Sudah dua hari semenjak Catherine pulang dari rumah sakit dan selama itu pula dia menganggur di rumah. Si kembar yang biasanya sulit dibangunkan, malah sudah bangun terlebih dulu sebelum dibangunkan. Tidak hanya itu, biasanya Cathy yang membantu si kembar memasukkan buku-buku pelajarannya malah sudah beres di malam sebelumnya.
Disaat dia hendak membantu di dapur, Anna memaksanya bahkan mengusirnya dari dapur. Cathy mencoba membersihkan gudang atau menata ulang perabotan di kamarnya, Bibi Len segera mencegahnya dan menggantikannya untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Dia tahu dokternya berpesan padanya tidak boleh terlalu capek dan banyak istirahat. Tapi ini sudah keterlaluan. Catherine bukanlah orang yang bisa duduk diam tanpa melakukan sesuatu. Dia pasti akan merasa gila jika hanya terus berbaring menatap langit-langit atapnya yang bewarna kelabu.
Biasanya kalau dia menganggur di rumah, dia akan membongkar isi kardus di gudang dan mengambil sesuatu yang dikira bisa dibutuhkannya. Atau dia akan merapikan lemari pakaian adik-adiknya yang hampir setiap hari berantakan. Adiknya tidak memiliki kesabaran dalam mengambil baju di lemari, alhasil baju yang terlipat rapi bisa terjatuh dan menjadi kusut. Lalu mereka hanya melempar baju yang terjatuh itu ke dalam lemari secara asal.
Namun tiap kali dia mau bersih-bersih atau merapikan lemari, Bibi Len lagi-lagi melarangnya dan bersikeras untuk menggantikan kegiatannya.
Dia merasa seluruh penghuni di rumah ini melarangnya untuk beraktivitas.
"Aku akan gila kalau aku tidak melakukan sesuatu." protes Cathy pada Bibi Len.
"Nona bisa bersantai menonton film sambil makan cemilan. Bagaimana?" Bibi Len malah memberikan usulan seperti ini yang membuatnya sebal.
Namun akhirnya Cathy menurutinya dan melangkah ke arah ruang keluarga. Disana dia melihat bayangan ketiga adiknya saling bercanda ria diikuti tawa candaan pamannya disana. Sedetik kemudian bayangan wajah mereka semua menghilang.
Cathy sangat merindukan masa-masa itu dimana pamannya akan rutin pulang dan makan bersama dengannya serta adik-adiknya. Dia cukup merasa sedih saat berpikir bahwa pamannya kembali tidak peduli pada keponakannya. Ternyata dia salah.
Rupanya Benjamin sering menanyakan kondisinya saat dia dirawat inap di rumah sakit melalui Anna. Bahkan Bibi Len dan Anna dengan kompak mengatakan bahwa Benjamin benar-benar khawatir terhadapnya.
Cathy merasa terheran-heran, jika Benjamin memang peduli padanya; jika dia memang mengkhawatirkan keadaannya, kenapa pamannya tidak pernah menjenguknya di rumah sakit? Cathy mendesah menyerah tidak mau pusing mencari jawabannya.
Sekali lagi Catherine menghela napas. Dia kembali fokus pada film yang dipilihnya sambil makan cemilan. Ini pun juga terasa membosankan. Apalah artinya menonton film jika dia sendirian? Akhirnya dia hanya mengambil ponselnya dan membrowsing salah satu aplikasi media sosialnya.
Tidak lama kemudian sebuah chat dari aplikasinya berbunyi. Cathy membuka chatnya dan membaca pesan yang baru diterimanya.
'Hai, bagaimana keadaanmu sekarang?'
Untuk pertama kalinya dia merasa kesal dengan chat dari pria bernama Vincent. Dan entah sejak kapan dia bersikap layaknya seorang gadis yang manja jika berhadapan dengan pria itu. Pokoknya bukan seperti dirinya selama ini.
'Bosan setengah mati!'
Beberapa detik kemudian dia mendapatkan balasan.
'Dandan yang cantik sana. Aku jemput setengah jam lagi.'
Cathy segera bangkit berdiri dan berganti pakaian. Akhirnya.. akhirnya dia bisa keluar dari kurungan rumahnya.
Masalahnya adalah... bagaimana dia bisa berdandan dengan cantik? Setelah melihat isi lemarinya, dia memilih sebuah setelan yang dulu pernah dipilihkan Anna untuknya, kemudian memasang make up soft yang natural seperti biasanya. Untuk memastikan penampilannya, dia keluar mencari Bibi Len.
"Bibi Len bagaimana penampilanku?"
"Wah, nona terlihat cantik sekali."
"Benarkah?"
"Benar. Teman kencan anda pasti terpesona."
Kedua pipi Cathy merona mendengar itu. "Dia bukan teman kencan. Dia hanya teman biasa." lanjut Cathy dengan sangat pelan membuat Bibi Len tersenyum geli.
Terdengar bel rumah menandakan Red Rosemary kedatangan seorang tamu. Cathy pamit pada Bibi Len dan berjalan keluar membuka pintu gerbang rumahnya. Seperti yang diduganya Vincent telah berada disana bersender di pintu sebuah mobil mewah bewarna hitam dengan santai.
Mobil?? Mobilnya siapa? Dia yakin dia tidak pernah melihat mobil itu di rumahnya.
"Selamat siang nona cantik, bagaimana harimu?"
Cathy berdehem berusaha menyingkirkan pujian itu dari kepalanya. Dia lebih penasaran pada pemilik mobil tersebut.
"Apakah aku kedatangan tamu?"
Senyuman Vincent semakin lebar dengan tatapan jahil. "Benar. Kau kedatangan tamu yang tampan dan memukau. Nah, silahkan masuk, my lady."
Cathy tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya menyadari Vincent membawa mobil untuk pertama kalinya.
"Kupikir kau menjemputku.."
"Aku memang sedang menjemputmu."
"Tidak.. tidak.. bukan itu.. maksudku." Vincent memang sering menjemputnya tapi tidak dengan mobil. Vincent hanya berjalan kaki ke rumahnya kemudian mereka berdua akan berjalan ke halte bis yang tidak jauh dari perumahan Rosemary.
"Sudah, ayo masuk." Vincent berjalan ke belakang Cathy dan mendorong kedua bahu gadis itu untuk masuk ke mobil yang sudah terbuka.
Begitu Cathy duduk dengan nyaman, Vincent menarik sabuk pengaman untuk melindungi gadis itu. Kedekatan tubuh mereka membuat Cathy tercekat tidak tahu harus berbuat apa-apa. Cathy kan bisa melakukannya sendiri, kenapa Vincent yang mengikatkan sabuk pengamannya?
"Aku bisa..."
Kalimat Cathy terpotong saat pemuda itu selesai memasukkan kaitan sabuk pengaman dan menoleh ke arahnya. Wajah mereka sangat dekat...mereka bahkan bisa saling merasakan napas satu sama lain. Tatapan mereka seperti magnet yang tidak bisa dilepaskan. Cathy kembali merasakan jantungnya berdebar dengan tidak normal.
Sedetik kemudian, Vincent segera menarik kepalanya menjauh dan mengeluarkan tubuhnya dari sisi mobil sebelum mengusap kepala Cathy dengan lembut.
Dengan sikap yang santai, Vincent menutup pintu mobilnya dan berjalan menuju ke sisi pengemudi.
Begitu Vincent duduk dan menyalakan mesin mobilnya barulah Cathy sadar, dia telah menahan napasnya sejak dari tadi. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya merasa sangat malu mengingat kejadian sebelumnya.
Vincent melirik ke arah sebelahnya dan menahan senyum geli melihat tingkah gadis yang menggemaskan itu.
Sepuluh menit kemudian, mobil telah berhenti dan Vincent berkata bahwa mereka telah tiba.
Cathy merasa heran tempat apa yang mereka kunjungi yang hanya memakan waktu sepuluh menit perjalanan? Kalau memang jaraknya dekat, mereka tidak perlu menggunakan mobil kan?
Setelah memandang sekitar dia baru menyadari sebuah tulisan besar tak jauh dari depannya membuat matanya melebar.
Mereka ada di cluster Blue Rosemary?! Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Bahkan saat Vincent membuka pintu disebelahnya untuk menuntunnya turun dari mobil, Cathy masih tidak menemukan jawabannya.
"Uhm.. Ini dimana?"
"Kita di depan rumahku." jawab Vincent dengan wajah polos membuat wajah Cathy merengut.
"Dan kenapa kita ada disini?"
"Karena aku takut telingaku akan pecah mendengar omelan para wanita di keluargaku."
"Huh?"
"Kau akan mengerti. Ayo." dengan santai Vincent meraih tangan Cathy dan mengaitkan jemarinya diantara jemari gadis itu membuat jantung Cathy sekali lagi berdegup kencang.
Begitu masuk ke dalam rumah, muncul seorang wanita dengan handuk yang menutupi semua rambutnya serta berpakaian daster ala rumahan.
Wanita tersebut mendelik ke arah Vincent dengan tatapan jengkel dan berkata dengan suara yang keras.
"Vincent! Setelah ini aku akan membuat perhitungan denganmu!" kemudian wanita itu berjalan menaiki tangga menuju ke lantai atas.
Cathy menelan ludah mendengar amarah wanita tadi membuatnya melirik ke arah Vincent dengan was-was. Tapi apa yang dilihatnya tidak seperti yang dipikirkannya.
Pemuda itu malah terlihat sedang menahan tawa dan sejurus kemudian Vincent telah tertawa terbahak-bahak membuatnya bingung. Seingatnya dia tidak pernah melihat Vincent tertawa lepas seperti ini.
"Ada apa nih? Kenapa Vanvan marah-marah dan kamu...Oh, halo.. siapa ini?" muncul seorang wanita yang jauh lebih tua dan langsung menyapa Cathy begitu melihatnya.
"Selamat siang." Cathy langsung buru-buru menyapa wanita tersebut dengan sopan.
Tentu saja Cathy tidak bodoh atau pelupa. Vincent pernah bilang pria itu tinggal di Blue Rosemary yang berarti wanita yang kira-kira berusia akhir lima puluhan merupakan ibu dari pria yang masih menggandeng tangannya.
"Nama saya Catherine." dan Cathy tidak mengerti kenapa tatapan wanita tersebut tampak berbinar-binar memandangnya.
"Oh, apakah mungkin kau yang.." sang ibu memandang putranya dengan penuh tanya kemudian mendapat anggukan pasti dari Vincent yang disertai dengan senyuman.
Tubuh Cathy menegang saat wanita tersebut memeluknya dengan erat.
"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu. Sudah lama sekali aku ingin bertemu denganmu. Padahal kami berencana mengusirnya kalau dia tidak segera membawamu kemari."
"??" Cathy sama sekali tidak mengerti maksud kalimat ini. Lalu tangan wanita itu melingkar di lengan Cathy tanpa peringatan membuatnya gugup berkali lipat.
Untuk pertama kalinya otak Cathy tidak bisa berjalan dengan normal. Dia masih kesulitan memproses apa yang sedang terjadi. Dia masih belum bisa mengerti situasinya sekarang. Dan tanpa disadarinya dia sudah duduk diapit oleh wanita yang diduganya adalah ibu dari Vincent dan wanita muda yang marah tadi. Hanya kali ini wanita muda itu sudah berganti pakaian yang lebih rapi dan rambutnya telah tersisir dengan cantik.
Karena masih bingung dengan kedua wanita yang tidak dikenalnya itu, Cathy memandang Vincent yang sedang cemberut dengan tatapan minta bantuan.
"Mama, kakak, coba lihat. Kalian membuatnya ketakutan. Bisakah kalian bersikap normal saja? Dia akan mengira kita... Aaaww.."
Cathy menahan napasnya saat melihat wanita yang tadinya duduk disebelah kirinya bangkit berdiri dan memukul pundak Vincent dengan keras.
"Sakiiitt.. kakak tidak takut dia akan menganggap kakak monster?" Vincent langsung bangkit berdiri untuk menghindar pukulan kedua dari sang kakak.
"Abiii, tolong paman.. mamamu mengamuk." tiba-tiba saja Vincent sudah membuka pintu kamar yang terletak di sebelah tangga dan masuk ke dalamnya yang disusul oleh sang kakak.
"Lupakan saja mereka. Mereka memang selalu begitu." Cathy mendengar suara lembut dan hangat dari sebelah kanannya.
Cathy juga merasakan tangannya digenggam oleh wanita tua tersebut membuatnya sesak napas. Tangan lembut itu.. tangan seorang ibu.. apakah dulu dia pernah merasakan sentuhan tangan seorang ibu? Kalau pernah, mengapa dia tidak bisa mengingatnya?
"Aku banyak mendengar tentangmu dari putraku. Aku sering memaksanya untuk segera membawamu kemari, jadi jangan memarahinya ya." sahut wanita tua itu sambil memindahkan sejumput rambut ke arah belakang telinganya.
Nada suaranya, tindakannya, sikapnya, dan cara wanita itu memandangnya.. semuanya itu membuatnya meneteskan air mata.
"Ada apa? Apakah kau sakit? Apakah putraku yang jahil itu menyakitimu? Bilang saja pada tante, aku pasti akan menghukumnya."
Cathy segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak. Aku baik-baik saja tante. Hanya saja aku sama sekali tidak menyangka..." tidak menyangka keluarga Vincent akan menyambutnya dengan hangat. "Vincent akan membawaku kemari."
Wanita itu tertawa. "Anak nakal itu, memang sangat jahil. Dia juga tidak memberitahu kami kalau dia membawamu kemari hari ini. Kalau tahu kau datang hari ini, pasti tante akan masak makanan spesial."
"Tidak perlu. Tidak perlu repot-repot."
"Omaaaaa... mama sama paman Pinpin kayak anak kecil. Wahhhh ada malaikat cantik yang datang."
Tiba-tiba saja seorang anak kecil keluar dari kamar yang dimasuki Vincent serta kakaknya. Dan kalimat terakhir anak itu membuat wajah Cathy merona. Tidak lama kemudian anak itu naik dan duduk di pangkuannya membuat Cathy tertegun tidak tahu harus berkata apa . Anak itu memandangnya dengan tatapan penuh penasaran dan berwajah lugu.
"Apa Abi boleh pegang rambut tante malaikat? Rambutnya cantik sekali."
Satu kali.. dua kali.. Cathy mengerjap tidak bisa bergerak karena saking terkejutnya dengan keakraban yang ditunjukkan anak itu. Kemudian dia membawa semua rambutnya ke sisi bahunya agar anak di pangkuannya bisa memegangnya lebih mudah.
"Abi, tidak sopan memegang rambut orang lain." sang oma memberi nada peringatan.
"Tidak apa-apa." jawab Cathy dengan buru-buru dan membiarkan Abi memegang rambutnya.
Rasanya geli dan nyaman saat anak itu mengelus sebagian rambutnya. Saat itulah dia melihat Vincent keluar dari kamar sambil mengusap pundaknya yang sakit.
"Kau baik-baik saja?" tanya Cathy khawatir.
"Tidak. Aku tidak baik-baik saja." balas pria itu mendesah melihat keponakannya dengan cepatnya begitu akrab dengan Cathy.
"Bukankah ini tidak adil?" keluh Vincent membuat Cathy terkejut. Ini pertama kalinya dia mendengar Vincent merajuk. "Aku sudah mengabulkan permintaan kalian, tapi kalian malah memonopolinya sendiri. Apakah kalian berencana menculiknya dariku?"
Ups.. Vincent langsung menyesali ucapannya melihat tatapan licik dari kakaknya dan ibunya. Sementara Cathy kembali merona mendengar pertanyaan Vincent dan berharap dia bisa melarikan diri dari situasi memalukan ini.
"Tante malaikat, coba lihat gambar Abi. Cantik kan?"
Tubuh Cathy menegang melihat sebuah gambar penuh dengan arsiran di sebuah buku yang ditunjukkan si anak tersebut. Seorang wanita muda dengan mahkota di atasnya dan.. bewarna abu-abu.
Cantik? Bagaimana dia bisa melihat kecantikannya kalau dimatanya hanya ada satu macam warna?
Aww... si Cathy diperkenalkan ke keluarga Vincent dulu sebelum 'menembak' nih.
Ga sabar ingin segera bikin bab selanjutnya. Para readers masih bisa sabar ga ya?
Happy Reading!