Dengan alasan sakit kepala, Emma buru-buru permisi ke kamarnya meninggalkan Haoran di lift. Pemuda itu hanya bisa mengangguk mengiyakan.
"Selamat tidur, Stardust," katanya sambil melambaikan tangan. Emma hanya menoleh sekali dan mengangguk. Ia kemudian masuk ke kamarnya. Begitu pintu kamar ditutup di belakangnya, Emma segera menarik nafas panjang.
Akhirnya ia sendirian. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Matahari baru terbenam dan malam perlahan mulai tiba bersama kegelapan. Emma berdiri di balkon kamarnya dan menunggu hingga suasana benar-benar menjadi gelap. Ia akan menggunakan kekuatan untuk terbang seperti malam sebelumnya saat ia terbangun di menara Eiffel.
Ia berharap saat ia terbang, bayangan kenangan tentang orang tuanya akan kembali datang. Ia sangat merindukan mereka. Ketika membayangkan wajah orang tuanya, tiba-tiba Emma teringat bahwa di ponselnya ada foto sketsa hitam putih berisi wajah ayah dan ibunya yang tadi digambar oleh Pak Neville.
Emma mengeluarkan ponselnya dari tas dan menatap gambar itu dengan sepasang mata yang dipenuhi kerinduan mendalam.
"Kalian di mana, Ayah.. Ibu..?" bisiknya. Perlahan-lahan beberapa tetes air mata perlahan membasahi layar ponselnya sehingga membuat gambar itu menjadi buram. Buru-buru Emma menghapus air matanya dan mengusap layar ponselnya dengan kain gaunnya.
Ia baru menyadari bahwa pakaian yang ia kenakan masih berupa gaun musim panas yang anggun. Tentu tidak praktis baginya mengenakan pakaian itu untuk mencoba kekuatannya terbang. Karena itu, Emma kemudian membuka kopernya dan mengeluarkan celana pendek dan kemeja putih serta sepatu kets.
Setelah berganti pakaian, ia kembali berjalan ke balkon dan melihat bahwa suasana di luar sudah menjadi gelap sepenuhnya. Hanya ada lampu-lampu yang menghiasi berbagai bangunan di sekitar hotelnya. Kalau ia terbang dengan cepat, tidak akan ada orang yang sempat melihatnya. Ia mengamati jalanan di bawah balkon kamarnya, lalu ke arah kiri dan kanan untuk memastikan bahwa tidak ada orang di balkon sebelah kamarnya.
Setelah memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa yang akan menyaksikannya, Emma segera memejamkan mata dan secara alami pikirannya memerintahkan dirinya untuk melayang.
Tidak lama kemudian tubuhnya telah melesat ke angkasa dan bergerak dengan cepat ke arah Menara Eiffel. Menurutnya ini adalah salah satu tempat yang paling aman untuk didatangi karena ketinggiannya.
Namun, dalam perjalanan ke Menara Eiffel, pandangan matanya tiba-tiba tertumbuk pada puncak gereja Notre Dame yang terlihat begitu indah. Suasananya yang demikian gelap membuat Emma berubah pikiran.
Atap Notre Dame juga bisa menjadi pilihan bagus, pikirnya, karena pada jam-jam seperti ini tempat itu sangat sepi dan tidak ada orang yang akan memperhatikan kehadirannya. Emma akhirnya memutuskan mendarat di atap gereja Notre Dame dan mencoba kekuatannya di sana.
Dengan gerakan ringan bagaikan kupu-kupu, ia pun mendarat di puncak bubungan atap gereja itu. Emma terkesan dengan kemampuannya sendiri. Ia tidak mengira ia akan begitu mudah mengendalikan kemampuannya terbang.
Suasana sangat gelap dan tidak ada seorang pun yang memperhatikan bagian atap gereja. Gadis itu duduk di atas atap dengan sepasang kaki bersila dan mengamati sekelilingnya.
Ahh.. Ibu, Ayah... kalian juga bisa terbang sepertiku? Apakah aku memperoleh semua kemampuan ini dari kalian? bisik Emma seolah kedua orang tuanya ada di dekatnya.
Tiba-tiba bayangan kenangan kembali melintas di benaknya. Emma benar saat mengira bayangan demi bayangan tentang orang tuanya akan kembali jika ia menggunakan kekuatannya.
Ia melihat Arreya Stardust memegang erat-erat tangan suaminya dengan air mata bercucuran. Wanita cantik yang selalu memiliki sepasang mata bersinar-sinar bahagia itu kini tampak sangat sedih. Kaoshin berusaha menenangkannya dengan meremas tangannya dengan lembut. Tetapi suaranya yang serak dan bergetar tidak dapat menyembunyikan perasaan patah hati yang dialami pria itu.
"Ini yang terbaik, Putri Arreya. Kalau kau tidak menghapus ingatannya, Emma tidak akan bisa hidup normal seperti anak biasa. Ia tidak boleh mengetahui siapa dirinya. Ia akan sangat sedih... Kita melakukan ini untuk kebaikannya," bujuk lelaki itu kepada istrinya, sambil berusaha keras menahan air matanya sendiri.
"Mungkin mereka akan mengampuni Emma..." Arreya menatap mata suaminya dengan pandangan memohon. "Aku akan meminta ampun bagi Emma dan mengorbankan nyawaku..."
"Putra Mahkota tidak akan mengampuni Emma... kau tahu itu, Tuan Putri." Kaoshin menarik Arreya ke dadanya dan untuk pertama kalinya meneteskan air mata yang sudah lama ia tahan. "Aku akan menanggung semua kesalahan ini. Tetapi kau tidak boleh mengorbankan nyawa untuk Emma. Mereka tidak akan mengampuninya."
"Tidak bisakah kita kembali ke bulan dan menggunakan kapsul kita untuk melarikan diri ke tempat lain? Kita bisa pergi jauh dari sini..." Arreya melepaskan diri dari pelukan suaminya dan menatap pria itu lekat-lekat. Wajahnya tampak shock ketika mendapati air mata perlahan telah mengaliri pipi lelaki itu. "Kaoshin... Kau.. menangis?"
"Ini semua kesalahanku," kata lelaki itu dengan suara serak. "Seharusnya aku tidak membujukmu untuk melarikan diri di malam sebelum pernikahanmu dengan Pangeran Putra Mahkota."
Arreya menggeleng-geleng. "Tidak... jangan kau mengambil semua kesalahan ke pundakmu. AKULAH yang menyihir semua orang dengan pengontrol pikiran sehingga semua orang tidur pulas dan kita bisa kabur. Aku mengerahkan segenap tenagaku hingga aku cedera dan kehilangan ingatanku untuk waktu yang lama... Bukan kau yang bersalah. Aku yang memintamu membawaku pergi, Jendral Kaoshin Stardust..."
"Kumohon, Tuan Putri, hanya kau yang bisa mengunci ingatan Emma dan membuatnya melupakan kita. Mereka tidak boleh tahu tentang keberadaannya."
Kaoshin melepaskan istrinya lalu bersimpuh di depan Emma Kecil yang tampak kebingungan.
"Ayahh..." anak perempuan kecil itu merengek dan berusaha memeluk leher ayahnya. "Jangan tinggalkan aku..."
"Aku belum pernah menggunakan sihir untuk mengunci ingatan anak kecil," kata Arreya dengan suara serak. "Aku tidak yakin akan berhasil."
"Setidaknya kita harus mencoba. Selebihnya kita serahkan Emma kepada takdir... Emma adalah anak yang baik. Orang-orang juga akan memperlakukannya dengan baik..." Kaoshin menggendong Emma kecil dan menghadapkannya kepada istrinya. "Kumohon, Tuan Putri..."
Arreya akhirnya menyerah dan menuruti permintaan suaminya. Ia menaruh tangan kanannya di kening Emma dan memejamkan mata. Emma hanya bisa menangis. Ia tidak tahu apa yang ibunya sedang lakukan, tetapi firasatnya sebagai seorang anak membuatnya merasa takut dan sedih.
Ia merasa orang tuanya akan meninggalkannya.
"Ayaaahhh... jangan tinggalkan akuu...." tangis Emma dengan suara pedih. Ia membenamkan wajahnya di kedua tangannya dna menangis terisak-isak. Burung-burung yang tadi bertengger di atap gereja Notre Dame menjadi kaget mendengar suaranya dan beterbangan dengan ribut.
Emma menangis dengan sangat pedih hingga air matanya kering. Ia akhirnya dapat mengingat apa yang terjadi 13 tahun lalu ketika ayah dan ibunya meninggalkannya di depan panti asuhan itu. Mereka menciuminya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang, lalu mengunci ingatannya dan meninggalkannya.
Mereka meninggalkannya untuk melindunginya.