Tae melihat perubahan Tee tidak terlalu ambil pusing karena mungkin saja memang Tee sedang kelelahan menunggunya di lapangan. Tae akhirnya mengantarkan Tee sampai ke depan rumahnya dan melanjutkan pulang.
Sedangkan di sisi lain, Tee berjalan dengan gontai menuju kamarnya. Dia merebahkan dirinya di atas kasur tanpa mau berniat untuk mengganti terlebih dahulu seragam sekolahnya.
Dia masih memikirkan perkataan orang-orang di lapangan tadi, entah kenapa hatinya sakit saat mendengar itu. Dia memang sudah terbiasa mendengar rumor tentang dirinya yang kadang sangat frontal dan menyakitkan, terlebih tentang ketertarikan seksualitasnya itu. Tetapi dia lebih merasa sakit jika rumor yang menyangkut Tae didalamnya. Contohnya sewaktu mereka masih duduk disekolah menengah pertama, beberapa teman-temannya mengejek Tee dan bilang kalau Tee dan Tae berpacaran hanya karena mereka memanggil dengan sebutan aku-kamu. Bukan itu saja yang membuat Tee sedih dan akhirnya menangis, tetapi ucapan yang membuatnya sakit hati adalah saat temannya Joy mengancam kalau Tae sampai ikut-ikutan menjadi gay yang menjijikan itu semua salah Tee yang memberikan pengaruh buruk pada Tae. Akhirnya, dia marah pada Tae dan tidak ingin mereka terlalu dekat lagi karena dia juga takut jika Tae jijik pada dirinya yang BI.
Dia mencintai Tae, tetapi jika perasaan itu mengganggu apalagi menghancurkan seorang Tae, mungkin tidak seharusnya dia berkata jujur malam itu.
Selama ini cukup dia pendam sendiri perasaan itu tanpa ingin Tae tau yang sebenarnya. Bahkan dia harus menelan pahit rasa cemburunya saat Tae berpacaran dengan wanita lain. Dia sanggup untuk berpura-pura dan memberikan senyuman terbaiknya saat Tae membagi ceritanya tentang pacar-pacarnya itu, walaupun sebenarnya Tee menahan sesak di dadanya bahkan menangis saat tidur karena itu.
"Ah aku harus gimana?" kata Tee monoton dan tidak terasa cairan bening jatuh dari mata sayu indahnya itu.