Di bawah hujan yang turun lebat siang itu, kau pergi membawa langkahmu meninggalkanku setelah berhasil menghunus pedang di dalam dadaku.
Ketiga pemuda itu nampak duduk dengan posisi yang sama; menopang dagu, sembari menatap ke luar jendela. Angin berhembus kencang, sementara hujan nampak begitu awet bahkan jadi lebih deras dari sejam setelah matahari terbit. Pagi ini mereka terpaksa harus mengatur jadwal, sebab hujan deras yang mengakibatkan jalanan jadi berlumpur. Pak Delio juga mengatakan bahwa mereka tidak bisa pergi, jalanan menuju tempat yang akan mereka tuju pasti berlumpur dan akan berbahaya untuk mereka juga. Belum lagi jalanan yang otomatis akan berkabut.
Jadi, setelah bangun pagi-pagi sekali dan hampir berebut toilet, mereka malah berakhir termenung menikmati hujan di pagi hari. Di pertengahan tahun seperti sekarang, hujan memang sering turun dan mengguyur. Belum lagi, desa Manna adalah desa yang terletak di kaki bukit. Awan-awan yang membawa air hujan, sangat senang berada di atas desa ini. Sialnya lagi, Tuan Egi tidak mau mendengar keluhan mereka. Alan sejak tadi duduk dengan wajah tertekuk sebal, rasanya ingin mencak-mencak tapi masih menjaga sifat di hadapan kepala desa.
Sementara kelima orang berjenis kelamin lelaki itu menikmati pagi mereka dengan tenang, duduk santai di sofa, dan menatap rintik hujan yang turun, ketiga perempuan itu kini sibuk di dapur. Suara desisan minyak goreng, suara yang dihasilkan oleh pertemuan antara pisau dan talenan, belum lagi suara-suara lainnya yang kental dengan dapur. Tadi, setelah bangun dari tidurnya yang sebentar itu, Gia dipaksa untuk pergi ke dapur dan membantu Keyza, dan ibunya untuk membuat sarapan.
Sarapannya khas sekali, Gia yang melihatnya meringis sebab tidak terbiasa makan makanan sebanyak itu di pagi hari. Perempuan itu tengah menggoreng ikan, sesekali melirik ke arah wanita berusia di awal lima puluhan itu yang tengah sibuk membuat bumbu untuk ikan. Sementara Keyza, gadis kecil yang baru masuk SMP itu sedang sibuk memotong sayuran. Baiklah, keadaannya tak jauh berbeda dengan dia sewaktu kecil dulu. Ya, sebelum kedua orangtuanya berpisah.
"Nak Gia belum menikah, ya?" Pertanyaan yang sejak kemarin coba Gia hindari, pada akhirnya akan dia dengar lagi.
Perempuan itu mengangguk, lantas menoleh dan menyadari bahwa wanita itu tak melihat. "Belum, Bu. Saya belum menikah," tegasnya.
"Aduh, usianya sudah berapa? Kenapa belum menikah?"
"Tahun ini 30 tahun, Bu." Gia terdiam, membalik ikan di dalam wajan terlebih dahulu sebelum melanjutkan. "Masih ingin mengejar karir,"
Wanita itu nampak terdiam sebentar, lalu memasukkan bumbu tadi ke dalam piring sebelum akhirnya berdiri dan menyerahkannya pada Gia. "Wanita itu tidak usah terlalu fokus pada karir, nanti ujung-ujungnya akan menjadi ibu rumah tangga. Kodrat sebagai wanita memang seperti itu, 'kan? Lagipula kalau kau terlalu fokus pada perkerjaan, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah denganmu. Mereka malu,"
"Menikah itu tentang dua orang, Bu. Ada tanggungjawab dan perjanjian yang sudah ditetapkan bahkan sebelum menikah," Gia tersenyum, menoleh pada sang Ibu Kepala Desa. "Tidak semua perempuan mau menjadi seperti yang Ibu katakan tadi, begitupun sebaliknya. Jangan biasakan memaksa isi kepala sendiri dengan orang lain,"
Keyza tersentak dengan ucapan perempuan dewasa itu, sang gadis bahkan menghentikan kegiatannya dan fokus menatap ke arah mereka berdua. Ibu Ris kini tertegun, matanya bergetar melihat sebuah senyum hadir di wajah itu. Gia menatap lekat ke arah wajah yang penuh dengan kerutan itu, lantas melanjutkan.
"Setiap orang adalah pribadi yang berbeda-beda, Bu. Dan aku yakin Ibu Ris adalah seorang manusia yang tahu bagaimana caranya menghargai perbedaan," Gia mematikan kompor, meletakkan ikan di dalam wajan ke atas piring sebelum akhirnya kembali fokus ke arah wanita itu.
"Hidup di lingkungan yang masih kental dengan budaya lama memang sedikit menyebalkan," katanya, "ada beberapa aturan yang memaksa kita untuk berhenti bermimpi, bahkan tidak memperbolehkan kita untuk memiliki mimpi. Jadi, di zaman yang semodern sekarang, kita sebagai perempuan harus bisa mengubah aturan itu. Kita harus berevolusi,"
Gia lantas mengambil bumbu tadi, kemudian memasukkannya ke dalam wajan. Bau harum dari perpaduan antara cabe, bawang, dan tomat hadir setelah bumbu tadi masuk ke dalam wajan. Ibu Ris tersentak, berkedip sebentar, lalu berdehem. Sementara Keyza kini tersenyum begitu lebar, menatap punggung sempit milik Gia yang fokus pada masakannya.
Setelah semua masakan yang mereka siapkan itu selesai, Keyza memanggil kelima lelaki tadi untuk menuju dapur dan sarapan. Jarum jam menunjuk pada angka sepuluh, sementara hujan masih awet mengguyur desa. Aktivitas terlihat lengang, hanya beberapa dari petani yang pergi ke sawah untuk melihat sawah mereka yang barangkali sudah dipenuhi oleh air. Cuaca terasa sangat dingin, Galang bahkan terlihat mengigil dengan pakaian tipisnya.
"Pakai jaket, Lang. Bibirmu membiru," celetuk Bisma yang sudah duduk di bangku.
"Aku malas pergi ke kamar lagi, belum lagi harus membuka tasku yang sudah tersusun rapi. Minum air hangat sudah cukup," balasnya.
Vin yang melihat menggelengkan kepala, lalu membelalak saat melihat sayur sop kesukaannya tersaji. "Wah, siapa yang membuat sop sayurnya?" Tanya pemuda itu dengan mata berbinar.
"Kak Gia semua yang buat, aku dan Ibu bantu menyiapkan bahannya saja. Rasanya enak, lho, Kak. Aku tadi cicip sedikit," jawab Keyza, tersenyum manis di kursi tepat di seberang Vin.
"Wah, aku tidak menyangka Kak Gia bisa memasak. Apa rasanya seenak itu?"
Gia tidak menjawab, memilih tersenyum kecil dan mengambil nasi untuk Pak Han yang duduk sembari terkekeh. Sementara manik mata seseorang sejak tadi terus terfokus pada sosok yang menjadi Bintang utama pagi itu, entah kenapa hatinya mendadak jadi hangat dengan ujung bibir yang tertarik tanpa dia sadari. Setelah sekian lama, akhirnya Alan bisa merasakan masakan perempuan itu lagi.
Alan duduk di sebelah perempuan itu, menatapnya lembut dan tak menyadari bahwa Bisma sejak tadi memperhatikannya. Gia yang sadar, langsung menoleh dan tersentak saat menangkap basah Alan yang sejak tadi memperhatikannya. Ah, pantas saja Bisma sejak tadi memperhatikannya dengan tatapan tajam seperti itu. Perempuan itu menghela napas, lalu meletakkan nasi ke atas piring milik Alan. Sementara piring milik Galang, serta Bisma sudah diisi nasi oleh Keyza.
"Selamat makan!" Seru mereka kemudian.
Setelah satu suap, Alan terperangah dan rasanya ingin menangis terharu. Rasanya tidak berubah, masih enak seperti dulu. Kenangan manis di antara mereka, kini berkeliaran di dalam kepalanya. Pria itu mendekat, lalu berbisik pada Gia yang sejak tadi fokus pada makanannnya. Sesekali perempuan itu membalas reaksi berlebihan dari Pak Han, Galang, dan Vin atas masakannya.
"Masakanmu masih enak seperti dulu." Bisik pria itu.
Setelah sarapan, ketiga pemuda tadi kini kembali ke kamar. Sementara Ibu Ris dan Pak Han duduk di ruang tamu sembari menikmati makanan penutup berupa pisang, serta roti, dan juga kopi. Kalau Keyza, dia juga kembali ke dalam kamar. Katanya dia ingin mengerjakan tugas, soalnya besok harus dikumpul. Omong-omong, hari ini memang hari minggu dan anak-anak sekolah sedang libur. Sementara Gia, perempuan itu kini duduk di bangku balkon. Membiarkan gemercik air hujan mengenai tubuhnya, serta wajahnya yang terlihat datar.
Hujan dan dirinya adalah dua hal yang tak pernah bersahabat.
Ada segudang kisah buruk yang sempat hadir, membuat hidupnya benar-benar berubah menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Kematian ibunya, serta kematian ayahnya terjadi di saat hujan. Membuat tanah di pemakaman jadi berlumpur, basah, dan kotor. Kenangan pahit yang kalau bisa, Gia ingin buang atau bakar saja. Tapi sialnya, kenangan bukanlah sesuatu yang berbentuk fisik seperti kertas ujian Nobita yang bisa disembunyikan agar tidak di marahi oleh ibunya karena mendapatkan hasil ujian yang buruk.
Kenangan adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan sakit hati, begitulah yang Gia yakini. Hampir keseluruhan kenangan yang dia miliki persis seperti mimpi buruk, yang selalu membuatnya tak nyenyak tidur. Setiap kenangan yang dia ingat, akan membuat dadanya jadi sakit, serta sesak.
Perempuan itu termenung, kopi yang dia buat sudah dingin di atas meja dan bahkan tak tersentuh sedikitpun itu. Tiba-tiba saja seseorang sudah duduk di bangku sebelah, membuatnya tersentak dan menoleh. Tatkala matanya menangkap presensi itu, kenangan serta rasa sakit yang tadi dia bicarakan kini kembali menggerogoti dirinya.
Gia merasa tak sanggup, bahkan hanya untuk duduk di sana lebih lama.
To Be Continued