Entah kenapa, rasanya hambar tatkala mendengar bibir itu mengucap kalimat maaf untuk ke seribu kalinya.
Bisma bukannya ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga kakak sepupunya itu, Lia, dia hanya merasa bahwa dia punya kewajiban untuk mengawasi sang kakak ipar yang notabenenya memang banyak sekali disukai oleh banyak orang terutama yang berada di sekitar pria itu. Alan itu ramah, sangat baik, senyumnya adalah bonus dari kebaikan hatinya yang tentu saja sering diartikan salah oleh beberapa orang. Bisma tak mau Lia menangis, merasa sedih, bahkan merasa hidupnya hancur karena Alan.
Kehadiran Gia yang juga pernah mengisi sebagian hati Alan membuat Bisma semakin was-was, apalagi tatkala kalimat ambigu yang keluar dari ceruk bibir milik Alan sendiri. Semalam, Bisma tentu saja tak mambuk. Ya, toleransinya terhadap alkohol sangat tinggi. Semasa kuliah, pemuda itu sering menjadi pemenang di permainan yang sering kali teman-temannya buat. Entah itu di acara kampus, atau hanya kumpul-kumpul dengan teman sepermainan. Dan malam itu Bisma ingat betul, kalimat apa yang Alan ucapkan.
"Aku harus segera pulang, kasian perempuan ini."
Bisma bahkan belum sempat mengatakan apa-apa, sebab Alan sudah lebih dulu berlalu meninggalkan sebuah kartu berwarna keemasan di atas meja. Ingin mengejar, mengatakan bahwa dia saja yang mengantar tapi Rani malah membuat masalah dengan muntah tepat pada pakaiannya dan membuat Bisma terdiam di tempat. Vin yang sudah mabuk, tentu saja tak akan tahu apa yang terjadi malam itu. Sementara Galang, dia sudah tertawa terbahak-bahak.
Setelah keluar dari mobil dan mendapati bagaimana sang kakak ipar yang terlihat marah, Bisma semakin menaruh kecurigaan. Sebenarnya, apa yang terjadi pada malam itu? Pikirnya, sembari mengambil beberapa makanan di rak minimarket dengan mata yang terus memperhatikan Alan di luar minimarket sembari menikmati segulung rokok. Vin dan Galang sekarang sedang mengantre untuk membayar, lantas Bisma melangkahkan kakinya dengan segudang pertanyaan yang berkeliaran di dalam kepala.
"Tumben sekali seorang Bisma beli banyak makanan," celetuk Vin yang kini menelisik ke arah Bisma dan membuat lamunan pemuda itu buyar.
"Apa?" Alih-alih menjawab, Bisma malah balik bertanya dengan kening berkerut. Lalu terkekeh tatkala menyadari tatapan Vin, lantas melanjutkan. "Entahlah, aku hanya ingin makan banyak snack hari ini."
"Kau ada masalah, ya?" Kali ini Galang yang bertanya, pemuda itu sudah menenteng plastik berisi belanjaannya.
Bisma menoleh pada Galang, lalu menggeleng. "Tidak ada,"
"Wajahmu mengatakan kalau kau sedang berbohong sekarang," balas Galang sembari mengeluarkan sekaleng soda di dalam plastik tadi. "Apalagi saat keluar dari mobil dan Kak Alan mengatakan sesuatu padamu, kau terlihat semakin gelisah." Lanjut pemuda itu, lalu membuka tutup kaleng dan membuat suara desisan soda mengudara mengisi sunyi di ruangan itu.
Vin sekarang sudah melangkah meninggalkan kasir, membuat gadis penjaga kasir itu mengerutkan keningnya melihat Bisma tak kunjung melangkahkan kaki untuk mendekati meja kasir. Membuat Vin mendengus, lalu menepuk bahu Bisma.
"Hey, bayar dulu baru melamun!" Teriaknya.
Bisma lantas melangkahkan kakinya, mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar lalu tersentak tatkala sebuah kalimat tanya kembali mengudara dari ceruk bibir Galang. "Kau kenapa? Coba cerita pada kami, biar nanti dibantu carikan solusi. Nanti malah berpengaruh di ekspedisi kita nanti,"
Galang si perfeksionis, Vin yang mendengar kalimat tanya itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah menjauh dari meja kasir, Bisma terdengar menghembuskan napasnya. Entahlah, terdengar berlebihan tetapi dia merasa ada yang aneh antara Alan dan juga Gia. Ingin acuh, tapi ada sesuatu yang membuatnya tak bisa membiarkan hal-hal yang tak dia inginkan terjadi.
"Apa kalian tidak merasa aneh dengan Kak Alan dan pegawai baru itu?" Tanya Bisma kemudian, mengeluarkan kaleng soda lalu membukanya untuk di teguk sampai tersisa setengah.
"Gia maksudmu?" Ulang Vin, membuat Bisma mengangguk setelah merotasikan bola matanya. "Sepertinya kau benar-benar tak suka padanya," sambung Vin sebab tahu betul kalau Bisma tak mau menyebut nama seseorang, itu artinya dia sudah benar-benar tak menyukainya.
"Memangnya kenapa?" Kali ini Galang yang bertanya.
Ketiganya masih berada di dalam minimarket, menatap keluar dan sesekali memperhatikan diri mereka masing-masing. Alan terlihat masih menikmati rokok itu sendirian di kursi yang sudah disediakan minimarket, sementara Gia sampai sekarang tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya bahkan setelah tiga puluh menit berlalu. Bisma lantas meremat kaleng soda yang isinya sudah habis, membuat Vin dan Galang saling melirik.
"Coba kalian pikir, semalam Kak Alan yang mengantar gadis itu, bahkan dia tadi mengatakan bahwa dia tak pulang, dan menginap di hotel. Kalau dikumpulkan lagi untuk dibuat menjadi sebuah kejadian masuk akal, Kak Alan menginap di hotel bersama dengan Gia!" Ujar Bisma, matanya terlihat menggebu-gebu. "Apalagi Kak Alan dan wanita itu dulunya pernah punya hubungan,"
Galang lalu mendengus, lantas merotasikan bola matanya jengah. "Jangan suka berspekulasi apalagi melebih-lebihkan sesuatu yang kau sendiri tidak berada di sana untuk melihat kejadian yang sebenarnya," membawa kakinya untuk menuju pintu keluar, Galang sejenak menoleh untuk menukas perkataannya. "Lagipula, kau tak seharusnya ikut campur urusan orang lain. Di dunia ini kita harus tahu batasan, Bisma."
Bisma tertegun, tangannya diam-diam teremat di kedua sisi tubuhnya. Mendengar penuturan sok bijak dari Galang barusan, membuatnya geram dan merasa marah. Nanti, akan aku buktikan kalau firasatku benar. Pekiknya di dalam hati. Sementara Vin kini menepuk bahu Bisma, lalu tersenyum hangat.
"Kedua orang itu adalah masa lalu yang sudah berakhir bahkan sebelum pertemuannya dengan Kak Lia, Bisma. Cobalah untuk lebih berpikir positif mulai sekarang," lalu mengikuti langkah Galang.
Bisma masih di dalam minimarket, masih dengan amarah yang membumbung tinggi bersama keegoisan yang membawanya pada rasa takut kalau-kalau apa yang dia pikiran benar-benar terjadi. Menghela napas, Bisma lantas membawa kakinya meninggalkan minimarket dan keluar guna menghampiri Alan yang sudah mematikan puntung rokoknya dengan menginjakkan kakinya.
"Gia di mana?" Tanya Alan, melirik ke sekitar dan wajahnya berubah panik tatkala menyadari bahwa Gia tak bersama dengan ketiga pemuda itu.
"Mungkin masih di toilet?" Ujar Vin tak yakin, membuat Alan langsung berlari menuju toilet yang berada di belakang gedung minimarket ini.
Bisma yang melihat bagaimana reaksi dan ekspresi dari Alan, langsung berdecih dan melipat tangannya. "Apa kukata, ada yang aneh dengan mereka berdua."
Tapi Vin dan Galang tak menimpali, lebih memilih untuk diam sebelum akhirnya mendaratkan pantatnya pada bangku di hadapan mereka. Sementara yang kini menjadi pembicaraan berdiri di depan pintu toilet perempuan, napasnya tersengal sebab tadi berlari cukup kencang. Pintu diketuk, tapi tak ada suara sahutan apapun yang terdengar.
"Gia, kau di dalam?" Teriak Alan sembari terus mengetuk daun pintu itu.
Setelah sekitar dua menit Alan berdiri di sana sembari terus mengetuk berharap seseorang yang berada di dalam muncul, pintu itu terbuka dan menampilkan seraut wajah dengan kerutan pada keningnya. Pria itu menghela napasnya, lalu menarik tubuh itu untuk dia bawa ke dalam pelukan yang hangat dan erat.
"Kupikir kau kenapa-napa," ujar Alan, "kenapa lama sekali di dalam sana?"
Yang di tanya tak jua menjawab, memilih diam dengan mata yang terpejam. Kedua tangannya yang berada di kedua sisi tubuh nampak terkepal, seolah enggan menerima kehangatan itu namun tak bisa mendorong sebab tak bisa bertindak munafik dengan mengatakan bahwa dia tak menyukainya. Pada dunia yang penuh oleh dusta, Gia ingin mengatakan bahwa dirinya merindukan pelukan ini.
Namun, tatkala kepalanya kembali memutar kejadian yang telah lalu, Gia langsung mendorong tubuh itu dan mengatakan sesuatu dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Maaf." Dan kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang Gia ucapkan, bahkan setelah mereka sampai di tempat tujuan.
To Be Continued