Hiashi dapat mengingat ketidaksopanan yang telah dilakukannya semalam. Membawa putrinya pulang paksa, dan mungkin itu pertama kalinya dia bersikap secara tidak sopan terhadap tamu yang mendiami negaranya.
Namun yang dilakukannya bukan atas dia sadar. Ini semua gara-gara alkohol yang terus meracuni isi kepalanya, menjadikan sikapnya sulit dikendalikan oleh dirinya sendiri.
Ketika terbangun, Hiashi mendapati istrinya masih ada di sampingnya dengan terdiam seperti orang gila. Hiashi menyesali perbuatannya.
Pagi itu, mereka masih sama-sama duduk di atas kasur dan saling diam. Dengan kedua kaki yang disembunyikan di dalam selimut lembut mereka. Matahari di luar masih dihalangi masuk oleh sepasang gorden berwarna cokelat keemasan. Di luar agaknya ramai—hanya yang dapat Hiashi hafal suara dari kerangka troli berisikan baju-baju yang selesai dicuci. Atau berisikan seprai-seprai, selimut, sarung bantal dan guling, untuk mengganti setiap kamar di kediaman Hyuuga.
Hiashi membuka suara, bukan ucapan selamat pagi yang selalu diberikannya untuk sang istri. "Apakah Hinata di kamarnya?" Hikari mengangguk kecil, tampak lemah. "Aku akan bicara dengannya."
"Mungkinkah kau akan bicara soal pria itu?" tidak ada tanggapan dari suaminya, pria itu masih diam. "Aku menyukai anak laki-laki itu. Dia tulus, dia sangat baik pada Hinata, terlihat bahwa laki-laki itu sangat mencintai Hinata. Pandangannya sama-sekali tidak ternilai penuh dengan kebohongan. Sebagai seorang ibu, aku menggunakan firasatku."
"Aku belum mengenalnya."
"Seharusnya kau tidak mengacaukannya seperti semalam."
"Di luar kendaliku." Hikari tidak menanggapi kembali, seolah untuk mengajaknya berperang. "Aku minum bersama Neji, aku kehilangan pengendalian saat tahu apa yang sedang terjadi pada Neji, aku semakin takut bahwa putriku mungkin bernasib sama." Hikari menengok ke samping.
"Apa yang terjadi pada Neji?" Hikari mendorong selimut pergi dari kakinya, dia lebih dekat ke samping suaminya. "Bernasib sama kenapa maksudmu?"
"Neji mengakui sesuatu yang membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih setelah itu," Hikari terus menunggunya. "Dia mencemari Shion," dan terkejut setengah mati. "Itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Mereka semua menutupi apa yang terjadi—termasuk keluarga Shion. Shion sempat hamil, tapi dia mengalami keguguran karena kandungan yang lemah."
"Apa saat keluarga itu ingin cepat-cepat melangsungkan pernikahan? Lalu membatalkan begitu saja?"
"Benar. Saat mereka menginginkan bertemu, lalu beberapa bulan justru mereka mencoba memikirkan untuk mundur beberapa tahun lagi. Aku begitu saja datang ke keluarga Uzumaki dan memastikan bahwa putriku tidak ternodai." Hikari justru tersenyum. "Aku mulai mengkhawatirkan Hinata—aku takut bahwa dia menemukan orang yang salah mengingat kondisinya seperti itu. Dia pasti akan jauh lebih rapuh. Tapi aku tidak mampu mengendalikannya. Aku pergi ke sana seolah tanpa alasan yang jelas. Padahal, aku amat ketakutan."
Hikari menepuk-nepuk punggung tangan suaminya. "Bisakah aku memastikannya?" lalu ia menolah pada istrinya. "Dengan caraku sendiri."