"Tolong!! siapa saja di luar!! tolong buka pintunya!!" teriak Nadia menggedor pintu berulang-ulang.
"Hai!! apa yang kamu lakukan!! aku tidak bisa tidur tahu!" teriak Jonathan sambil menutup kedua telinganya.
"Aku tidak peduli padamu, aku harus keluar dari kamar ini. Aku tidak mau jadi gila karena melihat sikapmu." ucap Nadia dengan tatapan gusar.
Tanpa menghiraukan ucap Nadia, Jonathan berusaha bangun dari tidurnya namun tubuhnya terasa lemas untuk duduk bersandar. Kedua kakinya sama sekali tidak bisa bergerak.
"Kamu mau apa? apa kamu bisa bergerak walau hanya sekedar duduk?" tanya Nadia terpaksa mendekati Jonathan yang tengah bersikeras untuk duduk.
Dengan bibir cemberut Nadia membantu Jonathan untuk duduk dengan mengangkat pinggang Jonathan.
"Jangan melakukan hal yang tidak ikhlas." ucap Jonathan tanpa melihat wajah Nadia.
"Apa maksudmu bicara seperti itu?" tanya Nadia dengan tatapan penuh.
"Kamu! kalau membantuku yang ikhlas, bukan dengan wajah dan bibir cemberut." ucap Jonathan yang sudah dalam posisi duduk.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Nadia dengan nada datar sambil memicingkan matanya.
"Sedikit tersenyum mungkin." ucap Jonathan menatap wajah Nadia yang terlihat suram.
"Hem... aku tidak bisa melakukannya kalau hatiku tidak ingin. Aku bukan orang yang suka basa-basi." ucap Nadia kembali berjalan ke pintu berusaha membuka pintu.
Jonathan menundukkan wajahnya, seperti menahan sesuatu.
"Ada apa lagi denganmu?" tanya Nadia seraya bersandar di pintu.
Wajah Jonathan terlihat pucat, sambil kedua tangannya mencengkram selimutnya.
Kening Nadia mengkerut, merasa heran melihat sikap Jonathan yang merasa kesakitan.
"Tuan arogan! kamu kenapa lagi?" tanya Nadia merasa kesal karena pertanyaannya tidak di jawab.
Jonathan mengangkat wajahnya menatap wajah Nadia dengan tatapan memelas.
"Apa?" tanya Nadia lagi dengan tatapan penuh.
"Aku...aku ingin buang air besar." jawab Jonathan dengan ragu-ragu.
"Apa!! kamu mau buang air besar? tidak! jangan sekarang Tuan Arogan. Tolong! tahan besok saja, tunggu Tuan Marcos. Atau aku harus menggedor pintu sampai terbangun semuanya." ucap Nadia dengan wajah ikut pucat.
"Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Apa aku harus buang air besar di sini?" tanya Jonathan dengan tatapan berkedip.
"Ya Tuhan!! mimpi aku harus di sini sampai besok pagi!" ucap Nadia seraya mengambil ponselnya untuk menghubungi Tuan Marcos.
"Ada apa dengan Tuan Marcos? apa tidurnya Tuan Marcos seperti orang mati? sehingga tidak bisa mendengar suara ponsel dan suara gedoran pintu?" tanya Nadia sambil melirik ke arah Jonathan dengan wajahnya yang sudah pucat dan meringis menahan sesuatu.
"Tuan Jonathan, bisakah kamu menghubungi Nyonya Anne? siapa tahu Nyonya Anne terbangun dan bisa menyuruh Tuan Marcos kemari." ucap Nadia dengan tatapan serius.
"Apa kamu tidak tahu kalau perutku sakit? aku sudah menahan rasa sakit, kamu masih menyuruhku? kenapa tidak kamu hubungi sendiri saja!" ucap Jonathan seraya mengambil ponselnya dan di berikan pada Nadia.
Dengan tatapan kesal, Nadia menerima ponsel dari Jonathan kemudian mencari nama Anne. Setelah menemukan nama Anne yang tertulis Mami Anne, segera Nadia menghubungi Nyonya Anne.
Dengan menggigit bibirnya, Nadia menunggu panggilannya di terima Nyonya Anne. Namun tetap saja, walau sudah beberapa kali Nadia menghubunginya panggilannya tidak di terima.
"Apa yang terjadi dengan Tuan Marcos dan Nyonya Anne? apa mereka mengalami sesuatu hal? hingga tidak bisa mendengar panggilan kita." ucap Nadia dengan keadaan panik sambil melihat ke arah Jonathan yang sudah pucat pasi sambil memegang perutnya.
"Kamu tahan sebentar, aku akan membuka pintunya." ucap Nadia kembali berjalan ke pintu berusaha mendobraknya.
"Jangan mendobraknya, kamu tidak akan bisa. Pintu itu terbuat dari kayu jati. Percuma saja kamu mendobraknya. Bantu aku saja ke kamar mandi, aku tidak bisa menahannya lagi." ucap Jonathan sambil berusaha menggerakkan kakinya yang tidak bisa bergerak.
Nadia merasa tubuhnya lemas dengan keadaan yang menghimpitnya. Bagaimana bisa dia membantu Jonathan ke kamar mandi untuk buang air besar. Bukan masalah buang air besarnya, tapi dia perempuan dan Jonathan laki-laki.
"Tuan Jonathan, siapa biasanya yang membantumu ke kamar mandi?" ucap Nadia mengutarakan maksudnya.
"Marcos." ucap Jonathan dengan singkat.
"Ya sudah, minta tolong sama Tuan Marcos saja." ucap Nadia tiba-tiba mendapat ide untuk menjebak Jonathan agar menjadikannya perawat pribadi.
"Ya... tapi Marcos tidak ada di sini." ucap Jonathan dengan tatapan penuh.
"Lalu, apa aku yang harus mengurusmu sekarang? Ingat Tuan Jonathan , aku bukan perawat kamu. Aku tukang kebun Nyonya Anne. Bagaimana aku bisa melanggar peraturanmu Tuan Jonathan?" ucap Nadia dengan serius walau hatinya tersenyum penuh kemenangan.
Jonathan menghela nafas panjang, sambil menahan perutnya yang sudah tidak bisa di tahannya lagi.
"Baiklah, mulai hari ini kamu perawatku. Sekarang cepat bantu aku ke kamar mandi. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi." ucap Jonathan terpaksa mengalah karena keadaannya sudah tidak bisa memungkinkan untuk keras kepala.
"Baiklah, aku harus bagaimana sekarang? apa yang harus aku lakukan?" tanya Nadia berdiri tegak di samping Jonathan.
"Kamu seorang perawat bukan? seharusnya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?" tanya Jonathan dengan alis terangkat.
"Aku sangat tahu caranya Tuan Arogan, tapi apa caraku sama dengan cara Tuan Marcos menangani Tuan Jonathan. Bagaimana kalau caraku sangat kasar." ucap Nadia dengan menahan senyum kemenangan.
"Baik!" ucap Jonathan seraya menghela nafas panjang.
"Biasanya apa yang dilakukan Tuan Marcos, Tuan?" tanya Nadia dengan tangan berkeringat. Entah kenapa, seharusnya sebagai perawat dia harus profesional. Tapi, entah kenapa menghadapi Jonathan rasa gugup melanda hatinya.
Tangannya gemetar jika harus melakukan hal yang tidak-tidak.
"Lepas celanaku di sini!" ucap Jonathan dengan wajah meringis.
"Apa!! aku melepas celana kamu? Tidak! bagaimana bisa aku melakukan hal itu!" ucap Nadia dengan wajah pucat.
"Sudah lakukan saja! Marcos biasanya seperti itu." ucap Jonathan berusaha menahan perutnya yang sudah melilit.
"Tuan Marcos mungkin saja bisa, tapi bagaimana denganku? aku seorang wanita!" ucap Nadia dengan menelan salivanya.
"Kamu memang wanita, tapi kamu seorang perawat! bagaimana bisa kamu tidak bisa melakukannya? lalu bagaimana kamu bisa jadi perawat!" ucap Jonathan sudah di tidak bisa menahan kemarahannya.
Nadia mengambil nafas panjang, bukan karena dia tidak tahu cara mengatasi hal itu. Tapi yang di hadapi adalah musuhnya. Bagaimana kalau dia tahu milik Jonathan. Lebih baik melakukan pada pasien yang ada di rumah sakit karena setelah itu tidak akan bertemu lagi. Selain tidak bertemu, dia juga sudah lupa dengan banyaknya pasien. Dan sekarang Jonathan yang akan di lihatnya setiap hari mungkin bisa berbulan-bulan. Bagaimana dia bisa melupakan begitu saja.
"Kenapa kamu masih berdiri di situ? apa kamu benar-benar ingin aku buang air besar di atas tempat tidur?" tanya Jonathan dengan tatapan kesal.
"Baiklah." ucap Nadia seraya mendekati Jonathan.
"Apa kamu punya kacamata hitam?" tanya Nadia dengan gugup.
"Buat apa?" tanya Jonathan dengan tatapan heran.
"Sudah, jangan banyak tanya Tuan Arogan. Di mana letak kacamatamu?" tanya Nadia dengan serius.
"Di dalam laci." ucap Jonathan dengan singkat.
Dengan cepat, Nadia mengambil kacamata Jonathan dan segera memakainya.
"Ada apa denganmu? kamu mau apa malam-malam begini memakai kacamata?" tanya Jonathan menjadi bingung dengan sikap Nadia.
"Sudah diamlah! kamu ingin aku menolongmu bukan?" ucap Nadia seraya mematikan lampu salah satu di pojok kamar membuat suasana menjadi temaram.
"Kamu mau apalagi? aku sudah tidak tahan lagi tahu!!" teriak Jonathan semakin kesal dengan apa yang dilakukan Nadia.
Tanpa membalas ucapan Jonathan, Nadia segera duduk di samping Jonathan dan membuka kancing serta resleting celana Jonathan.
"Aaauhhh!!" teriak Jonathan saat resletingnya hampir mengenai batang miliknya.