Jangan lupa batu kuasa ya. Mohon tinggalkan jejak dengan komen membangun untuk karya yang lebih baik ke depannya.
Happy reading!
🍁🍁🍁
Setelah melewati pergumulan emosi sepanjang siang itu, akhirnya Ayushita bisa bernapas lega ketika duo petugas medis pulang. Moodnya benar-benar hancur. Ayushita ingin melakukan relaksasi dulu untuk menenangkan emosinya.
Sore harinya Ayushita memutuskan akan pergi memancing di sungai pinggir tambak Pak Jaja. Beberapa hari yang lalu saat melintasi area itu, dia melihat beberapa anak remaja memancing di sana. Ayushita menelepon Firda untuk menemaninya tapi temannya itu sedang menemani Bu Junaid berbelanja ke pasar sore. Jadilah dia sendiri berangkat memancing.
Ayushita mengenakan pakaian santai, kaos lengan panjang longgar berwarna hitam dipadankan dengan rok hitam panjang. Kerudungnya pun simpel berwarna abu-abu. Tak lupa sendal jepit rakyat jelata yang telah dicuci bersih.
Hidup di kampung ini membuat Ayushita mengubah penampilannya menjadi sederhana. Sangat tidak etis baginya yang seorang pendidik harus berpenampilan glamour tidak sesuai dengan situasi lingkungannya. Hal itu dilakukannya agar dia mudah berbaur dengan warga kampung yang sebagian besar adalah orang tua siswa-siswanya.
Dengan bekal sebilah tongkat pancing lengkap dengan mata pancing serta sekantong umpan pemberian Pak Jaja, si ibu guru muda mulai duduk santai di pinggir sungai. Dipilihnya tempat landai di bawah sebuah pohon rindang. Segelas pop ice dan sebungkus kacang rebus menemani kegiatan mancing manianya.
Di kejauhan sana tampak Pak Jaja sedang berkeliling tambak mengecek ikan-ikan dalam tambak bersama beberapa pekerjanya.
Sudah sejam Ayushita duduk diam mengamati aliran sungai di depannya. Embernya baru terisi seekor ikan mujair yang lumayan besar. Masih ada waktu satu jam sebelum waktu Magrib.
Tiba-tiba dari arah jalan terdengar riuh suara beberapa pemuda yang bercakap-cakap dan terbahak-bahak dengan suara keras. Semakin lama suara mereka mereka semakin jelas. Hingga tampak sekelompok pemuda dengan tampilan ala anak-anak punk melintas dan sempat menoleh ke arah Ayushita yang masih duduk diam di tempatnya.
Seketika geng pemuda itu menghentikan langkah mereka dan saling berbisik satu sama lain.
"Wah ... wah ... tak disangka ada bidadari yang turun dari langit dan sepertinya hendak mandi di sungai," ucap salah satu dari pemuda-pemuda itu yang bisa ditebak bahwa dia adalah ketua geng itu.
Rambutnya dicat warna kuning dengan potongan panjang bagian depannya. Pakaiannya serba hitam dengan celena jins sobek bagian lututnya. Salah satu telinganya dipasang tindik dengan anting berwarna hitam.
Ayushita hanya diam tak menggubrisnya.
"Tapi bidadarinya hanya ada satu bos," celutuk pemuda lainnya dengan penampilan yang sama.
"Hehehehe ... mau satu atau tujuh toh Jaka Tarub cuma akan mempersunting salah satunya yang paling cantik seperti bidadari di depan kita ini," sambung si ketua geng disambut derai tawa teman-temannya.
"Berarti nanti bidadari satu ini kita bagi-bagi ya bos?" ujar pemuda yang lainnya lagi.
"Hmm ... kalian tunggu giliran terakhir saja hahahahaha."
Suara tawa membahana di tempat itu membuat Ayushita mulai merasa tidak nyaman. Segera Ayushita membereskan alat pancing dan peralatan lain yang dibawanya.
Saat akan beranjak pergi dari tempat itu, si ketua geng langsung menghadang jalannya.
"Hei ... hei ... mau kemana, Nona?"
"Aku mau pulang," jawab Ayushita datar.
"Wohooo, santai Nona. Urusan kita belum selesai." Si ketua geng mulai melangkah maju dengan seringai mesum membuat Ayushita harus mundur perlahan. Sementara anggota geng mengikuti di belakang sang ketua seraya terkekeh senang.
"Aku tidak punya urusan dengan kalian," jawab Ayushita dengan sikap waspada.
"Tentu saja ada. Nona belum membayar pajak tempat ini kepada kami," sahut ketua geng.
Ayushita mengernyit dan mulai paham maksud mereka.
"Pajak apa? Saya berada di area umum. Kalian tidak punya hak menarik pajak atau iuran apapun," elak si gadis dengan sengit.
"Ini daerah kekuasaan kami. Siapa pun yang berada di area ini wajib membayar pajak."
Ayushita membuang muka dan mencoba menenangkan debaran jantungnya. Tak dipungkiri dia merasa takut menghadapi gerombolan pemuda ini. Mereka terlihat garang dan tidak main-main.
"Jadi, mau bayar atau tidak?" Ketua geng tampak mulai tak sabar. Dengan kasar dia melempar rokok di tanah lalu menjejalkan kaki di atasnya.
"Saya tidak punya uang saat ini," jawab Ayushita berusaha tidak menunjukkan ekspresi takut.
"Oh, gitu ya. Baiklah ... "
"Ada apa ini? Mengapa kalian mengganggu warga lainnya?" Tiba-tiba Pak Jaja muncul menginterupsi tindakan geng pemuda itu. Beberapa orang ikut di belakang Pak Jaja.
Kelompok pemuda itu menoleh dan menepi. Wajah mereka tampak tidak senang akan kehadiran Pak Jaja dan warga lainnya.
"Pak Jaja tidak perlu ikut campur urusan kami," ketus si ketua geng.
"Jika menyangkut keselamatan warga maka saya tidak akan tinggal diam," kata Pak Jaja tak kalah tajam.
Si pemuda ketua geng mendengus kesal ke arah Pak Jaja lalu mengarahkan pandangan mengancam kepada Ayushita.
"Urusan kita belum selesai," tunjuk si ketua geng kemudian berlalu dari tempat itu diikuti oleh anak buahnya.
"Ibu Guru tidak apa-apa?" tanya Pak Jaja cemas.
Ayushita menggeleng seraya tersenyum.
"Mereka siapa, Pak?
"Itu pemuda preman di kampung ini. Yang berbicara itu adalah ketuanya. Namanya Joe. Mereka sering meresahkan warga dengan membuat keributan, pencurian, pemalakan dan mereka tak segan-segan melukai orang lain. Ibu Guru harus hati-hati. Kalau perlu menghindar saat bertemu mereka," ungkap Pak Jaja. Warga lain ikut mengamini ucapan Pak Jaja.
"Terima kasih bantuannya, Pak. Saya akan berhati-hati berikutnya. Terima kasih juga sudah meminjamkan ini," sambil menyerahkan tongkat pancing yang disambut oleh salah satu pekerja Pak Jaja.
Kemudian mereka berpisah kembali ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, Ayushita segera membersihkan diri untuk bersiap menunaikan shalat Magrib.
Kejadian sore itu dia ceritakan pada Firda saat mereka mengobrol di telepon. Firda berteriak histeris mendengarnya dan keluarlah rentetan pertanyaan yang mengkhawatirkan keadaan Ayushita.
Ayushita harus ekstra sabar menenangkan temannya itu. Ayushita tersenyum mendapatkan perhatian dari Firda dan juga mengingat pertolongan Pak Jaja. Dia merasa diterima dengan baik di kampung ini. Dengan penuh rasa syukur Ayushita berjanji akan berbuat yang terbaik dan akan menjadi pribadi yang bermanfaat untuk warga kampung Petak Hijau.
***
Beberapa hari setelah kejadian pemalakan itu Ayushita masih bersikap waspada seandainya dia bertemu dengan kelompok Joe lagi. Firda pun tak lepas menemani Ayushita kemana pun dia pergi. Meskipun Ayushita sudah menolak tapi Firda pantang ditolak. Apalagi saat gadis itu menceritakan kejadian yang menimpa Ayushita pada bapak dan ibunya. Kedua orang tua itu langsung menyuruh gadis itu menemani Ayushita.
Ayushita hanya bisa pasrah.
***
Malam mulai larut saat Ayushita dan Firda pulang dari acara pengajian di rumah salah satu warga. Ayushita tidak bisa menolak saat diundang dan Firda pun dengan senang hati menemaninya.
Dengan hati-hati Firda mengendarai motor matic-nya melintasi gang berkerikil dan berbatu menuju rumah tinggal Ayushita. Suasana gang agak lengang dan penerangan pun kurang. Hanya cahaya bulan yang kebetulan bersinar terang malam itu.
Saat tiba di ujung gang yang sepi tiba-tiba sekelompok orang melompat ke depan mereka dari balik pohon dan memblokade jalan. Dengan sigap Firda mengerem laju motornya hingga mereka berhenti beberapa meter di depan komplotan.
Ayushita turun dari boncengan motor sementara Firda tetap duduk di atas motor dengan tangan gemetaran. Jelas dia tahu siapa mereka.
"Siapa kalian?" tanya Ayushita lantang berusaha menyembunyikan rasa takutnya.
Terdengar tawa berderai lalu seorang pemuda maju menghampiri Ayushita. Cahaya bulan yang jatuh ke wajah pemuda itu membuat Ayushita mengenali siapa yang telah menghalangi jalan mereka.
"Begitu cepat Nona Bidadari melupakan kami," ucap si pemuda di depannya.
Sebenarnya Ayushita heran, meskipun si pemuda dijuluki kepala preman kampung tapi bahasa yang digunakan bukan bahasa kasar seperti 'elo-gue' atau bahasa mengumpat lainnya. Bahasanya terkesan agak puitis meski tak dipungkiri ekspresi bengis di wajahnya sudah cukup mewakili watak premannya.
"Nona ingat kan kalau urusan kita belum selesai gegara si Jaja itu."
Kali ini Ayushita waspada tingkat dewa. Komplotan di depannya mau balas dendam. Dan situasi kali ini tidak mendukung disebabkan suasana sepi dan temaram, tak ada warga yang lalu lalang. Firda pun mulai terisak di sampingnya.
"Ssttt, Fir jangan menangis dong. Kita harus tenang menghadapi mereka," bisik Ayushita.
"Bagaimana aku tenang yang kita hadapi ini komplotan Joe. Kita berdua perempuan. Kayanya malam ini kita bakal tamat deh," balas Firda disela isaknya.
"Salah satu dari kita harus lari mencari bantuan dan itu kamu karena posisimu saat ini sangat memungkinkan untuk melarikan diri," bisik Ayushita lagi.
"Caranya?"
"Kamu hidupkan motor dan langsung terobos mereka jangan menoleh dan cari bantuan. Aku akan berusaha mengulur waktu mereka selama mungkin."
"Tapi gimana kalau mereka ngapa-ngapain kamu?" cetus Firda cemas. Ayushita termenung sesaat.
"Dendam mereka sama aku. Aku akan mencoba negosiasi dengan mereka," jawab Ayushita.
"Astagfirullah. Jangan nekad, Sit."
"Bismillah tawakkaltu 'alallah. Setidaknya salah satu dari kita harus selamat," Ayushita meyakinkan Firda.
Dengan wajah takut Firda mengiyakan petunjuk Ayushita.
"Sudah selesai diskusinya?" Suara Joe menggelegar.
"Joe, dendam kamu sama aku kan? Aku mohon lepaskan temanku. Aku akan ikuti kesepakatanmu tentang pajak sungai itu," nego Ayushita.
Joe mendengus dan tertawa mengejek. "Dua bidadari akan lebih ramai."
Ayushita sadar tidak ada kata negosiasi bagi Joe. Dia memberi kode pada Firda untuk bersiap lalu berteriak kencang.
"Firda ... lariiiii ...!!!"
Seketika Firda menghidupkan motor dan menerobos kerumunan Joe dengan kecepatan tinggi. Komplotan Joe yang terkejut segera menghindari tabrakan dan dua dari mereka berusaha mengejar Firda.
Sementara Ayushita langsung berlari ke arah berlawanan ketika mereka lengah. Joe dan kawan-kawannya segera mengejarnya. Merasa tersusul oleh komplotan Joe, Ayushita langsung berhenti dan memasang kuda-kuda melawan.
"Wah ... wah ... ternyata sang bidadari belum menyerah juga." Joe menyeringai dengan pandangan mesum ke arah Ayushita. Mereka mencoba menyudutkan Ayushita di sebuah gang sempit.
"Kalau memang kalian laki, maju satu-satu dan jangan main keroyokan," hardik Ayushita dengan suara melengking. Dia berharap ada yang mendengar suaranya.
"Hohoho ... garang juga ni bidadari. Ayo, tangkap dia," Joe memberi kode untuk menangkap gadis itu.
Secara tiba-tiba salah satu pemuda di belakang Ayushita menangkap lengan gadis itu dan menguncinya di belakang tubuhnya.
"Lepaskan," pekik Ayushita.
Bersambung ...