"Aku Harus Pergi!"
"Pergi!" aku terkejut bukan main.
Bunuh diri maksudnya?. Aduh jangan donk! Kalau kamu mati, yang bayar novelku siapa?. Lagian masa sampai segitunya sih. Toh, kalaupun kamu bunuh diri, ke neraka nggak akan ketemu Vine juga kan. Terus sia-sia donk, aku kerja selama ini. Tapi kalau emang maksa, bayar dulu ya, sisa pembayaran novelnya.
"Hallo?"
Dia memastikan apakah aku masih ada atau tidak.
"Eh, iya, emang nggak ada jalan lain ya?. Kamu yakin dengan keputusan kamu. Bagus sih buat akhir cerita, tapi….."
"Maksud Kamu?. Ini penting lo, urusan penting, paling cuman seminggu. Tapi kalau kamu maksa ya nggak papa sih aku suruh orang lain aja untuk pergi" jawabnya.
Lo, bukan mau pergi, bunuh diri?. Aduh gagal paham aku. Ini pasti karena kurang tidur. Pulang dari pemakaman kemarin jadi nggak bisa tidur.
"Nggak, nggak , nggak papa pergi aja. Yang lama juga nggak apa-apa" jawabku.
Kurasa Defiance akan bingung dengan ucapan yang baru saja aku katakana padanya.
"Oh, Ya, terus karena aku pergi berartikan, aku nggak bisa bawa kamu lihat barang-barang Artha, nanti kamu ke rumah aja ya?. Aku suruh yang kemarin jemput kamu lagi!"
Aku berfikir dengan sangat lemot. Lama sekali. Effect bangun tidur. Antara sadar dan tak sadar.
"Emm, nggak usah deh. Aku nggak usah dijemput aku ke sana sendiri aja."
"Kamu tau rumah ku?"
Ting tong, benar aku nggak tau alamat rumahnya.
"Rumahku itu, nggak bisa naik kendaraan umum. Kalau naik ojek onleine mahal. Motor kamu kan sudah kamu kembaliakn ke dealernya..."
Kali ini dia benar.
"Di rumah ada Bu Litta. Ok?"
Sebenarnya. Aku tak terlalau butuh melihat wajah Artha. Atapun melakukan penyelidikan tentang karekteristiknya. Sifatnya, atau biografinya. Tiger tak mau aku membuat tokoh fantasiku sendiri. Oleh sebab itulah, mau tidak mau aku harus melakukan riset melelahkan ini.
Aku jadi ingat. Satu-satu nya hal baik yang terjadi setelah insiden trip to the death kemarin adalah, saat kami makan di sebuah restoran. Ia membayar makanannya . Kami adalah pengunjung yang ke 10.00 di tahun tersebut. Mereka memberikan hadiah ponsel pintar. Tidak terlalu mahal, tapi bisa dipakai. Fifi hanya melihatnya tanpa menyentuhnya sama sekali. Seperti barang rosongkan, ia di taruh di bagasi.
Aku terrus melihat kearah bagasi. Aku mencoba ingatkan Fifi tak semua orang seberuntung dia.
"Kalau mau mabil saja. Aku sudah punya" jawabnya santai.
Hah, dia tau cara membuang barang kepada orang yang tepat. Dan inilah dia, ponsel baruku. Gratis. Rezeki anak soleh kata orang.
*****************************************************
~Rumah Fifi~
"Menurutku, Kau sama sekali tidak mirip dengannya!"
Litta beranjak dari tempat duduknya. Ia pergi meninggalkanku begitu saja di ruang tamu ini. Tuannya aneh, mungkin asisitennya juga aneh pikirku. Rumah ini pun sedikit berbeda dengan rumah pada umumnya. Dinding-dindingnya memang tak merasa kesepian karena hiasan, namun tak tak ada foto berkelas yang bisa kutemukan.
"Mencari sesuatu?" Litta mengejutkanku.
Ia menyuguhkan sesuatu di cangkir transparan. "Coba dulu ya?, ini adalah Teh Mawar, Strawberry Vanilla dan Raspberry"
Aku mencobanya. Dan rasanya
"Aneh ya?" Litta dapat menebak dengan baik bagaimana rasanya. Ia tertawa kecil,
"Ini adalah minuman kesukaan Artha. Aku menbuatnya bertahun-tahun sejak ia datang pertama kalinya ke sini~Tapi sepertinya rasanya memang aneh!"
Aku hanya tersenyum. Litta masih mendominasi pembicaraan kami.
"Dilihat dari manapun, nggak sama!" cetusnya.
"Apanya Buk?" tanyanku padanya. Ia seperti bicara sendiri dan bangkit dari tempat duduknya lagi .
"Ya, semuanya! Ian bilang kamu mirip sama Vine, tapi dari tadi aku lihat nggak ada mirip-miripnya sama sekali, maaf ya…"
"Lihat!, .." katanya sambil menunjukkan sebuah album foto usang yang ia ambil dari bawah meja.
"Nggak mirip sama sekali !" kritiknya lagi. Aku hanya tersenyum nyengir.
"Eh, tapi~" tiba-tiba nada bicara ibu Litta berubah menjadi hangat dan ceria. "Bagi ibu ma, nggak penting, yang penting ini," ia menunjukkan kunci padaku.
"Ibu, sudah siapain semuanya!" Ia menarikku. Membawanya ke sebuah kamar.
"Kami menyimpan semuanya di sini!" Jelasnya padaku. "Ada baju, buku, tas, semuanya ada di sini!"
Ia membuka-buka isi lemari sekilas untuk menunjukkan isinya secara sekilas. Ada banyak di dalammnya. Mulai dari gaun mahal sampai hal-hal tak penting lainnya. Sungguh semua hal ada di sini. Rak-rak kaca berjajar, buku-buku tersusun rapi, serta meja rias yang di penuhi make up. Luar biasa, selain kamar yang empat kali lebih luas, ada kama3r mandi serta walking closet di kamar ini.
"Semua sudah ibu buka, nggak perlu dikunci!. Kamu bisa lihat apapun dan mengambilnya. Satu lagi, kalau butuh apa-apa ibu ada di lantai satu ya?"
****************************************************
Kamar Vine Artha sungguh luas dan nyaman. Dengan segala fasilitas serta kemewahan. Ada pintu kaca dan balcon. Saat pintu besar ini terbuka, Wallla. Aku bisa melihat pemandangan di sekitar rumah yang lebih tepatnya disebut Villa. Mengagumkan, balcon ini benar-benar tempat yang nyaman, udara terasa dingin di sini. Bahkan jika AC dimatikanpun, aku yakin, aku tak akan merasa kedinginan.
Di salah satu sudut di kamar ini, ada gaun pengantin mewah yang terpajang rapi pada etalase kaca.
"Gaun itu, tak pernah dipakai. Bahkan setelah jadipun, Artha tak mencobanya. Ia ingin gaun itu hanya dipakai saat hari pernikahan. Sayangnya, hal itu tak pernah terjadi" Jelas Litta pada ku tadi.
Aku mengamatinya. Masih ada labelnya. "Dea Sante Milla" . Ku rasa itu nama pembuatnya. Memang terlihat kuno, tapi tetap saja mengagumkan. Dari kualitas kainnya, desainya, tafsiran hargaku bisa di atas seratus juta. Dan itu sepuluh tahun yang lalu. Terbayang betapa istemewanya Vine Artha.
Di salah satu meja, ada beberapa album foto. Albumnya saja indah, apalagi fotonya. Di dinding, ada sebuh lukisan menawan bidadari khayangan, Artha. Dengan gaun hijau. Tentu saja ia tak mirip denganku. Rambutnya saja pendek. Matanya indah sekali.
"Dari depan dan belakang tak mirip juga" itulah gerutu Litta saat melihatku tadi. Bagaimana mau mirip, Vine adalah bidadari, aku. Cuma manusia biasa. Satu-satunya yang mebuatku lebih berharga dari padanya adalah, aku masih memiliki umur sampai sekarang.
Aku mendekati pemutar musik yang ada di meja rias. Aku menyalakannya. Musikpun mulai mengalun dengan jernih. Ini bukan lagu modern, tapi tentu saja, ini lagu kesukaan Artha. Akupun meraih beberapa album foto, dan membawanya duduk di samping pintu menghadap ke balkon. Album pertama berisi Artha dan semua aktifitasnya. Mulai dari kuliah, belajar, atau hal-hal biasa.
Album kedua, adalah liburannya, pantai, gunung, laut. Dia bisa berenang. Menyelam dengan para hiu. Semua masih tentang dia. Kehidupan yang sempurna. Album ketiga tak jauh berbeda. Ada foto, membantu korban bencana alam, pendakian, serta beberapa pesta ulang tahun. Album ke empat, ini berbeda. Hanya ada foto batu nisan Artha di halaman terakhir. Di halaman awal semuanya kosng. Memang sengaja kosong atau….
Byur! Wusss! Wusss!
Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras sekali. Padahal tadi terlihat cerah. Gelegar Guntur terdengar sangat keras. Aku segera bediri dan menutup pintu balkon. Jika tidak, air hujan akan masuk ke dalam kamar dan membuat basah semua lantainya.
Cuaca sekarang memang tak bisa di prediksi. Aku mengembalikan album foto dan duduk di ranjang empuk milik Vine. Sungguh hujan yang deras. Tapi belum pernah aku melihat hujan seindah ini dari balik kamar.