Unduh Aplikasi
31.95% Danke / Chapter 54: Mine.

Bab 54: Mine.

Pelita kebingungan saat nomor Karang tidak aktif, padahal laki-laki itu sendiri yang berjanji akan menjemputnya di kampus. Ia bahkan menolak ajakan Chintya yang ingin mengantarnya pulang karena itu, alhasil sekarang Pelita berdiri sendirian di depan gerbang kampus tanpa teman-temannya, ia bahkan digoda bertubi-tubi oleh para juniornya yang sengaja berdiri di dekat gerbang, telinga Pelita sampai panas rasanya dan meski enggan mengidahkan ucapan mereka.

Dia kesal sendiri, Karang sudah janji, tapi tak ditepati dan menjadikannya korban untuk para junior yang memang sudah tertarik dengannya sejak pertama mereka ikut OSPEK, untunglah besok adalah hari terakhir.

"Gue anterin aja, rumahnya di mana?" celetuk salah seorang mahasiswa yang kini menghampiri Pelita, ia bahkan tak segan berdiri di sebelah istri orang lain itu, mahasiswa lain juga tak ada yang senekat dirinya.

Pelita mengumpat dalam hati mendelik pada laki-laki di sebelahnya.

"Nama gue Marcell, kita seumuran kok, cuma emang baru masuk kuliah aja karena setelah lulus SMA gue ikut bokap di Aussie. Lo Pelita, kan?" Marcell bahkan mengulurkan tangannya tanpa canggung.

Pelita hanya diam, tak sudi melihat apalagi menjabat tangan Marcell, tahukah ia jika sedang membunyikan alarm tanda bahaya—apalagi jika Karang tiba-tiba datang dan memergoki mereka berdua.

Marcell menurunkan tangannya. "Oke kalau nggak mau kenalan, lagian gue juga udah tahu nama lo, kok, Pelita Sunny. Bagus nama lo."

Pelita hanya bisa menghela napas menahan sabar, jika seperti ini jadinya ia berharap akan ada taksi yang lewat agar bisa lenyap dari hadapan Marcell, laki-laki itu terlalu percaya diri.

Dingin juga, batin Marcell. Sosoknya terlihat begitu santai, ia tak peduli jika Pelita cuek terhadapnya, justru gadis yang dingin seperti itu lebih menyenangkan untuk ditelusuri lebih dalam.

"Lo lagi nunggu suami lo?" tanya Marcell.

Pelita menghela napas, ia menoleh sebelum akhirnya mengangguk menatap Marcell dan kembali pada jalanan di depan mereka.

"Gue nggak nyangka, bisa nikah secepat itu. Emang siap banget berumah tangga?"

Pertanyaan itu membuat telinga Pelita mulai panas, maunya apa manusia di sebelahnya itu, seperti seorang wartawan yang bertubi-tubi bertanya padahal Pelita jelas enggan menjawab. Gadis itu merogoh saku almameternya lantas mendial lagi nomor Karang, ia tempelkan ponselnya ke telinga kiri, sedangkan Marcell masih fokus mengamatinya tanpa niatan beranjak pergi meski Pelita sudah sangat tidak nyaman.

"Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif." Lagi, hanya terdengar suara operator selular yang begitu lirih dan hanya Pelita yang mendengar, ia melirik Marcell yang masih fokus mengamatinya.

Sialan, umpat Pelita. Ponselnya masih ia tempelkan di telinga.

"Oh, gitu? Ya udah aku pulang sendirian nggak apa-apa, ini lagi nunggu taksi sekalian, bye." Sengaja Pelita berbohong agar bisa keluar dari zona merah tersebut, sesungguhnya ia berbicara dengan ponsel yang sudah tak lagi terhubung dengan nomor Karang, semua akal-akalan Pelita demi menjauh dari Marcell.

"Jadi, suami lo nggak jadi jemput? Mau gue anter pulang?"

Tidak tahu diri!

Tahukah Marcell jika Pelita makin kesal saat ini, harusnya Marcell jaga jarak karena Pelita adalah istri orang lain, bukan sekadar pacar yang bisa diajak jalan oleh siapa-siapa. Itu pun jika Pelita merasa dirinya sangat murahan.

"Nggak, gue mau naik taksi aja. Gue nggak suka cari masalah." Sengaja Pelita memberi peringatan.

Marcell tersenyum. "Akhirnya suara lo keluar juga, dari tadi gue nunggu lo jawab pertanyaan gue lho."

Oh shit!

Lenyapkan Pelita dari tempat itu sekarang juga, ia makin geram karena taksi tak kunjung lewat, padahal tangannya sudah sangat ingin bergerak jika Marcell sampai berkata yang tidak-tidak.

"Nggak perlu, gue masih punya ongkos buat naik taksi." Ia bernapas lega saat melihat sebuah taksi dari kejauhan bergerak ke arah mereka. Akhirnya, batin Pelita.

"Oke, nggak apa-apa lo tolak tawaran gue sekarang. Lain kali pasti lo mau, gue masih punya segudang tawaran lainnya," ucap Marcell percaya diri.

Pelita enggan memedulikan ocehan laki-laki itu, ia memilih melambaikan tangan kiri hingga taksi berhenti di dekatnya.

"Selamat tinggal," ucap Pelita dengan bangga, akhirnya ia bisa meninggalkan makhluk asing yang terlalu percaya diri itu, Pelita naik ke dalam taksi lantas menutup pintu segera.

"Good bye, lo tenang aja, kita masih bisa ketemu besok, besoknya lagi dan besoknya lagi, kok," seru Marcell saat mobil mulai melaju pergi.

***

Benar saja, ketika Pelita sampai rumah pun mobil Karang tak ada di halaman rumah, artinya ia belum pulang, memangnya pergi ke mana? Apa datang ke panti cancer harus selama itu?

Untungnya Pelita punya kunci rumah cadangan, jadi ia tak perlu menunggu Karang lebih lama agar bisa masuk rumah. Pelita membuka pintu dan menutupnya dengan rapat, ia mengangkat kedua tangannya ke atas seraya meregangkan otot-otot yang kaku setelah seharian aktivitas di kampus yang cukup melelahkan, ia menapaki tangga sebelum masuk ke dalam kamarnya.

Setelah selesai berganti pakaian meski hanya mengenakan hot pants serta kaus, Pelita turun ke bawah dan mengamati keadaan sekitarnya, gadis itu mengambil beberapa peralatan rumah tangga seperti vacum cleaner, pembersih kaca serta lainnya. Ia akan bertugas jadi istri yang baik mengurus rumah sendiri.

Pelita mulai membersihkan setiap ruangan dengan vacum cleaner, tak lupa ia memakai masker serta mencepol rambutnya.

Setelah sesi vacum cleaner selesai, Pelita mulai mengepel lantai di tiap ruangan, entah berapa kali ia bolak-balik mengganti air hingga rasanya benar-benar lelah, tak lupa Pelita membersihkan kaca dengan cairan khusus.

Ia duduk di permukaan sofa yang berdekatan dengan tangga seraya meluruskan kaki dan menyandarkan kepalanya ke belakang, meski lelah hinggap, tapi perasaan senang juga tak bisa ia enyahkan, setidaknya Pelita sedang berusaha jadi perempuan yang sanggup mengurus rumah tangga.

Ia melirik jam dinding yang menunjukan pukul lima, dan Karang juga belum pulang?

Pelita beranjak menuju dapur, mengeluarkan apa saja yang ada di dalam lemari pendingin, dengan cekatan ia memasak apa saja yang tersedia sembari mendengarkan musik dengan headset yang menggantung di telinga.

Pukul enam urusannya baru selesai, dan Karang masih belum pulang? Jangan-jangan dia diculik jin di luaran sana.

Pelita sudah sangat lelah dan berkeringat, ia harus membersihkan diri sekarang juga. Ketika Pelita hendak menutup pintu kamar mandi, lengan kekar seseorang justru menahannya, dan pelakunya adalah Karang sendiri.

Pelita mengintip. "Kamu udah pulang? Kirain lupa jalan pulang," cibirnya.

"Masa lupa pulang, sih. Di rumah kan ada kamu."

"Ya siapa tahu aja di luar rumah lebih menyenangkan gitu, aku mana tahu jalan pikiran kamu." Membuat Pelita kesal justru sangat menggemaskan, gadis itu menekan pintu, tapi Karang masih menahannya.

"Minggir, aku mau mandi, udah sore nih."

Bukannya mundur, Karang justru menekan pintu hingga benar-benar terbuka, Pelita masih memakai bajunya. "Apa? Aku mau mandi, kamu nggak bau sama keringat aku?"

"Nggak, justru itu yang aku mau."

Pelita mulai melangkah mundur saat Karang perlahan mendekatinya dengan tatapan intens dan senyuman miringnya, sepertinya alarm bahaya sudah dinyalakan.

"Kenapa? Kok kayak takut gitu, hm?" tanya Karang membuat keadaan makin panas.

Tubuh Pelita membentur tembok di belakangnya tepat di bawah shower, Karang melebarkan senyumnya kala sang istri tak bisa lagi ke mana-mana.

"Yang udah jadi milikku nggak akan bisa ke mana-mana, dan kamu milikku, Ta," ucap Karang sebelum akhirnya merenggut bibir merah muda istrinya.

Karang meraih pinggang Pelita, merapatkan tubuh mereka, perempuan itu sekarang sudah kalah dan tak bisa menghindari kewajibannya lagi sebagai seorang istri.

Karang terus menyesap, mencercap bibir Pelita dengan lembut, saat yakin ia telah menguasai istrinya—barulah tangan Karang mulai menyentuh bagian-bagian sensitif milik Pelita, tangannya bergerilya ke mana-mana hingga tubuh si pemilik mulai memanas.

Kedua tangan Karang menarik kaus Pelita ke atas, melepas sejenak ciuman itu dan menatap wajah Pelita yang sudah pasrah. "Kamu nggak bisa kabur, jadi nurut aja," ujar Karang.

Pelita hanya diam, Karang terus menarik kaus itu hingga melewati kepala dan menyisakan bra hitam yang menutupi gundukan kembar milik istrinya, Karang melempar kausnya begitu saja lantas meremas salah satunya, membuat Pelita mulai mendesah, akhirnya apa yang Karang inginkan sejak kemarin malam akan ia dapatkan sekarang.

Pelita menggigit bibirnya menahan rangsangan yang kian menjalar ke sekujur tubuh hingga Karang menciumnya lagi, kini mulai menuntut dan kasar sampai Pelita kesulitan bernapas, tapi Karang tak peduli, dia sudah terlalu gemas dengan istrinya.

Agar lebih menyenangkan, Karang menyalakan shower dan air mulai jatuh di tubuh mereka, Karang menyudahi ciumannya dan bergerak ke cuping telinga Pelita, memilinnya dengan bibir hingga si pemilik kegelian dengan rangsangan hangat itu, merinding tanpa henti ditambah guyuran air yang dingin.

"Aku kangen kayak gini," bisik Karang melanjutkan ke bagian leher, ia meninggalkan kissmark cukup banyak di sana, Pelita menggigit bibirnya karena tak mau jika terus mendesah, Karang jelas makin liar jika mendengarnya.

"Jangan ditahan, Sayang," ucap Karang. Tangannya melepas pengait bra Pelita, lalu melempar benda itu ke selasar dan mulai aktif mengecup bagian yang sudah tak tertutup apa-apa hingga Pelita akhirnya mendesah seraya meremas rambut Karang dengan kedua tangannya.

Karang kembali mencium Pelita, perempuan itu bahkan membalasnya dengan lembut seraya memejamkan mata, tak peduli guyuran air yang terus membuat mereka makin basah.

"Tahan, Sayang." Karang berjongkok lantas melepas hot pants dan menyisakan underwear yang kini juga dilepas dengan mudah hingga tubuh Pelita benar-benar naked.

Satu jemari tengah milik Karang memaksa masuk ke bagian intim Pelita yang lama sekali tak pernah dijamahnya, sejak dua kali mereka pernah melakukan itu dan tak pernah lagi karena Karang tinggal di rumah Sofi dan ibunya selalu berpesan untuk tak melukai Pelita, pada akhirnya perempuan itu juga tetap jadi miliknya.

Tangan Karang mulai bergerak dengan cepat, Pelita menggigit bibir menahan perih di bawah sana, rasanya lumayan sakit.

"Ss ... sakit ...," rintih Pelita meremas rambut Karang.

"Tahan, sebentar lagi." Karang menggerakan tangannya lebih cepat hingga Pelita menggelinjang hebat dan Karang menurunkan jemarinya, istrinya baru saja orgasme sendirian. Karang beranjak seraya melepas pakaiannya hingga naked sempurna, ia mengangkat satu paha Pelita lantas menyatukan miliknya dengan pelan karena melihat ekspresi kesakitan di wajah sang istri.

"Bukannya udah pernah? Jadi tahan aja sebentar." Setelah miliknya memenuhi milik Pelita dengan gerakan pelan, barulah ia mempercepat ritme seraya mencium bibir Pelita lagi.

Hingga tiba saat pelepasan barulah Karang melepas ciumannya, bersama mereka saling memeluk merasakan luar biasanya hal yang baru saja terjadi.

Sayangnya, Karang belum ingin berhenti, ia memaksa Pelita melakukannya lagi, lagi dan lagi hingga hari ini berakhir.

***


Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C54
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk