"Li, liat deh bintangnya."
Dario menunjuk bintang. Kini kedua manusia itu sedang berbaring di atap rumah Marchel sambil menatap langit. Emilia diam sambil menatap lurus, belakangan ini ia agak sering melamun, bahkan Dario saja heran saat ia berbicara sering tak di tanggapi.
"Aku ... Suka melamun sambil liat bintang, tau." Dario melirik gadis di sebelahnya, masih tak ada tanggapan.
"Mereka banyak teman, tau. Di ujung sana masih banyak ribuan bintang yang berdesakan."
"Bodo amat, kampret!!"
"Ish," Dario duduk, dan meraih sebatang cokelat dari kantong plastik berlogo minimarket itu. Ia mengunyah cokelatnya sambil menatap bintang. "Kamu tau gak, kata orang, cokelat bisa naikin mood?"
"Nggak," tapi gadis itu menerima saat Dario memotek cokelat itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Iya, tau. Aku kata Mama Caca."
"Kata emak gue, kalo lagi badmood, nyebat aje." Emilia melipat lengannya dan meletakkan di belakang kepala, menjadikannya alas tiduran.
"Ish." Dario manyun. "Ngerokok gak baik buat tubuh, apalagi kamu perempuan yang tubuhnya lebih rentan dari lelaki. Aku gak mau tubuh kamu sakit, Li." lanjutnya sambil melirih, mengunyah cokelat itu lamat-lamat.
Emilia menghela napas. "Tapi kalo nyebat, gue berasa pikiran gue kebawa sama asep."
"Mending kamu cerita ke aku aja kalo nggak olaf. Tapi aku saranin sama aku, soalnya aku bisa nyaut terus kasih solusi." Dario menelan cokelatnya dan memberikan seulas senyum.
Emilia memiringkan tubuhnya, "Iya, gitu?" godanya. Dario menarik kedua bibirnya kedepan. "Iya dong!"
"Aaaa," Dario mengarahkan cokelat lagi pada gadis di hadapannya. Emilia sedikit mengangkat kepala dan menerima suapan itu. Gadis itu kini meringsek lebih dekat ke arah Dario. Emilia masuk ke dalam kedua kaki Dario yang berselonjor terbuka dan duduk di depannya. Mendekap cowok berambut cokelat itu.
Sebelum Dario balas mendekapnya, Emilia merasakan jika ada sebuah benda lebar lembut yang membungkus dirinya, dan kemudian kedua tangan menyusul mendekap erat punggungnya.
***
"EH CENTIL, MOLOR MULU LU! UDAH JAM TUJUH LIMA BELAS, GERANDONG!"
Emilia menggosok telinganya yang bergetar karena suara Mamanya yang begitu lantang. Gadis berambut pirang itu menatap sang Mama dengan mata setengah menutup. "Tebir lu, Ma!"
"Buju buneng! Gue di katain tebir? Gue kipak juga lu!" balas Rachel, kini Mamanya itu memungut beberapa bungkus sisa makanan dan mengumpulkannya dalam plastik berlogo minimarket sebelum membuka gorden jendela kamar anak gadisnya.
"Bangun atau gue aduin Papap kalo lu demen nyebat!"
"Dih," Emilia mengeratkan selimut. "Tinggal bilang kalo biangnya itu Emak gue yang tebir!"
"O-ow!" Rachel menggoyangkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. "Tidak semudah itu ferguso! Dari awal kita pdkt, doi udeh tau gue demen nyebat, gimana? Siape sih yang gak kenal pentolan Antariksa? Anjay."
"Begajulan amat, sik." Emilia melangkahkan kedua kakinya ke kamar mandi. Gadis itu mandi dan bersiap sambi sesekali menggerutu.
Setengah jam kemudian, dengan banyaknya omelan-omelan Rachel, akhirnya Emilia sampai di depan gerbang sekolahnya. Ia turun dari mobilnya dan beranjak ke arah depan gerbang. "Pak, tolong buka."
Satpam yang sedang duduk di posnya itu kini menatap Emilia jengah. "Telat terus si, neng? Mental baja ye? Kebal amat sama hukuman."
"Gue minta lu buka gerbang bukan buat nyinyir!" sentak Emilia, sang satpam yang sudah sangat mengenal Emilia, bahkan Mamanya, Rachel pun hanya menghela napas. Lalu membukakan pintu gerbang lebar agar mobil Emilia bisa masuk ke parkiran.
"Cakep-cakep galak. Bener-bener fotokopian Enyaknye."
Emilia memarkirkan mobil yang ia bawa dan kini berjalan ke dalam gerbang dalam, dan menghela napas begitu melihat dua guru piket sedang berjaga.
Saat dengan santai Emilia berjalan melewati dua guru piket yang sedang bertugas, salah satu guru itu berdeham. "Emilia Alfaro, sebelas IPS empat." ejanya. Emilia akhirnya menghentikan langkah dan menatap dua guru itu malas.
"Di hari rabu, datang jam delapan pagi. Apa jadwal di sekolah ini ada yang masuknya jam delapan?"
"Kamu kira sekolah milik nenek moyang kamu!"
Emilia mengetuk ujung sepatunya. "Kan saya bayar," jawabnya santai. Sang guru sedikit menggeram. "Lari lapangan basket dan voli lima kali, Emilia Alfaro!"
"Oh, oke." sahutnya datar.
Emilia melirik dua guru itu yang kini sibuk mengerjakan tugas entah apa lagi di meja piket. Emilia melanjutkan langkahnya, tapi bukan ke arah lapangan. Melainkan ke arah ruang TU.
Gadis itu sedikit melihat sekeliling. "Sepi," gumamnya.
Ia mengendap dan langsung memencet sebuah bel yang bertanda khusus jika ada kebakaran, bel itu letaknya tepat di samping ruang TU. Dan berlari secepat mungkin menjauh dari sana setelah memencet benda itu cukup lama.
Kringgggg ... Kringggg ... Kringggg ...
"KEBAKARAN!" bahkan dalam pelariannya ke arah rooftop lewat tangga yang tersembunyi di sebelah kanan gedung, Emilia sempat mendengar sebuah teriakan salah satu murid. Dan di susul suara gaduh lain yang Emilia sendiri yakini berasal dari seluruh siswa siswi SMA Antariksa yang berhamburan keluar kelas.
Emilia tertawa puas, "Mampus kalian!"
Emilia kemudian naik dengan lancar di atap sekolah. Gadis pirang bebal tersebut berkacak pinggang mengamati beberapa murid sekolahnya keluar kelas. Tak lama Pak Nuri, guru kesiswaan, bersama Pak Joko, guru BK. Berdiri di depan lapangan. Kedua guru tersebut memegang mic sekolah dan berbicara.
"Tolong tenang semua, tolong tenang. Tidak terjadi apa-apa. Tolong tenang, semuanya bisa kembali ke kelas dan mulai belajar kembali."
Suara sorakan 'HUUU' terdengar dari seluruh penjuru gedung, bahkan Emilia ingin tertawa sekeras-kerasnya saat mendengar suara celetukan para kakak kelasnya para cowok dan bisa di bilang pentolan Antariksa.
"YAH KENAPA KAGAK JADI KEBAKAR INI PENJARA SUCI?"
"YAH, KAGAK JADI KEBAKAR DONG!"
"BAKAR AJA UDAH, BAKAR."
Lalu suara sorakan semakin kencang.
"BAKAR, BAKAR, BAKAR, BAKAR, BAKAR. AYO BAKAR PENJARANYA!!"
"DIAM SEMUANYA, BALIK KE KELAS ATAU KALIAN SAYA BERI SURAT PERINGATAN!" ancam suara di mic itu lagi.
Suara sorakan 'HUUU' terdengar nyaring, lagi.
***
Mitha, Ibu dari Lena, langsung menjerit kala melihat jari tangan anaknya yang sedang terbaring koma bergerak. Ia langsung berteriak memanggil-manggil dokter.
Seorang dokter pun datang bersama seorang suster, dokter itu memeriksa keadaan Lena dan tersenyum tipis pada Mitha. "Dia baik-baik saja, beberapa jam lagi mungkin dia akan bangun."
Mitha mengelus dadanya dan kembali duduk di kursi samping brankar tempat Lena. Ia memandang anaknya sendu dan mengelus kepala anaknya yang di balut perban.
Ceklek.
Pintu ruang inap terbuka, Mitha melihat dan ternyata Safna, anak bungsunya. Adik Lena.
"Gimana, Kakak?" tanya Safna sambil mengunyah permen karet rasa mint nya.
"Tadi jarinya bergerak, kata dokter beberapa jam lagi dia bangun." Mitha kembali menatap Lena. "Kamu kok udah pulang?"
Safna kembali duduk di sofá dekat pintu masuk, gadis itu mengangkat kedua kakinya ke atas meja kecil di depan sofá. "Bolos. Gabut di sekolah."
Mitha memandang anaknya. "Sekolah yang bener, jangan badung-badung, Safna!"
"Udah si, Ma. Safna masih kelas sepuluh. Masih baru dateng di jaman putih abu-abu."
"Kamu jangan anggap enteng Safna. Nakal boleh, tapi jangan bodoh!"
"Dih, anak sendiri di katain bodoh!"
"Mama gak bilang ya!" Mitha mengelak.
"Ma, udah pokoknya tenang. Udah tenang!"
"Tenang, tenang. Kamu anak gadis Mama! Orangtua mana yang gak takut anaknya kejerumus ke hal negatif?!"
Safna menyandarkan lengannya di sofá yang ia duduki. Gadis itu meraih remot TV dengan tangan kanannya.
"Aku udah tau siapa pacarnya Emilia. Di sini aku pemainnya. Mereka cuma wayang aku yang gak berguna, Ma. You know what I mean?"
Mitha tertegun sebentar. Setelah itu ia tersenyum menatap anak bungsunya.
***