"Hujan," kataku sambil menatap air yang jatuh dari langit membasahi bumi.
Langit sepertinya tidak mendukungku untuk melangkah keluar dari rumah ini, walau hanya untuk menghirup udara segar. Aku menoleh ke arah ranjang yang di tempati seorang gadis yang aku sayangi. Surai merahnya tergerai begitu indah dan membuat pesonanya semakin bertambah.
Aku kembali menatap keluar jendela, tempat itu begitu sunyi meski ada beberapa orang yang sedang menunggu sadarnya gadis yang tengah berbaring di atas ranjang itu. Aku tersenyum setiap kali mengingat apa saja yang telah aku lalui selama ini.
Nero Kanae Roulette, itulah nama yang diberikan padaku oleh seseorang yang menyebut dirinya Papa. Seseorang yang telah mengangkatku sebagai anaknya setelah panti asuhan yang ku tempati habis terbakar. Aku mengalami pencucian otak setelah seorang bayi perempuan lahir dari rahim Mama. Ia adalah Felica Gremory Roulette, bayi yang begitu mungil dan sangat menggemaskan.
Sesaat aku mulai menyayanginya, gadis itu tumbuh bersama kami tanpa tahu siapa kami. Aku yang selalu bersikap seperti pelayan untuknya, tidak pernah dipandang sebelah mata oleh gadis kecil itu. Papa mengatakan jika aku di cuci otak untuk menjaga Felica dan tidak berniat untuk mengkhianati gadis itu.
Tentu aku menerimanya dengan senang hati, karena perasaan manusia akan berubah-ubah dengan berjalannya waktu. Dan aku tidak ingin perasaan itu berubah dan menyakiti Nonaku tercinta. Aku tidak keberatan melukai orang lain untuk melindungi Nona Felica. Karena ia adalah sumber cahaya keluarga Roulette sampai kapan pun.
"Nero," aku menoleh saat namaku disebut oleh lelaki yang sangat amat aku benci.
"Ada apa, AG?" tanyaku yang hanya menatap malas ke arah lelaki itu.
Aku membencinya, tentu saja karena Nona Felica lebih menyukainya dari pada diriku yang selalu ada bersamanya. Apa yang membuat Nona Felica menyukainya? Padahal lelaki itu tidak pernah berada tepat waktu bersamanya.
"Istirahatlah," jawabnya dan aku hanya tertawa mendengar perkataannya.
Bagaiman bisa aku berisitrahat sedangkan Nona menahan rasa sakit yang luar biasa di atas ranjang sana. Apa perlu aku mengatakan jika aku mengkhawatirkan dirinya yang sewaktu-waktu bangun dan mencoba untuk membunuh dirinya sendiri.
"Sudah satu minggu kau tidak tidur, kau sudah cukup kelelahan. Cepat tidur, aku dan ketiga makhluk mitos ini akan menunggu sampai kau terbangun."
Aku menoleh dan hanya mengangguk. Terakhir aku tertidur adalah seminggu yang lalu, itu pun karena Alucard membuatku pingsan agar aku bisa beristirahat. Sedangkan lelaki itu, aku tidak melihatnya menutup matanya barang sehari pun. Aku melangkah menuju lift pribadi yang menuju kamarku di bawah laboratorium milikku. Setelah sampai pintu lift terbuka dan sebuah sensor mulai memindai tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Beberapa lapis pintu terbuka setelahnya, kulangkahkan kedua kakiku dan pintu berlapis itu segera menutup kembali. Lampu menyala terang memperlihatkan kamarku yang tertata begitu rapi. Aku menatap dinding yang begitu besar dan terdapat banyak foto-foto Nona Felica sedari kecil hingga sudah besar seperti saat ini.
Sebut saja aku maniak dan aku tidak peduli, aku memang menyukai Felica sedari ia kecil sama halnya seperti Alucard. Meski tidak ada yang mengetahuinya selain diriku sendiri, walaupun itu hanyalah hasil dari pencucian otak. Bagiku Nona Felica adalah segalanya, meski harus menyakiti orang lain untuk membahagiakan Nona kecilku.
Ku pejamkan kedua mata untuk mencoba meringankan rasa sakit di kepalaku, dan aku mulai terlelap dalam tidurku. Aku kembali membuka mata, rasanya tubuhku sudah ringan tetapi, aku rasa tidurku sangat singkat.
Aku menoleh ke arah jam dinding dan ternyata aku sudah tertidur selama enam jam. Cukup untuk mengistirahatkan tubuhku sejenak. Aku bahkan lupa melepas jas hitam milikku saat aku berbaring tadi. Sebaiknya aku membersihkan tubuhku dan kembali ke ruang rawat Nona Felica.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkan tubuhku, rasa segar menerpa wajah dan isi pikiranku. Aku harus kembali melihat kondisi Nona Felica, aku melangkah keluar ruangan tanpa memakai jas hitam milikku.
Memasuki ruangan yang tadi aku tinggali, kini terlihat Vicente yang sudah jatuh tertidur dengan pulasnya. Di sebelah Vicente terdapat Xavier yang menutup kedua matanya, meski aku tahu jika ia tidak tidur.
"Kalian pergilah dan istirahat," kataku dan mereka semua langsung menoleh ke arahku.
"Tapi-"
"Nona Felica tidak akan bangun beberapa jam kedepan,"aku lihat mereka mengangguk mengerti dan memilih keluar ruangan.
Aku mendekat ke arah ranjang dan melihat kondisi Nonaku yang sudah membaik, pasti gadis itu kelelahan. Aku membelai surai merahnya dan mengcup bibirnya yang pucat.
Teringat kembali saat aku masih belia, sebilah pisau sudah menjadi mainan untukku. Berlatih mempertaruhkan nyawa sudah menjadi makanan keseharianku. Semua hanya demi melindungi Nona Felica, ya hanya untuk gadis yang terbaring lemah di atas ranjang.
"Nero,"
"Ada apa, Nona?"
"Mama berkata kau menyayangiku,"
"Tentu saja, Nona. Aku menyangimu dan mecintaimu."
"Kalau begitu kau tidak akan meninggalkanku seperti White, bukan?"
"Tidak akan pernah, Nona."
"Janji?"
"Aku janji."
Aku tersenyum saat teringat kenangan indah itu, sebuah janji pada Nona-ku yang harus aku lakukan hingga akhir hayatku. Aku beterimakasih kepada Papa yang telah mencuci otakku, karena aku tidak ingin menyakiti Nona Felica.
Melihat apa yang telah terjadi pada Nona, aku berjanji untuk tidak lagi meninggalkannya walaupun mendapatkan misi dari Papa. Aku akan menolaknya dan memilih untuk bersama Nonaku yang berharga. Aku tidak ingin melihatnya menderita seperti ini, aku ingin melihatnya bahagia.
***
Tubuhku lelah, terjaga beberapa hari tanpa beristirahat. Bahkan jadwal makan siangku kini berubah-ubah untuk menjaga Felica. Gadisku yang malang, mengapa ia selalu mendapatkan hal buruk. Ini semua karena Papa yang tidak memberikan penjagaan khusus pada Felica. Gadisku memang sangat polos dan penuh keingintahuan di kepalanya.
Meski aku hanya diam selama ini, bukan berarti aku tidak memperhatikannya. Gadis itu sering melamun bahkan tidak sadar jika aku telah mencium kepalanya. Felica terlalu banyak memikirkan sesuatu dan gadis itu selalu memendamnya.
Aku selalu bertingkah bodoh di depannya agar Felica selalu tersenyum, senyumannya sudah membuatku ingin memeluknya setiap hari. Ya walaupun Alucard akan menendangku setelahnya. Kadang aku tidak menyangka diberikan sebuah nama yang tidak sesuai dengan wajahku yang lebih mirip orang asia.
Vicente Kanae Roulette, aku merasa tidak cocok memakai nama itu. Tetapi, nama itu adalah pemberian dari Papa yang telah mau mengangkatku menjadi salah satu anaknya. Aku kembali teringat kala harus bertahan hidup hanya dengan bermodal katana di tengah hutan pada usiaku yang menginjak 14 tahun.
Terlihat tidak manusiawi memang, tetapi semua itu demi melindungi Felica. Gadisku yang kini sudah tubuh dewasa. Skill memasaknya saja sudah luar biasa, dan aku menyukai makanan yang di buat olehnya. Aku tidak tertarik dengan wanita lain, aku lebih suka pada Felica lebih dari apa pun. Tetapi, aku sering merasa bersalah kala mengingat beberapa tahun lalu.
Felicia kembali berulah dan aku dengan terpaksa menebasnya dengan katana milikku. Dan sejak saat itu aku tidak menyukai katana yang berada di tanganku. Aku selalu melihat darah Felicia yang membanjiri tanganku, semua itu cukup membuatku menjalani terapi untuk melupakannya. Tetapi, sayangnya gambaran darah Felicia tidak pernah hilang di benakku, itu membuatku kesal dan semakin membenci katana.
Tanpa terasa aku sudah memasuki kamar tamu mansion Nero, terlihat luas dan para asisten milik Nero tampak bisa mengerjakan semuanya dengan sempurna. Aku rasa aku butuh tidur beberapa jam, tetapi aku tidak memiliki waktu untuk istirahat disaat kondisi Felica yang belum membaik.
Mengenai pencucian otak, aku teringat saat Papa terkejut tidak bisa mencuci otakku seperti pada Nero dan Xavier. Tetapi mereka semua mengira jika aku juga melakukan pencucian otak, yang sebenarnya aku tidak lakukan. Aku memang ingin menjaga Felica, gadisku tersayang, aku tidak butuh pencucian otak itu hanya untuk setia padanya. Karena pada akhirnya aku hanya menatap gadis itu.
Aku suka saat Felica menganggapku bodoh dan seperti anak kecil, ia selalu mengelus kepalaku untuk meminta maaf jika ia melakukan sesuatu yang salah. Felica begitu lugu dan menggemaskan, dan aku benar-benar menyukainya. Aku akan melakukan apa pun untuknya, aku tidak ingin melihatnya terluka seperti ini lagi.
Meski aku terlihat biasa saja saat Felica bersama lelaki lain, tetapi dalam hatiku ... aku ingin membunuh mereka semua. Aku memang bukan tipe lelaki pencemburu, tetapi aku hanya tidak suka gadisku di miliki lelaki lain. Karena tidak ada yang sebanding dengan Felica, maka aku harus terus bersama dengannya.
"Vicente, apa kau mau ku buatkan lasagna?"
"Kau bisa membuatnya?"
"Aku bisa, mau mencobanya?"
"Berikan padaku."
"Bagaimana?"
"Sejak kapan kau bisa memasak?"
"Sejak kau menyukai lasagna,"
"Kau akan menjadi istri yang baik, Felica sayang."
"Aku mau menjadi istrimu."
Aku terbangun dari tidurku, mimpi yang sama lagi. Sudah beberapa minggu ini aku selalu memimpikan hal yang sama, dan itu cukup menggangguku. Bagaimana tidak mengganggu, Felica mau menjadi istriku dan aku pasti menantikannya. Tetapi, saat melihat Alucard, entah mengapa aku menjadi tidak percaya diri.
Sudah berapa lama aku tertidur, aku langsung membersihkan tubuhku dan bersiap kembali ke ruang rawat gadisku. Ku buka pintu ruangan itu dan mendapati Nero yang sedang melamun sambil menggenggam tangan Felica.
Si kaku itu terlihat seperti orang bodoh yang meratapi nasibnya, meski begitu memang Nero adalah tipe pria yang setia meski aku yakin tidak akan sesetia itu jika otaknya tidak tercuci. Dalam masalah sains memang dirinya lebih ungul, tetapi dalam hal senjata ia hanya bisa memainkan pisau-pisau miliknya yang mampu membunuh orang dalam sekali lemparan.
Mata sendunya bergulir ke arahku, ia menatap malas sambil mengusir dengan gerakan tangannya.
"Pergilah, kau menggangguku."
Aku harus menahan tawa atas perkataanya, Nero memang selalu seperti itu. Tetapi, aku tidak membencinya, ia adalah saudaraku saat masih di panti asuhan hingga saat ini.
"Aku akan kembali tidur," kataku sambil duduk di sofa dan menatap malas ke arahnya.
"Selamat tidur."
***