinggal sang ayah dan menyisakan Lisa, Ibu dan adiknya Bella. Keadaan finansial yang semakin sulit. Rasanya wanita itu ingin menaiki lantai paling atas gedung kantornya dan terjun.
"Harusnya aku keluar saja dari Petersson Communication waktu itu!" gumamnya kesal, tangan kanannya memijit dahinya yang mulai pening itu.
Malam semakin larut dan Lisa masih tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya benar – benar kacau. Esok ia harus segera membayar denda di kantor pajak, dan mencari bantuan dari salah satu rekan kerja atau temannya untuk mencarikan hunian baru yang terjangkau.
"Seandainya hidup bisa diatur ulang seperti komputer!" keluhnya dalam hati.