POV
"Pa, kemana saja seharian ini? Bukan kah ini hari libur? Sejak tadi kau susah di hubungi. Puteri kita Rose ingin ke taman bermain, tapi kau seharian tidak dirumah."
Pak Gibran langsung saja mendapat serangan pertanyaan dari wajah cemas Bianca, istrinya. Sembari menggendong putera kedua pak Gibran yang baru berusia 2 bulan. Jade, namanya.
"Maafkan aku, tadi benar-benar ada urusan mendesak diluar. Dimana Rose?" Jawabnya sembari mengecup lembut kening putera keduanya dalam dekapan istrinya.
"Rose sudah tidur. Seharian dia bermain di temani si mbok, dia sempat menangis karena bosan seharian dirumah saja."
"Ya Tuhan, besok aku akan memberinya hadiah untuk meredakan kekesalannya." Kata pak Gibran dengan terus menatap putera keduanya, mengelus lembut pipinya.
"Dia tidur sangat pulas, Pa. Eh, kau pasti sangat lelah. Si mbok sudah menyiapkan makan malam untuk mu,"
"Heem, aku memang sangat lapar. Ya sudah, aku mandi dulu. Aku sangat gerah dan lelah." Jawab pak Gibran yang kemudian berjalan menuju kamar nya di atas.
Tak berapa lama kemudian, istrinya sudah menunggunya dengan setia duduk di kursi meja makan. Dia melempar senyuman hangat pada suaminya yang baru berjalan dengan rambut masih setengah basah.
"Pa, kebiasaan deh. Kau selalu tidak sabaran untuk mengeringkan rambut mu dulu dengan handuk, nanti kau mudah ketombean. Aku akan mengambil handuk sebentar dan mengeringkan rambutmu," Ucap istrinya dengan beranjak bangun dari kursi nya.
"Sayang, sudah lah. Tak apa, kau temani aku makan saja," Pak Gibran menarik tangan istrinya, dia menurut dan duduk kembali.
"Ambilkan aku nasi," Titah pak Gibran dengan lembut.
"Dengan senang hati, Pa." Jawab istrinya dengan senyuman.
Oh Tuhan, maafkan aku istriku. Aku mengkhianatimu kembali saat ini, maafkan aku.
Dalam hati pak Gibran bergumam penuh rasa bersalah. Beberapa tahun yang lalu, dia pun pernah terjebak dengan cinta terlarang. Seorang gadis berusia 21 tahun, Dea namanya. Yang tak lain adalah anak dari sahabatnya sendiri.
Saat itu, pak Gibran dimintai tolong oleh sahabatnya diluar negeri. Untuk menjadi guru les privat dan menjaga puterinya yang liar akibat pergaulan bebas di luar negeri. Maka itu, Dea di kirim ke Indonesia untuk melanjutkan study nya, siapa sangka. Perubahan sikap Dea yang mulai membaik justru membuat pak Gibran jatuh hati padanya.
Namun hubungan mereka kandas begitu saja setelah istri pak Gibran mengetahuinya. Dan rumah tangga nya berada diambang pintu kehancuran, namun rasa cinta istrinya yang begitu besar terhadap pak Gibran. Dengan mudahnya memaafkan kesalahan pak Gibran, karena saat itu tengah hamil anak yang pertama.
Hubungan rumah tangga pak Gibran sejak awal di penuhi dengan drama yang membuatnya terkadang merasa jengah. Sebab, hingga saat ini pak Gibran belum seutuhnya di terima oleh keluarga Bianca yang terlahir dari keluarga kesultanan. Sedangkan pak Gibran hanya orang biasa saja walau kekayaannya pun berlimpah.
Ketika itu, pak Gibran sungguh jatuh hati pada Bianca yang selalu santun dan lembut. Mereka teman satu kampus, sebelum hubungan mereka di tentang pak Gibran dan Bianca menjalani hubungan pacaran dengan penuh keromatisan. Hingga membuat seluruh mahasiswa seangkatannya iri setiap menyaksikan mereka berdua.
Hingga suatu hari Bianca di jodohkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang laki-laki yang dianggap sederajat dengan kesultanannya. Bianca tidak berani menolak, orang tua nya begitu keras. Dia hanya bisa pasrah, lalu Bianca memutuskan untuk meninggalkan pak Gibran demi kebahagiaan orang tuanya. Namun pak Gibran menolak keras, apapun akan dia lakukan agar mereka tetap bisa bersama.
Rasa cinta yang tumbuh diantara mereka membutakan akal sehat mereka saat itu, Bianca hamil sebelum hari pernikahannya dengan laki-laki yang di jodohkan oleh kedua otang tuanya. Dan pada akhirnya, Bianca di lepaskan oleh kedua orang tua nya untuk keluar dari kesultanan mereka. Bianca tidak lagi dianggap sebagai tuan puteri dalam kesultanan tersebut.
🍁🍁🍁
Selesai makan malam, pak Gibran memasuki kamar di susul oleh Bianca. Yang kemudian langsung memeluknya saat tiba di dalam kamar, pak Gibran terkejut sesaat karena tidak seperti biasanya Bianca berani bersikap seperti ini.
"Pa, aku rindu.."
"Ada apa? Apa kau menginginkan sesuatu?" Tanya pak Gibran sembari melepas pelukan istrinya.
"Apa kau tidak merindukan ku? Sejak Jade lahir bukan kah kau sedang berpuasa dan menahan diri untuk tidak menyentuhku?"
"Hah, kau sedang belajar untuk mencoba merayuku lebih dulu. Awal yang baik untuk permulaan," Jawab pak Gibran yang kemudian mendekatkan wajahnya pada Bianca lalu mengecupnya.
Dengan lembut Bianca memberikan perlawanan kecil, mereka berciuman dengan mesra. Kemudian Bianca mengalungkan kedua tangannya pada leher pak Gibran, dengan mata terpejam dia merasakan setiap sensasi perlawanan kecupan istrinya. Namun tiba-tiba terbayang wajah Khanza dalam pikirannya.
Dengan membelalakkan kedua matanya pak Gibran melepas ciuman Bianca, membuat Bianca terkejut akan sikap suaminya itu.
"A,ada apa Pa?"
"E,eh.. Maafkan aku, Bianca. Aku hanya sedikit kehabisan nafas saja, kau bersemangat tadi."
"Eh, maafkan aku. Tapi bukan kah, sejak awal kau yang selalu menang ketika kita berciuman seperti tadi. Ih, dasar. Kau pasti sengaja ingin membuatku puas dan merasa menang, iya kan?" Ucap Bianca dengan kembali melingkarkan kedua tangannya di leher pak Gibran.
"Hahaha, kau bertingkah seolah kita masih muda dulu. Saat kuliah, kau memang paling bisa membuatku tak ingin melepaskan diri dari jeratan mu."
"Ehhem. Jika begitu, ayo Pa. Kita lakukan, aku sudah sangat rindu sentuhan nakal mu."
Kembali pak Gibran mencoba melakukan pemanasan pada istrinya sebelum mereka memulai bercinta dengan penuh gairah. Namun lagi-lagi, disaat pak Gibran memejamkan kedua matanya untuk menikmati permainan istrinya. Dia terbayang wajah dan senyuman Khanza, juga setiap kenakalannya.
Oh Tuhan, aku sungguh gila. Aku bisa gila setelah ini, kenapa wajah polos anak itu selalu terbayang di pelupuk mataku. Ini sungguh mengganggu ku, bagaimana ini? Aku tidak ingin mengecewakan Bianca, istriku. Tapi...
"Awhk...!!!"
Pak Gibran memekik tertahan saat di rasakannya Bianca menggigit bagian dadanya.
"Hahaha, maafkan aku sayang. Sebab kau melamun saja, apa yang kau pikirkan? Sejak tadi aku sudah melakukan hal yang biasa ku lakukan. Tapi kau malah termenung menatap langit-langit kamar."
"Huhft, hentikan Bianca."
Bianca tampak kebingungan mendengar pak Gibran memintanya untuk berhenti melakukan aktifitas yang di sukainya sejak awal mereka berpacaran. Namun tidak kali ini, ada apa? Bathin Bianca mulai campur aduk.
"Ehm, sepertinya kau sangat kelelahan seharian ini. Jika begitu, kita bisa menundanya sekarang, ehm.. Lain kali kita bisa melakukannya."
"Apa kau sungguh tidak apa-apa, Bianca?"
Bianca tampak berusaha melempar senyuman walau hatinya terlihat menahan kekecewaan dan malu.
"Aku tidak apa-apa, tidur lah."
"Terimakasih, sayang. Kau memang istriku yang terbaik."
Namun dalam hati pak Gibran mulai kesal dan semakin gusar di penuhi rasa bersalah yang begitu besar, namun tak dapat di pungkiri jika hasratnya pun lebih besar mengingat apa yang di lakukannya dengan Khanza di villa tadi. Membuatnya ingin kembali mengulanginys dengan Khanza, ingin rasanya dia segera menelpon Khanza. Namun malam ini, dia tidak mungkin meninggalkan Bianca begitu saja di kamar sendirian setelah apa yang terjadi barusan.
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!
Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius