Bandara 08.45
Pesawat akan lepas landas dalam 15 menit lagi.
Genggaman tangan yang erat mampu membuatku merasa hangat. Hal itu menenangkan perasaan dan fikiranku yang sedikit benci dengan masa-masa lepas landas.
"Gwenchana." Ucapnya dengan lembut dan tersenyum manis di sampingku.
Aku menatapnya dan menganggukkan kepala. "Nee. Aku hanya tak suka bagian ini." Ucapku.
"Mau dengar lelucon?" Ia menawarkan.
Aku menatapnya yang bermimik wajah meminta persetujuan. Kemudian aku mengangguk kecil satu kali.
"Pakailah." Ia menyodorkan satu bagian headset yang dikenakannya.
Bukankah Ia menawariku lelucon? Lalu mengapa Ia menyuruhku mendengarkan sesuatu dibalik headset itu? Dasar. Tak ada usaha.
Aku hanya menurutinya mengenakan satu bagian headset yang bagian lainnya bersemayam di telinga kirinya. Ia pun mulai menyalakan lagu-
Tidak.
Ini adalah sebuah rekaman suara parau orang yang tak bisa menyanyi. Atau orang yang bisa menyanyi tapi salah nada. Aku tak tahu. Aku hanya ingin tertawa saat ia menyanyikan bagian nada tingginya. Telingaku merasa sakit karena pekikan dari rekaman itu. Aku tak bisa menahan gelak tawaku.
"Ya! Siapa yang menyanyikan lagu ini? Bodoh sekali dia." Ucapku terbahak.
"Woahhh... Pujianmu tepat sasaran, Nona. Itu sakit sekali." Ucapnya tak terima. Apakah dia yang menyanyikan lagu ini?
"Apakah kau?" Tanyaku memastikan. Ia hanya terdiam dan memalingkan pandangannya.
Aku semakin tak bisa menahan gelak tawaku. Dia menyanyikan lagu "Homme - I Was Able to Eat Well".
"Yang mana suaramu? Tidak mungkin yang lumayan itu kan?" Tanyaku. Sebab ku dengar ada dua suara yang berbeda pada rekaman itu.
"Aku menyanyikan bagian awalnya. Selanjutnya, Yoongi hyung dan aku bergantian." Ucapnya.
"Kau pasti berbohong." Ucapku dengan cengiran merendahkannya.
"Kau tak percaya?" Tanyanya.
"Eo!" Jawabku sedikit menaikkan dagu.
"Aish.." Ia tak protes.
Keadaan hening sejenak. Aku menunggu protesnya.
"Ya! Mengapa kau tidak protes?" Tanyaku.
"Untuk apa? Kau hanya tidak mempercayai suaraku." Ucapnya.
"Yang terpenting itu, kau mempercayai bahwa aku mencintaimu." Ucapnya lagi menatapku.
Aku merasa gerah.
Entahlah.
Apa karena pipi ku memerah?
Tidak.
Jangan sekarang.
Aku malu sekali jika dia tahu aku tersipu.
"Ya! Ada sesuatu di pipimu."
Aku pun sibuk mengusap seluruh bagian pipiku untuk membersihkan sesuatu yang dia maksud tadi.
"Eodi?" (Dimana?)
"Sini." Sakit tapi tak berdarah. Ia mencubit kedua pipiku dengan gemas.
"Ya! Hentikan! Ini sakit!" Ucapku memukuli pergelangan tangannya.
"Habisnya, kau menggemaskan." Ucapnya tertawa dan melepas cubitannya pada pipiku. Namun masih setia menatapku.
Aku mengelus pipiku untuk meredakan sakit dari ulah tangan jailnya itu.
Tak lama aku melirik ke arahnya.
Pandangan kami bertemu cukup lama.
Dan aku baru sadar.
Dia sedikit tampan dari sini.
Ia tersenyum teduh. Menatapku. Mengulurkan tangannya lagi. Menggenggam tanganku yang masih setia di pipi. Mengusapnya lembut.
"Apa masih sakit?" Tanyanya lembut.
Aku hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandanganku dari sorot matanya itu.
"Biar ku redakan sakitnya." Ucapnya mengalihkan tanganku dari pipi ku.
Satu kecupan mendarat di pipi kiri ku.
Aku terkejut dan hanya bisa membelalak.
Satu kecupan lagi mendarat di pipi kanan ku.
Lembut. Hangat. Tulus.
Tangannya yang tadi menggenggam kedua tangan ku, kini menangkup pipiku dan menengadahkannya untuk menatap wajahnya lurus.
Ia mulai mendekatkan wajahnya lagi yang beberapa detik lalu berjarak lima belas centi di depanku.
Kecupan hangat mendarat pada kulit bibirku. Terdiam beberapa saat hingga aku merasa lebih hangat.
Entah sejak kapan mataku terkatup.
Ia mulai melumat bibirku dengan lembut.
Aku masih terdiam. Tanpa penolakan dan jawaban.
Ia tak memaksa. Tidak memberikan satu gigitan kecil sekalipun untuk memaksaku agar membalas lumatannya. Ia bahkan masih lembut. Membuatku nyaman.
Lumatan itu berhenti dan sentuhan yang ku rasakan di bibirku mulai menghilang.
Aku membuka mataku dan menatapnya yang masih berjarak dekat dengan wajahku.
Apakah ia baik-baik saja karena aku belum menerimanya?
Tidak.
Aku tidak terima ini. Dan lagi, rasa nyaman mulai muncul di hatiku.
Ku lingkarkan tanganku di lehernya. Menariknya sedikit mendekat. Masih menatapnya yang mungkin sedikit terkejut dengan tingkahku. Tatapannya meminta persetujuan.
Ia pun mengecup bibirku kembali. Melumatnya lagi dengan lembut. Bedanya, kali ini aku membalasnya.
Kegiatan kami terhenti meski nafas kami masih tersisa untuk melanjutkannya.
Kami berhenti karena suara pramugari mengejutkan kami.
Pesawat akan mendarat beberapa saat lagi.
Aku terkejut mendengarnya. Sebab ku fikir pesawat ini belum lepas landas.
Hoseok menatapku dengan tangannya yang masih menangkup pipiku.
Aku pun menatapnya.
Kami hanya tertawa menyadari hal ini.
Sungguh, ini menyenangkan. Berada di sampingnya dan aku merasa nyaman. Untuk pertama kalinya.
~
Kami sudah sampai di pulau Jeju.
Ya. Tiket yang ia berikan dalam kotak itu adalah tiket pesawat menuju kemari.
Apa kau penasaran apa yang terjadi setelah aku mengunjungi kantor Hoseok waktu itu?
Aku pun penasaran sebab aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi dari siang hingga malam hari.
Ku rasa, kami hanya sibuk dengan barang-barang bawaan yang kami bawa hari ini.
Belum terjadi apa-apa di rumah. Entahlah saat kami di sini nanti. Silahkan kalian berharap. Karena aku juga ingin mengharapkan hal lain yang lebih manis dari ciuman tadi.
Hoseok kini sedang mandi. Aku yang lebih dulu mandi sebelumnya. Sebab tak tahan dengan hawa panas di tubuhku. Gerah.
Kini aku tengah menata barang bawaan kami. Kami akan disini dalam tiga hari kedepan. Sebab, pada hari selanjutnya aku dan Hoseok harus kembali disibukkan dengan pekerjaan kami. Ya. Waktu cuti pernikahan kami sudah habis.
Hoseok keluar dari kamar mandi. Sudah rapi mengenakan kaos putih dan celana jeans hitam. Rambutnya masih basah. Ia keluar sambil sesekali mengacak rambutnya dengan handuk agar cepat kering.
"Kemarilah." Ucapku yang kini duduk di ujung kasur.
Ia berjalan ke arahku.
"Biar ku bantu keringkan rambutmu." Tawarku.
Ia tersenyum gembira. Entahlah. Tiba-tiba saja tingkahnya seperti anak kecil. Ia melompat-lompat sedikit kemudian duduk bersila membelakangi ku.
Ia mendekatkan jarak badannya dengan kaki ku. Hingga punggungnya menempel tepat di lututku.
Aku pun mengusap rambutnya dengan handuk. Melakukannya sedikit lembut tapi pasti. Setelah sedikit kering, aku berhenti. Mengambil sisir yang Ia sodorkan padaku. Entahlah, sejak kapan Ia menyiapkannya. Ia juga memberikan satu kapsul vitamin rambut. Sepertinya dia sudah menyiapkannya saat mandi tadi.
Rambutnya lembut. Wangi. Aroma tubuhnya sangat cocok dengan aroma vitamin rambut yang kini ku usapkan merata pada rambutnya. Entahlah. Dia selalu sewangi ini setiap hari.
"Apa kau masih lelah?" Tanyanya.
"Tidak. Aku sudah cukup beristirahat." Jawabku yang masih menyisir rambutnya sebagai permainan baruku. Aku membuat rambutnya berdiri. Gemas ingin mengikatnya di atas puncak kepalanya itu.
"Mari kita pergi ke suatu tempat. Bersiaplah. Tapi sebelumnya, kita makan dulu." Ucapnya yang kini tengah berdiri dan berjalan ke arah cermin. "Aku tak pernah berfikir rambut terikat seperti ini mampu membuat ketampanan ku semakin bertambah." Ucapnya dengan jemari memainkan rambut yang tanpa sadar sudah ku ikat. Ia tertawa melihatku dari cermin.
Aku hanya tersenyum.
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Bagaimana chapter kali ini guys?
Masih belum ada apa-apa kok🤫 gatau kalo di chapter selanjutnya, tunggu aja🤭🤣
Btw, terimakasih sudah berkunjung dan menyematkan vote.
Makasih juga yang sudah berkomentar. Mendapatkan komentar adalah hiburan tersendiri bagiku bisa ngobrol sama kalian😁
Buat readers baru, jangan sungkan untuk berkomentar ya. Kritik dan saran sangat diterima. Karena Author ingin belajar memperbaiki tulisan Author juga.
Masih dengan kata yang sama, jaga kesehatan kalian ya guys. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin😊
Salam. Author yang belum mandi🤭
— Bab baru akan segera rilis — Tulis ulasan