Unduh Aplikasi
13.01% Danke / Chapter 22: Hampir saja.

Bab 22: Hampir saja.

Mona kebetulan berada di rumah, dia beranjak dari duduknya dan meletakan majalah di permukaan meja. Kakinya menghampiri jendela yang berada di dekat pintu utama, sekarang sudah pukul tujuh, tapi anak gadisnya belum pulang. Ia tahu Pelita sudah izin akan pergi, hanya saja naluri seorang ibu mengingatkan bahwa ia juga punya rasa cemas.

Suara mobil berhentilah yang mengundangnya untuk menghampiri jendela, kali ini tangan halus Mona menarik sedikit tirai warna kuning keemasan untuk melihat mobil siapa di luar. Terlihat seseorang turun mengitari kap mobil dan membukakan pintu, ternyata anak gadisnya yang turun. Mona mengernyit, yang ia tahu Pelita masih pacar Ardo dan laki-laki itu tak pernah membawa mobil, jadi di luar sana siapa?

Mona menutup tirai, tapi ia mengurungkan niatnya setelah mendengar suara motor berhenti, Mona kembali membuka tirai. Motor yang berhenti itu milik Ardo, dia paham betul postur tubuh Ardo, jadi ada dua laki-laki bersama Pelita sekarang? Bagaimana bisa?

Mona terus memperhatikan interaksi ketiganya dari balik tirai.

Sedangkan keadaan di luar rumah benar-benar membuat Pelita tidak nyaman, untuk apa Ardo datang ketika ada Karang di dekatnya? Apa mantan kekasihnya itu tengah mencari masalah? Bodoh!

Laki-laki yang mengenakan t-shirt hitam itu menarik tangan Pelita agar lebih dekat dengannya, sedangkan Ardo berada di depan Karang dan beradu pandang, yang jelas tatapan tak bersahabat mendominasi sepasang mata mereka. Pelita hanya diam dan berharap semua akan baik-baik saja.

Ardo menatap Pelita, dia mengulas senyumnya. "Malem, Ta. Gue mau ketemu sama Tante Mona, ah iya mama bilang lo suruh ke rumah gue lagi," ucapnya begitu percaya diri.

Jika tangannya tak digenggam oleh Karang mungkin sekarang Pelita sudah mencakar wajah Ardo karena mengatakan sesuatu yang Pelita sembunyikan dari Karang yakni; bertemu dengan Tante Sofi. Pelita mengumpat dalam hati, tahukah Ardo bahwa ucapannya itu jelas mengundang kecurigaan seseorang, atau Ardo memang sengaja mengucapkan hal itu di depan Karang agar ia cemburu.

Karang menoleh menatap gadis itu dengan alis bertaut tanpa berucap, Pelita tahu sorot mata itu menegaskan sesuatu. Sorot mata Karang seperti berkata 'lo ngapain di sana' tapi sayang semua itu terlihat sangat jelas. Pelita hanya bisa menunduk, dia tahu Karang pasti sangat marah, tapi menahannya di depan Ardo.

Pelita menatap Ardo. "Kalau lo mau ketemu mama silakan masuk aja, itu ada mobil mama, pasti dia di dalem kok," ujar Pelita sengaja memerintah Ardo, ia tak ingin aksi saling tatap dua manik tajam itu berlangsung hingga memunculkan aliran listrik mematikan nantinya.

"Sama lo, kan gue udah ketemu tuan rumahnya. Lagian lo emang mau masuk, kan, Ta?" pinta Ardo tanpa merasa bersalah.

Tangan Pelita meremas kemejanya, dia gemas sekali ingin menjahit bibir Ardo agar menjaga cara bicaranya itu. Apa ia tak sadar sedang menghadapi dewa kematian sekarang?

"Kak," panggil Pelita pada laki-laki yang menggenggam erat tangannya.

Karang menoleh, menyudahi tatapan mematikannya pada Ardo. Jika Ardo terlihat begitu santai sambil menikmati momen kekesalan yang menyenangkan itu, beda halnya dengan Karang yang ingin sekali melenyapkan Ardo dari muka bumi saat ini juga.

"Aku udah sampai, Kakak pulang aja nggak apa-apa," ujar Pelita mencoba membuat situasi lebih baik.

"Gue akan pulang kalau lo udah masuk ke dalam, masuk!" perintahnya tegas.

"Iya aku mau masuk kok, sekarang Kakak pulang aja."

"Kalau ada yang ganggu atau bikin lo nggak nyaman telepon gue aja," pesan Karang sengaja menekan kata-katanya seraya melirik Ardo lewat ekor mata yang tajam.

Pelita mengangguk, kedua tangan Karang membingkai wajah gadis itu lalu mengecup keningnya dengan lembut di depan Ardo, sengaja dia membalas kekesalannya.

Untunglah hidung mereka tak mencium aroma hati panggang yang menguar dari diri Ardo, kedua tangan laki-laki itu mengepal kuat melihat Karang mencium Pelita di depannya. Dia bahkan belum bisa menemukan gadis yang tepat untuk menggantikan Pelita, hatinya masih tertancap di ruang nan sepi.

Setelah membuat Ardo cemburu begitu jelas, Karang menghampiri mobilnya dan pergi dari sana. Pelita menghela napas, ia bersyukur akhirnya bisa meredakan ketegangan itu, kini tatapannya tertuju pada Ardo.

"Lo tuh sebenernya ngapain di sini, Ar? Gue yakin elo nggak ada niat buat temuin mama, kan? Itu cuma alesan lo aja buat bikin Karang cemburu."

Ardo menghampiri Pelita. "Gue lagi usaha, Ta."

"Usaha apa? Memperkeruh suasana?"

"Usaha dikit-dikit biar lo cepat balik ke gue, sampai hari ini mama belum maafin gue, ngelihat gue aja dia nggak mau. Mama telanjur sayang sama lo, Ta."

"Ar, lo nggak bisa maksain gue bujuk-bujuk Tante Sofi buat nggak marah, dia itu satu ras sama gue, sama-sama perempuan dan punya hati. Nggak ada yang nggak kecewa ketika pacar sendiri dipertaruhin cuma karena balapan motor, kadang gue mau ngajak lo operasi isi kepala biar bisa mikir!" Kapan lagi Pelita bisa memarahi Ardo seperti itu, rasa kecewanya untuk Ardo belum luntur, sama sekali belum.

Ardo mendengkus, tatapannya putus asa. Harusnya Tuhan memberikan waktu cepat baginya untuk menemukan gadis lain, agar ia tak perlu repot-repot menunggu Pelita yang entah kapan akan kembali, toh pemilik gadis itu tidak main-main terhadap perasaannya.

Ardo mengacak rambutnya frustrasi. "Gue cemburu, Ta," akunya.

Pelita mendengkus. "Cemburu? Lo cemburu? Salah siapa? Salah gue!"

Ardo tahu jawabannya adalah dirinya, laki-laki bodoh yang sudah merelakan kekasihnya untuk orang lain dan berakhir dengan penyesalan.

"Kalau gue boleh tahu, apa suatu saat lo bisa balik lagi sama gue?" Mata sendu itu terlihat jelas.

"Mungkin, kalau lo bisa putar balik keadaan tanpa ada kekecewaan, bisa nggak lo?"

Ardo menggeleng, ini lebih sulit dari yang ia bayangkan. "Maafin gue, Ta. Gue bodoh."

"Lo emang bodoh, Ar. Lo bodoh! Lo bikin gue sakit hati dan merasa semuanya itu mudah, lo mikir sekarang gue jadi simpanan seseorang. Lo udah buat Pelita Sunny ini jadi cewek yang nggak baik, harga diri gue seketika turun setelah keputusan yang lo buat secara sepihak. Gue jadi nyesel kenapa kita harus ketemu dan jadian, Tuhan salah."

"Pelita ...."

"Pulang! Sekarang lo pulang, Ar! Gue capek!" Pelita mendorong tubuh Ardo agar menjauh, setelah itu dia bergegas membuka gerbang dan menutupnya bahkan menguncinya, dia tak ingin Ardo masuk ke dalam sana.

Mona langsung menutup tirai ketika melihat Pelita melangkah ke arahnya, sejauh yang ia lihat hubungan Ardo dan Pelita jelas bermasalah. Mona akan jadi pendengar yang baik.

Pelita mulai terluka.


Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C22
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk