Dengan sabar Leon mengikuti Nadia yang sedang memilih-milih lipstik. Dugannya, Nadia sudah benar-benar melupakan tujuannya untuk datang ke department store tersebut. Ia akhirnya mencolek bahu Nadia.
"Hmm," sahut Nadia ketika Leon mencoleknya.
"Lu lupa tujuan awal kita ke sini?" bisik Leon di telinga Nadia.
Nadia terkesiap dengan bisikan Leon. "Oh my God." Ia kemudian meletakkan lipstik yang sedang ia pegang. Takut-takut ia menoleh dan cengar-cengir pada Leon. "Gara-gara lipstik jadi lupa."
Leon balas tertawa pada Nadia. Namun sedetik kemudian tawanya menghilang dan wajah Leon berubah kesal. Ia segera menarik tangan Nadia dan keluar dari toko kosmetik itu.
Mereka kemudian segera menuju toko yang menjual perlengkapan olahraga. Leon menghampiri Penjaga toko dan menanyakan tentang sarung tinju serta perlengkapan lain yang sering digunakan dalam olahraga tinju kepada Penjaga tersebut.
Penjaga toko kemudian membawakan beberapa sarung tinju, hand wrap, head protector bahkan groin protector ke hadapan Leon.
"Wow," gumam Nadia ketika ia melihat groin protector. Ia kemudian berbisik pada Leon. "You need to have it."
"Shut up," sahut Leon.
"In case, kalo ada mantan lu yang mau macem-macem ke situ," timpal Nadia sembari melirik ke area bawah perut Leon.
"I'll take this," ujar Leon pada Penjaga toko. Ia menunjuk pada sarung tinju berwarna hitam dan sebuah hand wrap.
Penjaga toko segera memisahkan sarung tinju dan hand wrap yang dipilih Leon. Selagi Penjaga toko menghitung jumlah belanjanya, Leon kembali berbicara pada Nadia. "Where's my card?"
"Hah?" sahut Nadia.
"Mana kartu gue yang tadi pagi gue kasih ke lu?"
"Ooh," gumam Nadia. Ia pun mengeluarkan dompet dari tasnya dan mengambil kartu kredit milik Leon yang ia simpan di dalam dompetnya. "Here's your card."
Leon menerima kartu kreditnya dan melirik jahil ke arah Nadia. "Lu pasti lagi bayangin gue yang aneh-aneh."
"Bayangin apa?" sahut Nadia.
Leon tidak menjawab pertanyaan Nadia. Ia mengulurkan tangannya untuk memberikan kartu kredit miliknya kepada Penjaga toko, namun matanya melirik ke arah celananya sembari tersenyum nakal pada Nadia.
Nadia memutar bola matanya dan meninggalkan Leon yang masih bertransaksi di meja kasir. Leon tertawa pelan melihat Nadia yang berjalan keluar dari dalam toko olahraga itu.
Setelah Leon selesai membayar sarung tinju dan hand wrap yang ia beli, dengan setengah berlari Leon menghampiri Nadia yang sudah berada di luar toko.
Leon langsung merangkul Nadia yang sedang membuka media sosialnya. "Laper. Makan, yuk?"
"Steik," jawab Nadia.
"Anything you want," sahut Leon. Ia melepaskan rangkulannya dan keduanya berjalan beriringan untuk meninggalkan Macy's.
-----
Setelah meninggalkan Macy's mereka pergi menuju salah satu restoran steik yang masih berada di jalan yang sama dengan lokasi Macy's berada.
"Persiapan kita buat di Jakarta gimana?" tanya Leon sembari memotong-motong steik yang ada di hadapannya. Begitu daging steik itu sudah terpotong-potong, ia memberikannya pada Nadia .
Nadia menerima piring steiknya, sementara Leon meraih piring yang ada di hadapan Nadia. Sudah menjadi kebiasaan Leon untuk memotong-motong steik milik Nadia sebelum ia menyantapnya. Ia beralasan agar Nadia bisa makan dengan lebih cepat.
Namun, alasan sebenarnya adalah ia tidak ingin melihat Nadia mendadak pingsan hanya karena jemarinya yang tidak sengaja terpotong ketika ia sedang memotong daging steik miliknya. Karena ia pernah menyaksikan sendiri ketika Nadia yang jatuh pingsan hanya karena tidak sengaja melukai jemarinya dengan pisau ketika sedang memotong buah.
"Apartemen sudah siap. Dua kamar, karena untuk menghemat, lebih baik kita tinggal bareng," ujar Nadia pada Leon. Ia melirik Leon. "Jangan mikir aneh-aneh. Ini bukan pertama kalinya kita tinggal bareng."
"Tapi, ini pertama kalinya kita bener-bener tinggal bareng. Dulu itu, lu tinggal di rumah gue karena Nyokap lu yang kerja sama Nyokap gue. Jadi harusnya itu ngga masuk hitungan," sahut Leon.
"Yaa, whatever you say," timpal Nadia. Ia kemudian melanjutkan kata-katanya. "Untuk mobilitas lu nanti, lu mau pake mobil apa?"
"Apa aja, lah. Kalo bisa siapin motor juga, Nad."
"Motor? Lu mau gue digantung sama Nyokap lu apa gimana?" seru Nadia.
"Ini rahasia kita berdua aja," ujar Leon. Ia kemudian menatap Nadia dengan tatapan setengah memohon. "Please."
"Gue pikir-pikir dulu," sahut Nadia.
"Yes, thank you."
"Gue belum bilang iya."
"Gue yakin lu bakal nyediain motor buat gue," ujar Leon sembari terkekeh.
Nadia berdecak pelan. "Anda terlalu percaya diri."
"Penerbangan gimana? Kapan fix-nya kita berangkat?" tanya Leon.
Nadia nampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Leon. "Paling cepet dua atau tiga hari lagi. Karena, menurut orang yang kontak-kontakkan sama gue di Jakarta, mereka juga masih menyiapkan beberapa dokumen sebelum kedatangan lu ke sana."
Leon manggut-manggut mendengar jawaban Nadia. "Oke." Ia menatap Nadia sambil tersenyum lebar. "Lu emang Asisten pribadi kesayangan gue. Meskipun lu kadang kurang ajar mentang-mentang kita udah temenan dari SMA."
Nadia menghela napas panjang. "Cuma gue yang sabar ngadepin lu sekaligus Nyokap lu itu."
"Gue udah ngga sabar mau ke Jakarta," ujar Leon. "Rasanya kaya mau pulang kampung."
"Kaya pernah pulang kampung aja," timpal Nadia.
"Bodo." Leon menjulurkan lidahnya pada Nadia.
Nadia berdecak pelan dan menandaskan steik yang ada di piringnya. Diam-diam ia mengamati wajah Leon yang nampak sangat ceria. Perubahannya sangat kentara jika dibandingkan dengan tadi siang setelah ia makan bersama dengan Ayah tirinya.
----
Aslan menguap lebar sambil meregangkan tubuhnya di atas sofa usang yang menjadi tempat tidurnya. Ia mengucek matanya sementara tangannya berusaha meraih ponselnya yang ia letakkan di lantai.
Matanya langsung membuka begitu ia tidak menemukan ponselnya. Seketika ia terduduk di sofa usang tersebut dan langsung gelagapan mencari ponselnya.
"Handphone lu ada di atas meja," seru Bang John.
Aslan langsung menoleh ke arah meja yang di tunjuk Bang John. Ia menghela napas lega ketika melihat ponselnya ada di atas meja tersebut.
"Naro handphone sembarangan. Untung ngga keinjek sama gue," ujar Bang John.
"Abang, kok, ngga bangunin gue?" tanya Aslan. Ia bangkit berdiri lalu berjalan ke arah meja untuk mengambil ponselnya.
"Ngga tega. Abisnya lu keliatan pules banget," jawab Bang John.
Aslan tertawa pelan mendengar jawaban Bang John. "Lain kali bangunin aja, Bang. Kan, gue udah janji mau bantuin Abang bersih-bersih di sini. Kalo begini, kan, gue jadi ngga enak sama Abang."
"Kalo lu ngerasa ngga enak, mending sekarang lu bikinin kopi buat gue," pinta Bang John.
"Oke," sahut Aslan. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke arah pintu sasana.
Nih, duitnya." Bang John menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan pada Aslan ketika ia melewatinya.
"Pake duit gue aja." Aslan melanjutkan langkahnya dan berjalan keluar dari sasana.
*****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys
and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..
Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya dan juga berikan dukungan kalian melalui vote, review dan komentar. Terima kasih ^^