Satu bulan dua hari telah berlalu. Aku dan Zhu Zheng pun kini telah resmi menjadi orang asing. Lebih tepatnya Zhu Zheng lah yang menganggapku sebagai orang asing dalam hidupnya, orang yang tidak pernah ada dan terlihat di muka bumi ini.
Jujur saja, aku lebih suka di anggap sebagai angin, bayangan, dan bahkan debu olehnya. Angin masih bisa di rasakan, bayangan masih bisa di lihat, dan debu walaupun kotor, tapi masih bisah di lihat dan di sentuh olehnya. Tapi di anggap menjadi orang yang tidak pernah ada di muka bumi ini sangatlah menyakitkan. Tapi hal itu tidak membuatku berkecil hati, selama satu bulan dua hari, aku tetap mengikutinya dan selalu berada di sampingnya selama di kampus, sampai An, Anita, dan Lili pun tidak merasa ada sesuatu yang salah antara aku dan Zhu Zheng.
"Resa, apa kamu membawa sarapan pagi? Aku sangat lapar." Rengek An padaku.
Aku tersenyum lembut pada An, dan mengeluarkan kotak sarapan pagi yang selalu aku buat pada Zhu Zheng, jika suatu hari nanti dia lupa sarapan pagi di Apartemen ataupun di rumahnya.
"Tian, apa kamu juga mau? Aku membuat sarapan paginya lebih." Ucapku pada Zhu Zheng yang duduk di depanku.
Tidak ada respon darinya. Itulah yang sering aku alami selama satu bulan dua hari ini.
Menganggapku sebagai orang yang tidak pernah ada. Rasanya aku ingin sekali menagis dan mengatakan padanya, jangan lagi menghindariku, aku mohon. Tapi tangisan dan permohonan tidak akan pernah bisa meluluhkan hatinya padaku. Selama satu bulan dua hari ini juga, aku selalu bertanya-tanya, kesalahan apa yang aku perbuat sampai membuat Zhu Zheng menghindariku begitu banyak. Aku juga sering berpikir dan bertanya-tanya, apakah aku pernah menyinggungnya(?) Tapi apa yang aku singgungkan(?) Aku selalu berhati-hati di setiap perkataanku padanya. Lalu dimana dari diriku yang membuatnya marah padaku(?)
Aku bingung. Aku pernah beberapa kali menanyakan padanya, mengapa kamu membenciku(?) Tapi jawaban yang aku dapat darinya adalah nol. Dia sama sekali tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatapku dalam diam, dan kemudian pergi meninggalkanku sendirian lagi. Kejadian itu terus saja berulang setiap kali aku bertanya padanya.
Jadi apa yang membuatnya membenciku(?) Hanya Zhu Zheng dan Tuhanlah yang tahu.
"Hoee, Zhu Zheng. Apa kamu sudah sarapan pagi?" Teriak An pada Zhu Zheng.
"Sudah." Jawaban yang singkat tanpa menoleh ke belakang.
Jam istirahat, kami berempat menuju ke kantin kampus bersamaan, setelah sampai kami berempatpun memesan makanan dan mulai menyantapnya.
"Astaga, aku hampir saja lupa ... Zhu Zheng, kamu ini sudah bertunanganyah?"
Aku menghentikan aktifitas makanku setelah mendengar perkataan dari An.
Zhu Zheng sudah bertunangan(?) Sejak kapan(?) Sama siapa(?) Siapa orang yang berhasil mengambil hatinya(?) Aku ingin tahu semuanya.
"Uum, aku sudah bertunangan."
"Sama siapa!!" Teriak Lili dengan suara yang cukup keras sampai membuat penghuni kantin memandang ke arah kami.
Anita, "Hei kecilkan suaramu."
"Oh maaf, aku terlalu bersemangat."
An, "Ayo Zhu Zheng jawab, jawab."
Aku melihat Zhu Zheng menghembuskan napasnya dan menatap ke arah kami. Zhu Zheng menatapku dan mengunci tatapanya, Zhu Zheng pun berkata sambil melihatku,
"Anita. Aku bertunangan dengan Anita." Dan kemudian dia kembali melanjutkan makannya.
Lili, "Kalian, kalian berdua .. bagaimana bisa!"
An, "Ia bagaimana bisa!"
"Orangtuaku dan orang tua Tian bersahabat ... Dan kami berdua sudah di jodohkan dari kecil."
An, "Berarti dari awal kamu dan Zhu Zheng sudah saling kenal satu sama lain!?"
"Umm, kami sudah saling kenal." Kata Anita kepada kami.
Aku menatap Anita dan Zhu Zheng bergantian, tiga kata yang muncul dalam pikiranku saat ini adalah 'mereka sangat serasi'.
Sepulang dari kampus, aku langsung pulang ke Apartemenku. Sampai di Apartemen, aku menatap pantulan diriku sendiri di depan cermin yang ada di dalam kamarku. Aku menyentuh wajahku sendiri. Apa yang bisa aku bandingkan dengan Anita(!) Anita adalah gadis yang sangat cantik dan anggun, dia juga gadis yang sangat baik dan ramah. Sangat serasi dengan Zhu Zheng yang tampan dan cantik.
Aku tersenyum pahit di depan cermin, tampa aku sadari, butiran bening telah mengalir dari kedua bola mataku. Aku menangis tersedu-sedu, dan mulai menyalahkan diriku sendiri. Kenapa aku harus jatuh cinta pada orang yang salah(!) Kenapa harus seorang pria dan bukan wanita(!) Dan kenapa orang yang bertunangan dengannya adalah orang yang berada di lingkaran pertemananku(!)
Ini sungguh sangat menyakitkanku.
Beberapa saat kemudian aku mulai menenangkan pikiranku setelah mengingat kata-kata yang terdapat dalam sebuah novel Romantis.
'Katakan saja perasaanmu padanya, walaupun kemungkinan terbesar kamu akan di tolaknya. Percaya padaku, kamu akan merasa legah setelah mengatakan perasaanmu.'
Aku menganggukan kepalaku, "Benar aku harus mengatakan perasaanku pada Tian ... Apapun yang terjadi."
Tidak terasa dua minggu telah berlalu, dan aku sudah mengumpulkan keberanianku untuk mengungkapkan perasaanku padanya.
Aku pasti bisa mengungkapkan perasaanku. Aku pasti bisa.
.
.
.
Bersambung . . .
Selesai pengetikan pada hari–
Rabu, 27 – 05 – 2020, pukul, 10.47 wita.