Ambil nilai positifnya dan buang nilai negatif dari cerita gue:)
Selamat membaca:)
9. Bermain Insting
Ada yang lebih sakit dari patah hati karena otak terlalu mendominan, yaitu ketika hati mengecoh otak dengan sebuah insting dan membuat kita jatuh karena harapan.
***
"Kalka nagih uang tiketnya, dia bilang cepet bayar soalnya uang bulanan dia menipis," kata Lamanda. Ia baru saja mengabarkan kabar buruk pada kedua sahabatnya. Buruk karena isi dompet keduanya sebentar lagi akan beralih ke tangan panitia konser 5SOS minggu depan dan dompet mereka akan semakin kurus.
Ah, seandainya Kalka berbaik hati dan mentraktir tiket konsernya, sudah pasti mereka akan menerimanya dengan lapang.
Karena sebenarnya, cewek itu realiatis bukan matrealistis. Mereka akan merasa terancam bahaya kalau dompetnya mulai menipis. Itu alasan cewek lebih suka hal-hal berbau gratis. Dan itu juga berlaku bagi Arsya dan Kaila.
Jika saja mereka disuruh memilih untuk membeli baju dengan harga selangit atau baju sale dengan harga murah tapi letaknya jauh dari jangkauan maka mereka akan lebih memilih opsi yang kedua.
Pernah suatu waktu ada diskon besar-besaran di BIP maka dengan senang hati dan semangat mereka berangkat kesana. Hanya demi membeli beberapa mini dress dan sweater.
Padahal Lamanda sudah mengingatkan bahwa akan sama saja harganya karena Jakarta ke Bandung tidak bisa dibilang dekat. Lebih baik mereka membeli di tempat yang lebih dekat daripada harus ke tempat yang jauh. Itu hanya akan membuang banyak tenaga dan waktu, juga materi
Tapi, namanya juga cewek, logikanya sering tidak berjalan kalau sudah melihat tulisan diskon 75%.
"Kirain Kalka mau bayarin gue," kata
Kaila asal.
"Dih, pacar aja bukan," cibir Arsya.
Arsya benar. Kaila bukan siapa-siapa Kalka. Harusnya ia sadar diri dan tidak berkata bodoh seperti tadi. Kesannya Kaila masih belum bisa move on dari Kalka padahal ia mati-matian menyembunyikan keadaan hatinya.
Kaila memang sering lupa bahwa hubungannya dan Kalka tidak bisa dibilang baik. Rasanya baru kemarin mereka bersama tapi sekarang seakan ada benteng tak kasat mata di antara keduanya. Mereka seakan jauh meskipun mereka berada dalam satu ruangan yang sama sekalipun.
Ternyata poros dunia berputar juga berlaku dalam cinta. Yang awalnya cinta bisa jadi benci, yang awalnya benci bisa jadi cinta bahkan yang awalnya saling tidak ingin melepaskan bisa jadi saling ingin melepaskan.
Seperti mereka, yang awalnya sangat dekat satu sama lain pada akhirnya berlaku seperti saling tidak mengenal satu sama lain.
Dan itu semua karena kebodohannya. Jika saja ia sedikit bersabar dan tidak terburu-buru mengutarakan perasaanya pada Kalka, semuanya pasti akan berjalan baik-baik saja, seperti dulu. Dan Kalka tidak akan menjaga jarak dengannya. Mereka akan berteman baik tanpa sekat seperti sekarang.
"Nanti gue bayar deh. Tapi gue nggak ikut," putus Kaila. Alasan Kaila ikut nonton karena ia ingin menikmati waktu di dekat Kalka tapi karena ucapan Arsya tadi Kaila jadi merasa seperti cewek yang sedang mengemis cinta. Ia seperti mengejar sesuatu yang jelas-jelas tidak ingin dikerjar.
"Kenapa?" tanya Lamanda.
Kaila berdengung, kemudian tersenyum ke arah Lamanda "Lukisan gue buat pameran belum kelar."
Arsya gemas sendiri mendengar jawaban Kaila. Kaila bohong. Arsya tahu jika Kaila sudah menyelesaikan lukisannya jauh-jauh hari. Kaila yang mengatakannya sendiri waktu itu. Menurut Arsya, Kaila terlalu munafik bahkan pada dirinya sendiri. "Nggak usah munafik jadi orang," ketus Arsya.
Arsya benar. Kaila memang munafik tapi seharusnya ia tidak perlu melontarkannya secara frontal di hadapan Kaila. Ucapan Arsya tadi membuat Kaila sakit hati. Tapi Kaila tidak membalas karena Arsya memang begitu sifatnya. Daripada ribut mending ia mengalah.
"Pokoknya gue nggak mau ikut," kata Kaila, tetap keukeuh dengan keinginannya.
"Padahal Kalka nanyain lo ikut apa enggak," kata Lamanda. Membuat mata Kaila melebar.
Lamanda tidak berbohong ataupun hanya ingin membesarkan hati Kaila. Tadi pagi sebelum Lamanda turun dari mobil Kalka memang menanyakan hal tersebut.
"Serius?!!" pekik Kaila dengan mata berbinar. Ia tidak percaya. Rasanya ia ingin menjerit dan loncat-loncat sekarang.
"Makanya kalau masih cinta tuh bilang," sindir Arsya.
"Lo kenapa sih, Sya sinis banget ke gue? Gue ada salah sama lo?"
Arsya berdecak, "Lo lebih sensitif dari pantat bayi tau nggak."
Kadang, sahabat harus lebih frontal untuk mengucapkan pendapatnya. Karena, sahabat untuk pengkritik bukan pemunafik.
"Lo sadar nggak sih selama ini diem-dieman sama Kalka seakan nggak saling kenal. Lo sok baik-baik aja tapi sebenarnya enggak kan?"
"Ya terus masalahnya sama lo apa? Lo juga suka Kalka? Embat aja sana!"
"Jaga omongan lo ya!! Kalau gue suka sama Kalka udah gue embat dari dulu, nggak perlu nunggu lo nyuruh!"
"Nggak usah ngegas dong. Lagian lo yang mulai ngajakin ribut."
Arsya mendengus. Bertengkar dengan Kaila memang sudah biasa baginya. Ia memang tidak suka jika Kaila masih saja sok baik-baik saja soal hubungannya dengan Kalka. Ia hanya tidak ingin jika sahabatnya itu lama terjebak dalam zona menyakitkan yang ia ciptakan sendiri.
"Ya udah sih ya, nggak usah baper," kata Arsya. Ia meraih dan membuka botol tupperware di dekatnya lalu meminum air yang di bawa Lamanda itu. Ia menengadah, matahari sangat terik saat ini, tapi karena taman belakang sekolah teduh oleh pohon flamboyan jadi ia tidak terlalu merasakan panas.
"Lagian lucu kali ya kalau gue taken sama Kalka. Kan mumpung jomblo tuh anak. Mana dia baik banget ke gue," kata Arsya seolah memanas-manasi Kaila.
"Taken aja sana. Nggak ada yang ngelarang. Itu pun kalau Kalka mau sama lo," ketus Kaila.
"Kalian kenapa jadi ngeributin Kalka sih? Padahal tadi cuma bahas uang tiket. Mending kalian lanjutin makan deh daripada ribut terusan," lerai Lamanda. Ia menarik kotak bekalnya dan memakanya sedikit lebih cepat kalau tidak pasti ia tidak akan kebagian karena Arsya dan Kaila bisanya cuma minta dan tidak membawa bekal sendiri. Selalu begitu. Kalau disuruh beli di kantin jawaban mereka pasti sama.
Lagi hemat.
Mereka tidak bicara lagi setelah itu. Ketiganya fokus makan terlebih Kaila yang sedari tadi kebagian sedikit. Lamanda hanya pasrah menghadapi sahabat-sahabatnya itu. Kalau perlu besok ia akan membawa bekal dengan porsi triple.
Usai makan bekal seperti biasanya, mereka bergegas untuk menuju kelas masing-masing karena bel sudah berbunyi. Saat melewati koridor pandangan Lamanda teralih pada siswa yang tengah berdiri di koridor tepatnya di hadapan seorang guru.
Lamanda menghentikan langkahnya diikuti Arsya dan Kaila. Ia memicingkan matanya melihat sosok yang diketahuinya itu sedang dalam masalah.