**** Kesendirian Langit
Suasana kampus yang ramai, tak membuat seorang Langit merasakan kehangatan, seperti ada awan gelap yang selalu membayangi dirinya, seperti kegelapan malam yang selalu ia lewati setiap saat, Semua sudah berubah.
Benar-benar ini sulit dipercaya, jika Langit yang kini dingin, cuek dan kasar dulunya pernah menjadi sosok yang hangat dan menyenangkan, dunia ini benar-benar berputar.
Siapa yang bisa mengira.
Bola mata nya yang dulu terlihat bersinar dan bercahaya sekarang gelap, tatapannya kosong tanpa arti, seakan mata itu terlalu lama tak memandang sisi kehidupan, mata itu hanya melihat kegelapan dan kesengsaraan.
Kekecewaan di dalam hatinya, mengubur sosok hangat di masa lalu.
Apakah ini akan selalu seperti ini?kapan akan berakhir, Langit terkadang bertanya pada hatinya, tak ada jawaban. Tak ada yang membuatnya bersemangat, kehancuran saja yang ia lihat.
Keterpurukan itu dimulai saat ayahnya bangkrut, keadaan keluargan yang harus hidup dalam keterpurukan ekonomi, ditambah lagi beban sosial, ejekan dari orang terdekat, kerabat, keluarga, orang yang dulu begitu manis pada keluarganya sekarang berpaling. Munafik!
Langit pikir kesengsaraan akan berakhir dengan kebersamaan, dia pernah melihat Bumi dalam kekurangan bersama adik adiknya, tapi mereka tampak ceria dan bersemangat.
Tidak Langit.
Tidak semua seperti itu, Bumi adalah pengecualian.
Dia tak pernah mendengar ucapan manis dan keharmonisan, perdebatan tanpa akhir, perkelahian, kekerasan. Bhhkan ayah dan ibu nya harus bercerai. Sementara ayahnya harus mendekam di jeruji besi.
Masih teringat jelas kejadian saat itu, penggeledahan di hotel, dimana ayah nya tertangkap tangan bersama barang bukti juga seorang wanita penggoda. Bullshit! Kau bahkan memiliki wanita lain di belakang kami!
Mata Langit terlihat berkaca-kaca, wajahnya memerah, kekesalan yang menggupal di atas kepala, membuat dia kesal dan emosi.
Dia mengayunkan kaki sekuat tenaga, menendang kaleng minuman bersoda di jalanan. Suara dari kaleng kosong itu tak membuatnya puas. Tangannya terkepal. Dia meninju tembok di sampingnya.
Dari kepalan tangannya dengan otot yang tertarik itu, tampak memar yang mengeluarkan guratan darah.
"Sialan, sialan!" Dia berdesis dengan nafasnya yang naik turun, suara terdengar berat, tercekat di tenggorokan. Perasaan di dada campur aduk, jika ia menangis, dia akan menjadi orang yang lemah. Dia bukan seorang banci.
"Banci!" Dia mengumpat sekali lagi, mengingat bagaimana ayahnya yang menangis di ujung kaki ibunya, memohon ampun, meminta maaf dengan berlinang air mata.
Dia menyembunyikan wajahnya yang merah padam penuh kekecewaan yang dalam.
Terengah-engah suara nafasnya tak beraturan, jantungnya berdetak kencang, juga badannya mulai berpeluh dingin.
Ia terus melampiaskan amarahnya pada tembok dihadapannya, meninju berkali kali, walau kulit tangannya kini sudah berubah warna, bercampur darah dan luka memar.
Sikap dingin itu adalah luapan kesendiriannya, luapan kekecewaannya yang ia sembunyikan, baginya mencoba bangkit adalah dengan cara kuat, kuat di kondisi sulit, ya, berpura pura kuat. Dia tidak akan percaya dengan dunia ini, semua seperti kaca di matanya, hanya bayangan dan mudah hancur!
Hembusan angin yang meniup baju Langit, membuat rambutnya melayang, semilir angin seperti memberikan sentuhan kelembutan pada seorang Langit yang malang,
Tangannya merogoh kocek celana dalam dalam,
"Sial!" Ujarnya kecewa saat mendapati kotak rokok di sakunya sudah kosong. Dia meremas dan melemparkan kotak rokok itu sembarangan.
Ia memilih duduk di bangku kayu panjang, dibalik bangunan besar dan mewah kampus ini. Dia tak percaya bisa menjadi bagian dari mahasiswa kampus ini. Meski begitu ada rasa bangga dalam hatinya.
Dia tak suka bersosialisasi, ia menjauhi keramaian, menyepi di kursi kosong di belakang kampus, tempat ini sunyi dan menenangkan baginya.
Langit meluruskan kakinya dan sekarang mencoba merebahkan badannya. Menikmati langit malam yang membuat matanya memandang lepas.
Dia menginginkan sebatang rokok saat ini.
Tenggorokannya mulai kesat, liurnya mulai getir, semangat hidupnya semakin merosot, stamina nya semakin ciut, candu tembakau membuatnya benar benar bodoh. Hanya rokok yang mampu mengembalikan semangatnya.
Candu tembakau semakin memberontak dan memaksanya untuk duduk sejenak lalu kembali bangkit, ia harus bergegas mencari rokok untuk dihisapnya sekarang ini.
Haruskah dia kembali ke keramaian mahasiswa baru? Itu terdengar menyebalkan di hatinya.
***
Tatapan Bumi kosong, ia hanya memandangi buku catatannya dan juga memainkan bolpoin hitam di tangan kirinya.
Rambutnya yang sudah terkibas angin dan sedikit berantakan tak sama sekali ia hiraukan,
Ia bertopang dagu dan tak bergeming
"Apa itu Langit? Langit yang sama, Langit yang selama ini aku kenal?" ia berbicara dengan hati kecilnya,
Ia menolak jika yang kemarin itu adalah Langit, dia harus memastikan sekali lagi.
"Ah, tidak tidak" gumam Bumi tak percaya, ia menggelengkan kepalanya ke arah kanan dan kiri dengan tangan yang memegangi kepalanya, ia berteriak beberapa kali. Dia tak percaya kalau itu adalah langit yang sama, langit yang ia kenal saat remaja dulu.
Tidak Bumi, pintanya untuk segera mengakhiri pikirannya, ia seakan tak bisa menguasai dirinya sendiri.
Langit adalah pria yang ramah dan baik hati, bahkan dia dan adik adiknya tak bisa melupakan kebaikan hati langit, hanya saja.. pria itu menghilang setelah semua orang dibuatnya kagum dan mencintainya.
"Dimana dia saat ini.." lirih Bumi dengan wajah nelangsa. "Aku harap dimanapun kau berada, kau tetap baik baik saja. Ah apa yang aku pikirkan sih! Tentu dia baik baik saja, Langit pasti sudah jadi pemuda hebat dan sukses!" Bumi berbicara pada diri sendiri.
Membuat rekan yang duduk di sebelahnya bingung.
"Kau kenapa sih?" Tanya Rolita heran.
Menyadari ada orang lain yang memperhatikan gerak geriknya bumi menoleh lalu menggelengkan kepala.
Dia tersenyum malu. Rolita menggelengkan kepala melihat tingkah absurd Bumi.
"Aku masih kesal dengan si tampan kemarin!" Ujar Rolita tiba tiba.
"Kenapa?" Tanya bumi heran.
Rolita meluruskan duduknya. "Aku harap malam ini dia akan bergabung di grup orientasi kita, dia sangat tampan dan menarik, tapi dia mengabaikanku. Sekarang aku tanya padamu? Memangnya wajahku tidak menarik?"
Mendengar pertanyaan Rolita, bumi menggeleng. Rolita itu cantik. Wajahnya imut, hidungnya mancung, bibirnya tipis dengan tahinlalat kecil.
"Apa aku terlihat menyebalkan?" Kali ini bumi menggeleng tak setuju.
"Terus kenapa dia mengabaikan ku!" Desis Rolita sangat kecewa.
Bumi tak bisa mengangguk atau menggeleng kali ini, dia tak punya jawaban pasti tentang ucapan Rolita barusan.
"Baiklah, kalau dia mengabaikanku, aku akan membuat dia menyesali sikapnya!" Tekad Rolita dengan bersemangat. Bumi hanya menautkan alis saja mendengar ucapan teman barunya yang terdengar kontras dari kekecewaannya beberapa detik yang lalu.
"Oke teman teman, acara orientasi malam kita akan segera di tutup!" Suara senior mengejutkan mahasiswa baru.
Mereka mencoba untuk tenang dan fokus pada senior kampus yang berdiri di depan sana.
"Akhirnya acara membosankan ini selesai juga!" Desis para mahasiswa baru dengan wajah lega.
"Sepertinya kita harus makan makan, mencari hiburan karena sudah resmi jadi mahasiswa kampus keren ini!!" Para mahasiswa mulai mengatur rencana.
"Gadis gadis.. kalian harus ikut ya!!" Sekarang giliran Romi yang menoleh ke arah Rolita dan Bumi, juga beberapa mahasiswi baru lainnya.
Bumi tampak ragu ragu, berbeda dengan Rolita yang bersemangat.
Ini sudah pukul sembilan malam.
Seseorang bergabung di barisan paling belakang dengan kedua tangan tersimpan di saku Hoodie hitam yang ia kenakan.
Romi menautkan alisnya.
"Tunggu!" Dia mengangkat kepala. "Kau.. langit?" Tanya Romi dengan suara terkejut.
Sontak Bumi dan Rolita ikut menoleh. Mereka mendapati pria di belakang mereka itu hanya diam saja. Tak menjawab pertanyaan Romi, dia malah memakai hodienya. Menutupi kepala dan wajahnya.
"Langit?" Tanya Romi sekali lagi, dia segera melompat menghampiri Langit yang tampak hendak menghindar.
Deg!
Dada bumi bergetar hebat.
Dia Langit! Desisnya tak percaya di dalam hati.