"Kau dan aku?" ulangku dengan perasaan tidak enak.
Gregory berdiri dari kursinya lalu mendorong punggungku agar duduk di depan sarapan yang sudah Ia siapkan, "Aku sudah menunggumu selama ini, apa kau pikir hanya satu malam cukup untuk menebusnya?" tanyanya sambil membungkuk di belakangku.
"Bukannya itu peraturanmu? Satu kali untuk setiap wanita?" balasku sambil menelan ludah karena kedua tangannya yang meremas lembut bahuku lalu salah satu tangannya menarik daguku hingga aku kembali memandangnya.
"Tidak." bisiknya sambil memandang bibirku yang sedikit terbuka, "Lana, aku menginginkanmu setiap saat... Apa kau tahu rasanya seperti apa?" Gregory mencium bibirku dengan perlahan, mengulum setiap inci bibirku hingga menjadi basah dan sedikit bengkak.
"Bagaimana jika aku tidak menginginkanmu?" tanyaku dengan desahan tertahan, "Apa kau akan memaksaku?"
"Tentu saja tidak, tapi aku sangat persuasif. Dan biasanya aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan." jawabnya dengan arogan sebelum kembali mencium sudut bibirku. "Menyerah saja. Kau tidak bisa lari dariku lagi, Lana."
***
Karena aku khawatir dengan kondisi Ella, akhirnya Gregory setuju untuk mengantarkanku kembali ke hotel walaupun dengan ekspresi enggan yang menghiasi wajahnya sepanjang perjalanan. Aku terpaksa harus mengenakan gaun biruku semalam. Gregory juga mengenakan setelan jasnya yang semalam minus dasinya, jantungku berdebar agak keras setiap mengingat kemejanya yang baru setengah jam lalu kukenakan sekarang sudah menempel di tubuhnya lagi.
"Aku harus mampir ke rumah sebentar. Apa kau keberatan?" tanyanya tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Aku harus minum." balasnya pendek sambil membuka kancing kemeja teratasnya dengan satu tangan.
Minum? Ah... maksudnya minum darah? Sekarang aku baru menyadarinya, kami belum membicarakan tentangnya sama sekali. Walaupun semalam aku mengatakan tidak peduli tentang siapa Ia sebenarnya tapi aku tetap ingin tahu. "Jadi kau bukan manusia." kataku.
"Bukan."
"Vampire?" tebakku sambil mengamati siluet wajah tampannya dari samping saat mengemudi.
"Hmm... Vampire hanya mitos yang dibuat manusia, tapi mitos itu muncul memang karena keberadaan bangsa kami."
"Lalu... makhluk apa kau sebenarnya?"
"Volder." jawabnya sambil menoleh ke arahku sebentar, "Seperti yang kau lihat malam itu, kami minum darah manusia tapi dalam batas wajar. Karena jaman sudah modern biasanya kami minum darah transfusi karena meminum langsung dari sumbernya sangat beresiko." jelasnya sambil fokus mengemudi.
"Apa yang akan terjadi jika kau terlambat minum darah?" tanyaku lagi.
Greg menarik salah satu sudut mulutnya ke atas, "Mungkin... aku akan meminum darahmu." suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya.
"Oh..."
"Kau tidak takut?" tanyanya dengan heran.
Kuangkat bahuku sekilas lalu memandang ke jendela di sampingku, "Aku tidak peduli."
"Apa aku sudah memberitahumu kau ini aneh?"
Aku mengangguk padanya, "Semalam kau sudah mengatakannya."
Kami menghabiskan sisa perjalanan dalam keheningan yang terasa nyaman. Rumahnya ternyata cukup jauh dari komplek gudang tempat apartemen rahasianya berada. Gregory bilang apartemen itu adalah satu-satunya tempat yang tidak diketahui oleh siapapun, bahkan kakaknya sekalipun... tapi sekarang aku juga mengetahuinya.
Ah, omong-omong tentang kakaknya... aku jadi kembali mengingat Ella. "Nicholas Shaw sepertinya tertarik pada Ella." gumamku memecah keheningan.
Gregory tertawa kecil saat mendengarnya, "Percayalah padaku, Nick sangat tertarik pada sahabatmu."
Kukerutkan keningku dengan sedikit bingung lalu menoleh ke arahnya, "Lalu kenapa Ia meninggalkan Ella?"
"Siapa yang bilang Nick meninggalkannya?" sahutnya dengan santai. "Lana, jika kau penasaran tentang hubungan mereka kau harus bertanya sendiri pada sahabatmu."
"Memangnya kenapa? Ella belum menceritakannya padaku walaupun aku sudah penasaran setengah mati." gerutuku.
"Hubungan mereka cukup rumit. Lagipula... aku ingin kau fokus dengan hubungan kita daripada mencampuri hubungan Nick dan Eleanor." ungkapnya dengan sebuah senyuman samar.
Kalimatnya membuat wajahku terasa memanas, "Hubungan apanya?" gumamku sebelum membuang mukaku untuk menyembunyikan rasa maluku.
"Ahhh... jadi aku masih harus mengerahkan seluruh skill persuasifku. Lana, kau benar-benar lawan yang sulit."
Aku tahu Ia hanya bercanda. Ia tidak perlu mengeluarkan skillnya lagi... karena aku sudah jatuh cinta pada Gregory Shaw.
***
Rumahnya ternyata bukan rumah normal yang seperti yang ada di dalam pikiranku melainkan sebuah kastil. Aneh sekali rasanya melihat kastil bergaya era victoria di Manhattan. Dari luar gerbang bangunan kastil ini tidak terlihat karena jalan masuknya sangat panjang dan dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Tempat ini benar-benar tersembunyi dari dunia luar, dan menginjakkan kaki di dalamnya membuatku merasa seperti kembali ke jaman dulu.
Sebuah air mancur besar menyambut kami saat tiba di depan rumahnya, di tengah kolam air mancur tersebut berdiri patung singa yang gagah. Semuanya terlihat terawat sekaligus kuno.
"Aku tinggal bersama Nick karena tempat ini sangat besar. Tapi kami punya wilayah masing-masing untuk menjaga privasi." katanya sambil menggandengku masuk ke dalam. Sebuah mobil Aston Martin diparkir di sisi halamannya yang luas.
"Apa kakakmu ada di rumah?" tanyaku dengan sedikit gugup, rasanya akan canggung sekali jika harus bertemu Nicholas Shaw di rumahnya sendiri.
"Kurasa. Tapi tenang saja, kita tidak akan bertemu dengannya, Ia sedang memiliki tamu." ujarnya dengan senyuman misterius. Gregory membawaku melewati ruangan depan yang dikelilingi oleh tangga dobel di sisi kanan dan kirinya. Interior rumah ini campuran antara kuno dan modern tapi tetap terlihat enak dipandang. Lalu kami melewati ruangan yang kelihatannya seperti perpustakaan, lalu lorong panjang yang dihiasi oleh lukisan yang terlihat kuno, hingga akhirnya kami memasuki sebuah dapur modern sekaligus ruang makan.
Ia melepaskan genggaman tangannya lalu membuka sebuah lemari pendingin di sebelah bar kecil. Aku duduk di salah satu kursi bar sambil menontonnya mengeluarkan sebotol Wine tanpa label dari lemari tersebut.
Walaupun cairan di dalam botol tersebut berwarna merah pekat seperti darah tapi saat dituangkan terlihat lebih encer. Gregory menuangkan minumannya sambil menonton ekspresiku, sepertinya Ia sedang menunggu responku.
"Apa aku boleh mencobanya?" tanyaku tiba-tiba.
Gregory tertawa dengan suara dalam saat mendengar pertanyaanku, "Tidak boleh." lalu Ia menghabiskannya dalam tiga tegukan sebelum mengisinya lagi. Aku masih penasaran dengan apa yang diminumnya. Gregory menatapku saat Ia meneguk gelasnya, kedua mata birunya juga sedang mengamatiku dengan seksama hingga membuatku agak canggung.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?"
Ia meletakkan gelasnya di atas counter lalu ujung lidahnya menjilat sudut bibirnya yang basah, "Karena kau sangat cantik... tapi sayangnya aku harus melepaskanmu setelah ini, jadi aku harus menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk menyimpan wajahmu dalam memoriku."
Wajahku kembali memerah hingga aku harus mengalihkan pandanganku darinya. Dasar playboy tidak tahu malu, pikirku sambil berusaha menutupi rasa maluku. "Cairan itu bukan hanya darah, kan?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.
"Bukan. Untuk meningkatkan rasanya kadang kami mencampurnya dengan wine merah." jawabnya sebelum mengembalikan botol itu ke lemari pendingin. "Apa kau ingin sesuatu sebelum pulang? Minum? Sarapan lagi? Es krim?" tanyanya sambil melangkah ke arahku dengan pandangan bertanya.
Kuulurkan tangan kananku untuk menyentuh wajahnya, bakal janggutnya yang baru tumbuh terasa menggelitik telapak tanganku. "Aku ingin melihat taringmu."
Gregory berkedip terkejut mendengar permintaanku. "Kau benar-benar tidak punya rasa takut, huh?" katanya sambil menangkup tanganku yang memegang wajahnya.
"Apa tidak boleh?" pintaku dengan senyuman kecil. Kedua mata birunya menggelap hingga hampir berwarna hitam saat memandangku lalu Gregory membuka mulutnya hingga sepasang taring yang tajam muncul dari balik bibirnya. Dengan gumaman kagum kuangkat jari-jariku untuk menyentuh salah satu taring itu tapi Ia menarik pergelangan tanganku sebelum aku bisa menyentuhnya.
"Tanganmu bisa terluka." tegurnya sebelum menutup mulutnya lagi. Gregory berbalik lalu kembali menuju lemari pendingin, Ia mengeluarkan botol yang sebelumnya lalu meminumnya langsung dari botolnya. Saat Ia membalikkan badannya ke arahku lagi, kedua matanya sudah kembali biru.
"Saatnya kembali, Lana." katanya dengan senyuman khasnya yang membuat wajahnya semakin tampan, lalu Ia mengulurkan tangannya padaku. Kubalas senyumannya lalu menyambut uluran tangannya.