Justin tidak berniat melucu, tapi ia jelas merasa sangat konyol saat ikut bergabung dalam acara makan yang diadakan oleh Rajanya semalam.
Sudah jelas sekali bahwa aura yang ada disekitar Louis dan Andrew adalah permusuhan, sejak pertama mereka duduk berhadapan aura itu bahkan sudah seperti api yang dibakar. Sejauh yang ia ingat, hanya ada percakapan sepihak antara Richard dan Andrew, percakapan ramah tamah Gwen guna mengimbangi keadaan dan tentu saja, kalimat irit dari Louis yang hanya keluar karena sopan santun. Justin lebih memilih cari aman dengan diam, apalagi ia sudah mendapat ultimatum untuk menjaga sikap. Guna menghindari kecurigaan dan asumsi yang ia yakin akan berkembang jika ia salah perbuatan.
"Sudah aku duga Chevailer memang tidak pernah aman."
Ucapan yang dibarengi dengan suara pintu mobil terbuka dan beban tambahan di sisi kursi belakang mobil itu membuat Justin menoleh. Ia memandang sosok yang kini tengah mengambil tempat nyaman di sisinya dan menelengkan kepala, mengamati dengan alis bertaut.
"Saya kira Anda tidak ingin datang,?"
"Aku menikmati pembicaraan denganmu Justin, lagipula aku tertarik dengan apa yang kau temukan di Istana belakangan ini."
"Oh," Justin melengos seraya memandang keluar jendela. "Yang Mulia menemukan surat milik ibunya yang dikirim pada Ayah saya."
"Sepupuku yang malang," Andrew mendecak. "Hatinya pasti terluka, dia mencurigaimu?"
"Sedikit," Justin mengiyakan. "Tapi ia lebih curiga pada pasukan khusus."
"Kupikir mereka sudah bubar?" Andrew mendegus. "Atau Charles sedang berusaha mengaktifkan mereka kembali?"
"Mengaktifkan kembali tidak akan jadi hal sulit, beberapa tahun ini Sekolah Tinggi Intelejen kesulitan menyalurkan lulusannya. Relasi mereka terbatas, jadi bakat terbaik mereka akan berakhir di Cabang Investigasi Khusus atau Polisi Militer Kerajaan saja. Jika Pasukan Khusus diaktifkan kembali, maka para intelejen itu akan berjaya kembali."
"Senang mendengarnya," sepupu Raja itu mendengus lagi. "Louis pasti akan ada di garis terdepan untuk mendaftar."
"Saya pikir juga begitu, beberapa informan menyampaikan kecurigaan bahwa Sir Louis sedang mencoba memata-matai saya. Dia memang tidak terlalu menyukai saya sejujurnya."
"Dia memang tidak menyukai siapa pun selain dirinya," Andrew mendecih. "Dia hanya hidup sebagai anjing Richard selama ini dan karena sekarang sepertinya ia digeser ia mungkin tidak terima."
"Soal itu, apa anda punya sesuatu untuk disampaikan kepada saya Sir?"
"Ah," Andrew tersenyum kecil dan bersandar ke punggung kursi. "Aku dengar sesuatu yang menarik soal mendiang Ratu," sepupu Raja itu melirik pada Justin. "Apa kau sudah dengar, jika dia mungkin masih hidup?"
...
Richard masuk dan mengunci pintu setelah memastikan tidak ada seorang pun yang melihatnya.
Pria muda itu berbalik perlahan dan menghela nafas saat merasakan bau sedikit debu dari kamar ibunya yang sudah tidak pernah dibuka selama lebih dari sepuluh tahun. Setelah ia naik tahta, kamar ini memang tidak pernah lagi dibuka. Secara keseluruhan—sebenarnya—bagian sayap tenggara istana memang tidak pernah lagi dipakai atau dijamah.
Dahulu pada masa ayahnya berkuasa, sayap tenggara berisi kamar milik orang tuanya. Sebuah kamar khusus milik ibunya yang terhubung ke perpustakaan pribadi dan tentu saja ruangan piano yang dulu secara ajaib mampu ditemukan oleh Redd. Sayangnya sudah bertahun-tahun sayap tenggara ditinggalkan, tempat ini hanya dibersihkan saat hari peringatan kematian ayah dan ibunya saja. Itupun dengan pelayan khusus dan terbatas, karena ia tidak ingin siapa pun membuka tempat ini lagi. Tidak seorang pun, lalu konyolnya sekarang ia malah datang kesini.
Untuk sebuah alasan penting, tentu saja.
Raja Muda itu berjalan dan meraba tembok mencari tombol lampu, menemukan satu dan berhasil menyalakan lampu di pojok ruangan yang bersinar keemasan. Mata hitam Richard mulai meyapu tempat pribadi ibunya, menemukan fakta bahwa kondisi ruangan itu benar-benar tidak berubah sama sekali.
Jendela-jendela raksasa di timur ruangan tertutup oleh kelambu tebal kemerahan, sebuah meja kerja ada di utara ruangan, lengkap denga lemari kaca dan rak berisi buku. Di selatan ruangan ada jajaran rak raksasa yang penuh berisi literasi milik ibunya, ditemani sebuah karpet prussia putih yang lembut dan tebal oleh debu serta sebuah sofa yang menghadap tepat ke tungku api. Di tengah ruangan ada sofa dan meja kaca, juga sebuah buffet kecil dengan bunga plastik dalam pot.
Tidak ada ranjang, karena ia hapal mati bahwa ruangan ini adalah tempat bagi ibunya untuk berdiam diri dalam dunia wanita itu. Menjauh dari hingar-bingar istana dan segala kerusuhan seorang ibu negara.
Sebenarnya ada alasan sangat khusus, mengapa Raja Muda itu mau sembunyi-sembunyi masuk ke kamar ini. Tentu saja, jelas karena ia penasaran. Sejak penemuan map di pondok itu, entah mengapa ia merasa penasaran dengan hal-hal yang mungkin disembunyikan ayah dan ibunya darinya. Hal-hal yang tak pernah ia ketahui dan mungkin menyimpan sesuatu yang masih berhubungan dengan masa kini. Setelah pemahaman itu muncul, Richard hanya merasa bahwa selama ini ia seolah hidup untuk sesuatu yang telah direncanakan. Bahwa tahta dan pemerintahannya, telah ditentukan dalam sebuah garis. Bahwa ada sesuatu dibalik kotak yang disimpan darinya dan disembunyikan, untuk suatu hal yang tidak ia ketahui.
Raja Muda itu melangkah lebih jauh ke arah meja kerja, mengamati pelitur coklatnya yang dihias ukiran burung dara dan debu yang menumpuk di permukaan. Terbatuk dalam usahanya membersihkan meja itu, Richard membungkuk dan mulai memindai laci-laci di bagian bawah meja. Tangannya membuka salah satu laci yang ternyata terkunci, berganti ke lainnya yang memiliki keadaan yang sama. Mendecak keras, Raja Muda itu kemudian menoleh ke kanan kiri, mencoba mencari dimana kiranya kunci itu disimpan. Ketika sesuatu yang diletakkan berjajar di lemari kaca menarik perhatiannya.
Richard mendekat, membuka pintu kaca yang untungnya tidak dikunci dan merasa ingin tertawa saat menyadari bahwa lemari itu penuh dengan piagam penghargaannya saat ia masih disekolah dan foto kelulusannya dari sekolah dasar hingga menengah pertama.
"Dia benar-benar menyimpan ini," Richard mendengus. Membaca lagi beberapa piagam yang ia menangkan dari lomba cerdas cermat dan olahraga. Ada foto juga, yang merupakan kumpulan cetakan kertas masa kecilnya dan James. "Aku pikir dia pasti menyimpan benda lain disini," Richard mengguman seraya menaruh piagam di meja.
Dengan cekatan ia mengeluarkan seluruh isi lemari, menatanya di meja dan merasakan ledakan semangat. Saat dibalik pigura besar yang merupakan foto James, ada sebuah kotak kecil yang diikat oleh pita. Meraih kotak itu dengan tergesa, Richard nyaris bersorak, karena menemukan segepok kunci yang dijadikan satu. Mengabaikan kerusuhan yang ia ciptakan di atas meja, Richard membungkuk lagi dan mulai memasukkan kunci ke dalam salah satu laci.
Tersenyum menang saat kunci itu berputar dengan sempurna dan menyentak cekatan pintu laci.
Selama beberapa waktu pria itu tenggelam dalam temuan-temuannya. Beberapa dokumen tentang cagar alam, flora fauna di hutan Chevailer, acara amal, pendidikan dan beberapa dokumen penting mengenai permasalah anak dan wanita. Raja Itu sudah nyaris menyerah dan mencoba berpaling untuk mencari yang lain, saat salah satu isi laci menarik perhatiannya secara utuh.
"Hans Curry," Raja itu mengguman seraya membuka sebuah amplop coklat yang berisi surat pendek. Kali ini dikirim kepada ibunya.
Mereka menemukan putri Samuel, mereka membawanya ke Kastil Bevait.
"Kastil Bevait?" Richard terhenyak. "Tunggu dulu, Kastil ..." dengan tergesa Raja Muda itu membongkar benda lain dalam laci dan menemuka setumpuk surat yang diikat dengan karet gelang, menaruhnya di pangkuan tangan panjangnya mencoba mencari yang lain. Mengejutkan dirinya, ia malah mendapati sebuah buku album.
Richard membuka sampulnya yang telah menempel karena lama tidak terbuka, mencium bau apak plastik dan kertas juga suara rekatan plastik yang dibuka paksa. "Siapa?" Raja itu mengerutkan kening.
Album itu diawali dengan foto ibunya semasa muda bersama dua orang wanita dan seorang pria, matanya memindai dan hanya mengenali sang pria bersurai pirang yang ia hapal mati merupakan selingkuhan ibunya. Sementara dua wanita lain ia merasa asing, satu yang berada di sisi kiri ibunya memiliki surai gelap, badannya tinggi dan kulitnya keemasan. Sementara yang berada di antara ibunya dan si lelaki adalah seorang perempuan dengan surai merah, bertubuh mungil dan memiliki sepasang lesung pipit. Tidak ada tanggal, hanya ada catatan di sisi foto yang menuliskan bahwa foto itu diambil di depan Cloverian HighSchool—sekolah menengah atas ibunya—membuka lembaran lain, ada foto ibunya dengan dua wanita tadi di sebuah kafe. Juga foto sebuah pernikahan yang mengejutkan Richard, karena pengantin yang berdiri di di tengah adalah selingkuhan ibunya dan wanita berambut kemerahan. Foto lainnya hanya berisi foto ayah dan ibunya, foto milik ia dan James. Serta beberapa foto ayahnya bersama Charles muda.
Bagian belakanglah yang menarik atensi Richard, ada sebuah foto yang ia tahu diambil di taman belakang istana. Berisi foto ibunya dengan wanita bersurai gelap dan dua orang anak perempuan. Anak yang paling besar memakai setelan rok ungu, dengan rambut diurai dan senyum ceria—yang agak familiar—sementara anak lainnya digendong di lengan ibunya dalam selimut bergambar bebek. Foto disisinya juga lebih menarik, karena dalam foto itu bukan hanya ayah dan ibunya yang ada. Tapi juga wanita bersurai merah, selingkuhan ibunya, si wanita berambut gelap dan seorang pria lain yang memakai tindik di telinga.
Richard menelengkan kepala, meresapi pemahaman baru yang masuk ."Mereka semua saling kenal," ia termenung, "Ayah mengenal selingkuhan ibu?"
Pria itu mendecak keras, saat foto di album itu telah berakhir. Masih dikukung oleh penasaran, ia berlanjut membuka surat dalam ikatan dan menyadari bahwa semua surat itu berasal dari pengirim yang berbeda. Raja itu kemudian membuka satu surat yang memiliki gambar bunga di ujungnya, meratakannya dan mulai fokus membaca.
Dear Luna
Anak pertama kami lahir di Italia, sebuah kejutan menarik bahwa gadis kecil ini memilih opsi cerdas untuk dilahirkan di tempat asal ayahnya. Keluarga besar Samuel senang sekali karena aku melahirkan di sini, itulah sebabnya aku mungkin akan pulang terlambat. Samuel akan berangkat ke Chevailer lebih dulu, ada beberapa urusan yang membuat masa cutinya berkurang.
Dia terus mengeluh bahwa ia ingin memberikan posisi kepala pasukan pada yang lain hanya agar ia bisa bertahan lebih lama lagi bersama kami. Sangat menyenangkan bahwa jarak usianya hanya beda setahun dengan James, mereka bisa jadi teman baik ya kan? Aku sudah mencoba mengirim surel pada Maria dan Hans, Maria membalasnya dengan jengkel sepertinya karena Hans tidak kunjung menikahinya, ia ingin cepat punya anak juga.
Aku belum memberi nama, kami sudah sepakat akan menamainya begitu kami di Chevailer. Maria masih bersikukuh bahwa nama anak ini harus diambil dari nama Dewi Yunani, hanya karena ia sedang gemar sekali dengan buku novel lama. Tapi Samuel menolak mentah-mentah soal itu, dia bilang semua ide Maria pasti hal tidak waras. Karna itu sekarang ia hanya dipanggil sebagai ma'cherie, karena neneknya bilang ia akan jadi kesayangan semua orang.
Titip salamku pada Heinry dan Richard kecil, aku akan membawakan mereka sesuatu saat kembali.
Love, Eliana
"Eliana?" Richard mengguman seraya meraih surat lain yang dikirim oleh orang lain dari surat, yaitu Maria. Berisi paragraf singkat yang mengatakan bahwa ia tengah hamil dan akan mengadakan sebuah pesta kecil untuk merayakannya. Raja Muda itu sudah akan membuka surat lain, kala ponselnya berdering keras.
Dengan heran ia meraih benda itu dari saku dan melihat id callernya yang kosong, tanpa nama. Kening Richard bekerut, tapi ia tetap menggeser ikon hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.
"Halo?"
Hening.
Richard menjauhkan ponsel, melihat bahwa layarnya masih menyala dalam panggilan. "Halo? Siapa ini?"
"...."
"Jika kau tidak mau bicara, aku matikan poselnya. Aku sedang sibuk."
Masing hening.
"Halo?" Raja itu keheranan. "Apa kau salah sambung? Halo?" Raja itu mendecak kala tidak menemukan sautan dari seberang, dengan jengkel ia kemudian mematikan panggilan.
Mata kelabunya memandang kekacauan yang ia buat dan meraih sebuah amplop kosong sebelum memasukkan seluruh surat dan album foto kedalam. Dengan cepat ia bangkit berdiri, menghela nafas dan menghubungi seseorang yang ia perlukan dalam situasi seperti ini.
"Justin, keruanganku sekarang."
....