Su Xiqin menempelkan ponsel di telinganya dan menjawab dengan suara lembut, "Ayah..."
"Xiqin, hari ini sudah baikan atau belum?" tanya Mo Jinghan dari seberang telepon.
"Sudah lebih baik."
"Apa kamu sekarang sedang tidak di rumah?"
"Saya hari ini sedang di rumah sakit."
"Oh, ternyata kamu sedang di rumah sakit. Apa yang terjadi denganmu?"
"Hanya mengganti obat. Apa Ayah mau datang?"
"Iya, hari ini Fu Ming datang untuk mengirimkan sup untukmu. Tapi, setelah dia memencet bel beberapa kali, tidak ada orang yang membukakan pintu. Jadi, kupikir sepertinya kamu sedang keluar."
"Ayah, ini terlalu merepotkan. Sampaikan ucapan terima kasih saya untuk Ibu," kata Su Xiqin. Sebenarnya, ia tidak mau terlalu kepikiran dengan hal-hal semacam ini.
"Apanya yang merepotkan? Aku yang telah membuatmu seperti itu."
"Ini hanya kecelakaan kecil, Ayah," kata Su Xiqin dengan lembut. "Ayah, sekarang saya mau menjemput Mo Jintian. Ayah dan Ibu pulang dulu saja."
"Kamu masih sakit. Suruh Mo Xigu menjemputnya. Kamu istirahat di rumah saja."
"Dia sedang sibuk, jadi saya yang akan menjemputnya," kata Su Xiqin sambil berjalan. Ia sudah sampai di depan lift.
"Baiklah, kami akan menitipkan sup ini ke satpam. Ketika kamu kembali, ambilah sup ini di satpam..."
"Baik. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya ke Ibu."
"Baiklah. Sampai jumpa."
Setelah menutup telepon, Su Xiqin masuk ke dalam lift dan turun ke lantai bawah. Begitu sampai di pintu rumah sakit, ia melihat beberapa taksi yang lewat. Namun, ia tidak melihat ada satupun taksi yang kosong. Kemudian, ada mobil yang tiba-tiba berhenti di depan Su Xiqin dan pelan-pelan menurunkan kaca gelapnya. Sosok yang familiar pun muncul di hadapannya.
"Sulit untuk mendapatkan taksi di sini. Naiklah dulu, lalu pergilah ke tempat di mana kamu bisa mendapatkan taksi," kata Bai Yanshen dengan suara pelan.
Su Xiqin melihat ke sekeliling lagi dan masih belum menemukan taksi yang kosong. Akhirnya, ia pun setuju untuk masuk ke mobil Bai Yanshen. "Maaf telah merepotkan Anda," kata Su Xiqin, lalu membuka pintu belakang mobil.
Bai Yanshen melirik Su Xiqin yang sedang duduk di belakang. Setelah memastikan orang yang di belakang benar-benar sudah duduk, ia pun menjalankan mobilnya. "Apakah kamu sering memanggil orang dengan sebutan anda?" Bai Yanshen bertanya dengan suara rendah. Namun, suaranya masih terdengar di mobil karena hanya ada mereka berdua.
Su Xiqin menegang. Matanya berkedip-kedip dan ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia pun mengangkat tangannya dan memegang dahinya sejenak. "Di hadapan orang yang lebih tua, saya memanggilnya seperti ini," ujarnya.
"Berarti aku sudah tua?" tanya Bai Yanshen yang membuat Su Xiqin terdiam.
Suasana di dalam mobil menjadi hening sejenak. Su Xiqin ingin cepat turun dari mobil, tapi sekarang sedang jam sibuk. Jika ia memutuskan untuk ganti taksi sekarang, tetap saja ia akan kesusahan mendapat taksi.
"Apa kamu akan menjemput anakmu?"
"Iya, Anda bisa turunkan saya di halte bus saja," jawab Su Xiqin sambil melihat ke arah jendela untuk melihat kondisi di luar.
"Sekarang masih susah untuk mendapatkan taksi. Aku akan mengantarkanmu ke sekolah," jawab Bai Yanshen.
Su Xiqin tidak bisa berbuat apa-apa dan ia juga tahu bahwa saat ini masih susah untuk mendapatkan taksi. Akhirnya, ia tetap berada di mobil Bai Yanshen dan mereka menuju ke sekolah Mo Jintian.
Saat sampai di sekolah, kepala sekolah Mo Jintian tiba-tiba berlari ke arah Su Xiqin dan memberitahu, "Ibu Jintian, tadi Mo Jintian tiba-tiba demam. Dia baru saja dibawa ke UKS. Saya baru saja ingin mengabari Anda, tapi Anda sudah datang."
Begitu Su Xiqin mendengar bahwa putranya demam, ia langsung panik. "Bagaimana dia bisa demam?" tanyanya.
"Akhir-akhir ini ada flu. Mungkin dia tertular. Cepat Anda pergi ke UKS."
"Baik."
"Ibu Jintian, kenapa Anda terluka?" tanya kepala sekolah yang saat itu berjalan bersama Su Xiqin.
"Tidak apa-apa, hanya kecelakaan kecil," jawab Su Xiqin sambil menutupi dahi dengan tangannya.
Su Xiqin pergi ke UKS dan menggendong Mo Jintian. Mo Jintian sangat berat sehingga Su Xiqin yang masih dalam keadaan sakit merasa kesulitan menggendong Mo Jintian. Namun, ia masih terus berjalan sambil menggendong putranya hingga berjalan keluar dari gerbang sekolah.
Bai Yanshen sedang menunggu dan duduk di mobil ketika ia melihat Su Xiqin yang sedang menggendong putranya dengan susah payah. Ia pun segera turun dari mobil dan bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Anak saya demam," jawab Su Xiqin sambil terengah-engah.
Mo Jintian tiba-tiba membuka matanya dan tatapannya jatuh ke sosok yang sudah dikenalnya. Ia berkata dengan suara yang begitu pelan, "Paman."
Bai Yanshen melirik Mo Jintian, sementara, Su Xiqin melirik jam tangannya sekilas dan langsung berkata, "Ayo kita pergi ke rumah sakit."
Mo Jintian tidak bisa menahan kegembiraan dalam hati ketika melihat Bai Yanshen muncul. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah paman itu. Ia berpikir, Hari ini Tuhan begitu baik karena paman Bai Yanshen muncul.
Mobil melaju dengan cepat seperti angin dan sampai di rumah sakit dalam dua puluh menit. Begitu tiba, mereka langsung turun dari mobil. Bai Yanshen mengambil Mo Jintian dari Su Xiqin dan berkata, "Tubuhmu baru saja membaik. Biar aku saja yang menggendongnya."
Su Xiqin langsung menyerahkan Mo Jintian kepada Bai Yanshen dan mengikutinya masuk ke rumah sakit. Kemudian, Bai Yanshen langsung membawa Mo Jintian ke ruang VIP anak. Orang-orang di sana sempat tertegun sejenak saat melihat penampilan Bai Yanshen. Semua dokter juga sedikit gemetar saat menerima Mo Jintian dari Bai Yanshen. Mereka menyingkirkan urusan pasien lainnya dan segera mendahulukan Mo Jintian.
Su Xiqin sedikit tidak terbiasa dengan perlakuan seperti ini karena setiap kali ia membawa Mo Jintian ke rumah sakit, ia harus mengikuti antrian terlebih dahulu. Ia pun berbisik kepada Bai Yanshen, "Kita mengantri dulu."
Bai Yanshen yang menggendong Mo Jintian di kursi langsung menoleh ke arah Su Xiqin dan menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
"Anak-anak yang lebih dulu datang pasti kondisinya lebih serius dibandingkan Mo Jintian. Kita tiba-tiba masuk, lalu menunda perawatan mereka. Setiap anak merupakan buah hati orang tuanya. Bisa saja orang tua mereka lebih cemas daripada kita," Su Xiqin menjelaskan dengan pelan.
Sebenarnya Su Xiqin ingin Mo Jintian didahulukan. Namun, ia juga harus bisa menempatkan diri dan hatinya. Meskipun Bai Yanshen tidak berbicara, ia bisa melihat tatapan Su Xiqin yang berbeda. Tatapan itu menunjukkan banyak hal sentimen yang tidak bisa dilihat Bai Yanshen. Sementara Bai Yanshen menatap Su Xiqin dengan tatapan yang sulit ditebak, dokter tiba-tiba datang menghampirinya dan berkata, "Tuan Bai, silakan duduk. Saya akan memeriksa keadaan anak ini dulu."
Tatapan mata Bai Yanshen jatuh pada Su Xiqin, ia lalu kembali menatap dokter dan berkata, "Dahulukan orang yang datang terlebih dahulu."
Perkataan yang keluar dari mulut Bai Yanshen benar-benar di luar dugaan Su Xiqin. Di balik wajahnya yang begitu tegas, ternyata Bai Yanshen memiliki sisi yang lembut di dalam hatinya. Su Xiqin yang sedang duduk di sebelah Bai Yanshen pun melayangkan tatapannya kepada Mo Jintian. Ia baru sadar bahwa sedari tadi Bai Yanshen terus menggendongkan Mo Jintian untuknya. Setelah berpikir sejenak, ia mengulurkan tangannya dan berkata, "Biar saya yang menggendongnya."
Bai Yanshen menoleh ke arah Su Xiqin dan menatapnya. Lalu, ia berkata, "Kamu bisa duduk tanpa ada rasa pusing, itu sudah bisa membantu."
Su Xiqin menarik kembali tangannya yang terulur dan merasa sedikit terhina. Ia pun mengerucutkan bibirnya, lalu berkata, "Apakah saya sebegitu rapuhnya?"
"Masih ada luka di dahimu."
Setelah Bai Yanshen mengatakan itu, tatapan Su Xiqin berubah menjadi canggung. Wajahnya cemberut dan bibirnya mengerucut seperti gadis kecil. Sementara itu, Bai Yanshen terus memandang Su Xiqin yang berada di dekatnya. Wajah kecilnya yang putih, bibirnya yang merah, dan bulu matanya yang lentik membuat Bai Yanshen menatap wanita itu dengan semakin dalam.