Langit semakin menunjukan kemurungannya, awan hitam saling berkumpul menggulung di atas desa Kali Gintung. Tak cukup waktu lama untuk guntur turut menyapa dengan gelegar lirihnya sebagai pembuka dari turunnya tetesan air langit demi membasahi bumi.
Seorang penggembala kawanan bebek yang sedang tertidur pulas dibangunkan oleh tetesan air yang menjatuhi keningnya. Tetesan yang berasal dari atap jerami sebuah gubuk yang ternyata menyisakan sedikit celah karena masih belum tertutup sempurna, sehingga menyebabkan kebocoran ringan.
Abdul Sang Penggembala membuka matanya, udara yang sedari tadi semakin dingin rupanya belum cukup untuk menggugurkan tidur pulasnya. Ya, bagi beberapa orang keadaan dingin justru menambah kenikmatan dalam tidur, tapi kali ini status keningnya yang benar-benar dibasahi tetesan terus menerus, bukanlah hal yang membuatnya nyaman.
Beranjaklah dia, kemudian mengambil sebuah tongkat di sampingnya, tongkat yang sebenarnya sedari tadi ia bawa yang disandarkan sejenak pada tiang gubuk selagi ia beristirahat. Terbuat dari batang bambu setinggi badannya yang dibelah sekitar satu per delapan yang kemudian diperhalus, serta di ujungnya diberi semacar rumbai-rumbai dari kain bekas yang disayat-sayat, fungsinya memang sebagai alat bantu guna menggiring kawanan bebek.
Ngomong-ngomong soal bebek, Abdul yang sudah bersiap menggiring bebek untuk pulang, sekarang keheranan terkejut bukan kepalang. Bagaimana tidak, kawanan bebek yang tadinya berjumlah sekitar lima puluh ekor, sekarang hanya tersisa enam ekor saja, itu pun dengan kaki yang tak tampak sedang berjalan di darat. Rupanya kondisi persawahan sekarang tergenang air cukup dalam, sehingga bebek-bebek itu menenggelamkan seluruh kakinya untuk berenang.
Letak gubuknya yang berada di area tanah yang lebih tinggi, tidak turut serta terkena genangan air, padahal sebenarnya bisa membangunkan tidur Abdul lebih awal jika saja ikut tergenang.
Abdul hampir saja menangis mengetahui ini, karena jika terjadi hal buruk yang menimpa kawanan bebeknya, ibunya pasti akan sangat sedih dan ayahnya pasti akan sangat marah. Tetapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menangis, dia berlari menerobos derasnya air hujan untuk mencari sebagian banyak bebeknya yang hilang.
Pematang sawah yang turut tergenang menyebabkan arah larinya tak beraturan dan beberapa kali sempat terjatuh terpeleset serta terperosok ketika kakinya salah memprediksi posisi pematang yang sudah tergenang sehingga tak nampak lagi jalurnya. Genangan air yang semakin tinggi menahan kakinya untuk berlari. Sebenarnya tidak bisa dikatakan berlari, hanya berjalan agak cepat dengan mengambil langkah yang lebar membelah genangan air yang sudah layak disebut banjir itu.
Banjir semakin tinggi dan semakin jauh Abdul berlari, yang didapati adalah air yang semakin deras, karena dia berlari semakin mendekati sumber banjir itu sendiri, yaitu aliran Sungai Pemali. Dia hampir menyerah dan menghentikan langkahnya sambil memandangi sungai yang letaknya berjarak 100 meter di depannya dengan arusnya yang sudah sangat mengerikan. Pandangan kosong turut menyertai pikirannya yang bingung dan cemas.
Curah hujan yang semakin deras membasahi rambut dan wajahnya yang sawo matang itu, yang tampak pada ekspresi wajahnya sekarang hanyalah kecemasan. Dari seberang sungai seseorang melihatnya. "Abdul...!" orang itu memanggilnya dengan berteriak.
Abdul melihatnya dengan seksama siapa orang itu, matanya berbayang karena terkena tetesan air hujan, ditambah curah yang tinggi membuat jarak pandang sangat terbatas, tapi dari samar pakaiannya sepertinya dia mengenali meski dengan keraguan.
"Pak Cipto, ya?" teriak Abdul untuk meyakinkan, sambil tangannya menyapu air di wajahnya demi semakin memperjelas pandangannya bahwa dia adalah pak Cipto, tetangganya yang seorang petani.
"Iya! tadi aku melihat bebek-bebekmu hanyut di sungai, aku tidak sanggup untuk menyelamatkannya karena airnya sudah sangat deras!" sahut pak Cipto menjelaskan sambil menggunakan dua telapak tangannya memposisikan sebagai pengeras suara di sekitar mulutnya.
Abdul yang mendengar itu terdiam, dia tidak bisa berbuat banyak, arus air sungai yang deras dan terlihat mematikan itu membuatnya menyerah.
"Sebaiknya kamu menjauh dari sungai, airnya sudah makin deras, bahaya!" lanjut Pak Cipto memperingatkan.
Abdul menyadari hal itu, dia tidak ingin mengambil resiko lebih, lagipula banjir disekitarnya sekarang sudah hampir sebatas lutut, dia harus berhenti mencari kawanan bebeknya dan pasrah dengan apa yang akan terjadi di rumah nanti.
Ujian tak sampai di situ, saat dia kembali ke gubuk tempatnya beristirahat, rupanya sisa bebek tadi yang berjumlah enam ekor pun ikut menghilang. Kemungkinan besarnya juga turut tersapu aliran banjir yang mengarah mengikuti aliran sungai.
Dia semakin menyalahkan diri sendiri, begitu cerobohnya dia tidak mengamankan sisa bebeknya terlebih dahulu sebelum mencari sebagian besar yang hilang.
***