"Deg!" Senjata tulang kaki manusia itu seperti senjata tumpul. Anggota sekte Aghori kaget. Senjatanya lengket di dada Raden Kuning. Wajahnya berubah kadang pucat, kadang merah. Tenaga pukulannya amblas ke dalam tubuh orang yang diserangnya diam-diam tersebut. Terjadilah pemandangan lucu di buritan kapal. Ada tiga orang saling pukul menempel dan diam seperti patung.
Kendati serangan itu tidak mampu melukainya, namun akibat datangnya tenaga yang bersifat dingin berasal dari serangan gelap pasukan Aaradhya Cupat, tubuh Raden Kuning bergolak. Konsentrasinya untuk membagi dua tenaga secara seimbang terancam buyar. Dalam keadaan itu, tubuhnya menyatu dengan tubuh orang yang melancarkan serangan gelap. Jika Raden Kuning masih mampu bertahan meski terguncang, namun kondisi memprihatinkan terjadi pada penyerangnya. Tenaga panas dan dingin bergantian mempengaruhi tubuhnya. Kadang panas dan kadang dingin. Jika dibiarkan dalam keadaan seperti itu, maka sebentar lagi orang itu akan tewas.
Pilihannya ada di tangan Aaradhya Cupat. Jika ia mengorbankan salah seorang pasukannya, maka ia akan mampu melukai Raden Kuning. Namun sebaliknya jika ia menolong anak buahnya, maka Raden Kuning akan mendapat kesempatan untuk mengatur tenaganya. Aaradhya Cupat memilih untuk mengorbankan anak buahnya.
Tubuh yang tidak mengenakan baju itu, akhirnya mati lemas. Tenaga panas dan dingin yang mampir di tubuhnya semakin lama semakin sedikit dan akhirnya kembali ke tubuh Raden Kuning dengan membawa serta seluruh tenaga dalamnya. Saat ini ada tiga jenis tenaga yang terdapat dalam tubuh Raden Kuning. Akibatnya, tubuh Raden Kuning kelebihan muatan. Konsentrasinya menahan asap racun Aaradhya Cupat dengan menggunakan tenaga 𝘬𝘢𝘸𝘦𝘥𝘢𝘳, buyar.
Dalam keadaan terdesak, Raden Kuning menarik keris Kyai Layon dan menutupi wajahnya dengan keris sakti itu. Meminjam tenaga pukulan lawan, tubuhnya terdorong ke belakang dan bergulingan di udara selanjutnya hinggap di buritan kapal. Kepulan asap beracun mengejarnya dengan ganas dan langsung menerpa wajahnya. Asap beracun itu terhisap masuk ke dalam tubuhnya. Raden Kuning mulai merasakan halusinasi. Dalam pandangannya, Aaradhya Cupat adalah Putri Wuwu yang cantik jelita.
"Aih, Putri Wuwu. Mengapa engkau berdiam diri saja di sana. Ayo mendekat, aku akan tembangkan kidung rindu untukmu." Raden Kuning mulai linglung. Banyaknya kepulan asap beracun yang terhirup olehnya, langsung bekerja. Beruntung ketika ia hendak melompat ke arah lawan, Kyai Layon menyelesaikan tugasnya. Seluruh racun yang sempat membuatnya mabuk dapat dinetralisir dari tubuh Raden Kuning.
"Jahat sekali, engkau orang asing. Bagaimana mungkin engkau tega mengorbankan anak buahmu tewas hanya agar engkau bisa mengalahkanku. Jika pertarungan ini adalah menyangkut pribadiku dan hanya mencari menang kalah, maka aku legowo mengaku kalah. Tapi jika ini berkaitan dengan tugas negara, aku akan menghadang langkahmu hingga satu diantara kita ada yang bersimbah darah." Raden Kuning meradang.
"Aku ingin menghisap otakmu yang sombong itu, anak muda!" Aaradhya Cupat langsung kembali menyerang. Kali ini mulutnya terus berkomat-kamit mengucap mantra aneh. Dan setelah mendengar mantra aneh itu, Raden Kuning jadi tenang. Di matanya orang asing itu mendadak seperti Eyang Kyai. Melunaklah amarahnya.
Raden Kuning terpengaruh dengan mantra yang dibacakan Aaradhya Cupat. Segera ia menjura kepada orang yang amat dihormatinya itu. Ia lengah. Disaat itulah lawan menghantam dengan senjata maut. Angin bercuit kencang segera menyadarkannya. Namun saat itu senjata tengkorak kepala manusia hampir sampai di kepala. Raden Kuning segera menghindar dengan membanting tubuhnya ke kiri. Tak ayal bahu kanannya terkena senjata lawan. Tubuhnya langsung bergulingan jatuh ke geladak kapal. Raden Kuning kembali jadi bulan-bulanan lawannya.
Matanya masih berkunang-kunang ketika ia melompat berdiri. Benar-benar tangguh lawannya kali ini. Banyak sekali gerakan orang aneh itu yang tidak dapat ditebaknya. Belum lagi sorot matanya seperti merampas semangat Raden Kuning. Segera ia menghindar beradu mata dengan lawan. Ilmu sihir lawannya itu sangat kuat. Orang dengan kepandaian setingkat Raden Kuning saja bisa terpengaruh.
Raden Kuning kemudian menggunakan jurus langkah ajaibnya. Untuk sementara ia dapat menghimpun tenaga dan hanya berputar-putar menghindari serangan lawan. Langkahnya yang seperti tak beraturan itu berhasil memperpanjang waktu pertarungan. Aaradhya Cupat terlihat kesal. Berkali-kali pukulannya meleset. Langkah ajaib yang dimainkan Raden Kuning membuat kesabarannya habis.
Aaradhya Cupat lalu bersiap dengan jurus pukulan maut, 𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘢𝘮 𝘦𝘬. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Nafasnya terdengar berat. Dari kedua telinga yang beranting besar itu keluar asap putih. Ini adalah salah satu jurus pukulan andalannya. Melihat keganasan jurus lawan, Raden Kuning tak mau gegabah. Ia memilih menggunakan akalnya. Lalu ia bersiap mengempos tenaga menutup tujuh titik aliran darahnya. Ya, Raden Kuning akhirnya memilih menggunakan jurus keempat 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘢𝘬 𝘫𝘦𝘳𝘰𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘳𝘪𝘱, mati suri. Menurut perhitungannya, lawan akan terkecoh. Pasti lawannya akan mengira ia mati karena dihantam jurus lawan.
Pukulan 𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘢𝘮 disambutnya dengan jurus 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘢𝘬 𝘫𝘦𝘳𝘰𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘳𝘪𝘱. Sebelum tenaga lawan menghantamnya, Raden Kuning telah menutup tujuh aliran darahnya. Benar saja, tenaga lawan menghantam tubuhnya dan membuat ia kembali terpental. Bak daun gugur, tubuh Raden Kuning kembali jatuh ke geladak kapal. Diam tak bergerak. Nafasnya pun terhenti. Raden Kuning menunggu kesempatan lawannya lengah dan ia akan langsung menyergap lawan.
Sayangnya Aaradhya Cupat tak mau jumawa dengan kemenangannya. Meski lawannya sudah berkali-kali jatuh terpukul, Aaradhya Cupat tak mau ambil resiko. Ia bersiap memukul lawannya yang tengah ngelakon mati suri dengan pukulan maut ke arah kepala. Kali ini nyawa Raden Kuning di ujung tanduk. Sadar akan bahaya yang mengancamnya, Raden Kuning segera menghimpun tenaga semesta dan mencoba jurus kedelapan 𝘭𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘮𝘦𝘭. Tangannya dirapatkan dan diangkat ke atas sedangkan kaki mengempos di tanah hingga tubuhnya mencelat ke atas kemudian turun dengan tubuh berputar seperti gasing. Pukulan senjata tengkorak luput dari sasaran. Aaradhya Cupat kembali mundur ke belakang dan mulutnya komat-kamit.
Terjadi keajaiban ketika Raden Kuning memainkan jurus kedelapan. Putaran gasing tubuhnya diikuti oleh uap air laut yang berada di sekitarnya. Lama kelamaan uap air itu menjadi banyak dan membentuk gumpalan kristal ikut berputar-putar. Dan di saat itulah Raden Kuning mengarahkan tenaganya ke arah lawan. Meskipun nampak kaget, namun Aaradhya Cupat telah siap dengan jurus pukulan serupa. Tangannya didorong ke depan menghadang langsung pukulan Raden Kuning.
Dua tenaga pukulan beradu, tetapi tidak menimbulkan suara. Tenaga pukulan keduanya seperti saling melilit satu sama lain berupaya mendekat ke arah tubuh lawan. Terjadi saling dorong. Air laut yang telah mengkristal jatuh berserakan di geladak kapal. Tubuh Raden Kuning terdorong hingga bersandar di dinding kapal. Aaradhya Cupat terdorong dua langkah.
Wajah Raden Kuning pias. Ia mengalami luka dalam cukup serius. Dari sela bibirnya mengalir darah segar. Kedua tangannya terdapat bercak hitam bekas tenaga pukulan lawan. Wajah Aaradhya Cupat juga pucat. Tetapi tidak nampak darah di sela bibirnya. Benturan tenaga dingin bertemu dengan tenaga dingin membuat cuaca semakin mencekam. Pandangan mata Raden Kuning kembali berkunang-kunang. Ia segera mengambil sikap duduk bersila mengatur nafas dan tenaga dalamnya. Sungguh bahaya keadaannya sekarang. Jika lawannya menyerang kembali, maka nyawanya bisa binasa.
"Hebat sekali engkau. Masih berusia sangat muda tetapi sudah memiliki kepandaian hampir menyamaiku yang sudah mulai sepuh. Hahahaha...., tidak salah aku datang ke tanah Jawa ini. Banyak sekali orang sakti di sini. Sayang aku harus melenyapkan nyawamu agar aku bisa bertemu dengan sang Mahaguru yang akan menuntun jiwaku." Aaradhya Cupat melangkah cepat ke arah Raden Kuning yang tengah bersila.
Angin laut berhembus kencang ketika senjata tengkorak manusia milik Aaradhya Cupat menghantam kepala Raden Kuning. Hembusan angin itu diiringi sesosok bayangan yang menyambar tubuh Raden Kuning yang tengah bersemedi menyembuhkan luka dalamnya yang serius. Aura wajah lelaki yang menyelamatkan Raden Kuning itu sangat tenang dan berwibawa. Matanya menatap tajam berupaya menyelidik pria India bersorban yang kini ada di hadapannya.
"Kejam sekali engkau orang aneh. Apa salah dan dosa keponakanku sehingga engkau tega menurunkan tangan keji kepadanya. Siapa engkau dan apa urusanmu hingga mengejar kami ke tengah lautan?"
Orang yang baru saja bertanya itu adalah Pangeran Arya Mataram. Ia terpaksa naik ke geladak kapal karena mendengar terjadi keributan. Kedatangannya sangat tepat di saat nyawa Raden Kuning terancam bahaya. Pangeran Arya Mataram belum tahu alasan orang aneh dihadapannya ini naik ke atas kapal Jung Djipang. Tetapi menurut perkiraannya orang ini pastilah pemburu sayembara yang dibuat oleh Adipati Pajang, Hadiwijaya.
"Aih, ternyata masih ada lagi orang berkepandaian tinggi di dalam kapal ini. Kedatangan kami adalah untuk menghabisi nyawa kalian semua. Ki Panjawi menjanjikan kepadaku akan mengantar aku dan murid-muridku untuk bertemu dengan seorang guru yang dapat memberikan petunjuk agar kami memiliki ketenangan batin. Kami anggota sekte Aghori dari India, jauh-jauh kemari karena mendapat petunjuk untuk mencari seorang guru!"
"Mudah sekali engkau menurunkan tangan jahat. Untuk mencapai ketenangan batin itu engkau harus selalu berbuat baik. Perbuatan baik akan mendatangkan kebaikan tidak saja bagi orang yang engkau tolong tetapi juga akan mendatangkan kebaikan untukmu. Cepat berhentikan perbuatan murid-muridmu yang menyerang prajuritku di sana. Aku sendiri yang akan memberikan pencerahan kepadamu."
Raut wajah Pangeran Arya Mataram mentereng. Meskipun tak menguasai ilmu sihir, tetapi perkataanya berpengaruh terhadap Aaradhya Cupat. Orang India itu kemudian meniup ujung senjata tengkoraknya sehingga mengeluarkan bunyi suara nyaring. Sekejap murid-muridnya yang berjumlah dua puluh sembilan orang menghentikan penyerangan dan datang ke buritan kapal.
"Siapakah engkau. Pelajaran batin apakah yang bisa engkau ajarkan kepadaku. Dalam keyakinan kami tidak ada perbuatan baik dan buruk. Semua kejadian yang kami alami adalah kehendak dari Sang Syiwa. Jika baik menurut Syiwa, maka baik jugalah bagi kami. Begitu juga sebaliknya."
"Namaku Pangeran Arya Mataram. Aku adalah pemimpin rombongan ini. Kami adalah kerabat Sultan Demak, Arya Penangsang. Aku akan mengajarkan konsep "𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢" untuk mendatangkan ketenangan batin bagi kalian semua." Pangeran Arya Mataram memerintahkan musuh-musuhnya orang asing dari India itu untuk duduk bersila di atas geladak kapal. Bujang Jawa segera mengambilkan kursi untuk junjungannya duduk dan mengajarkan ilmu tentang kehidupan.
"Manusia dianugerahi panca indera yang membuat kita bisa melihat, mendengar, merasakan, mencium dan mengecap. Secara lahir kelima panca indera itu terwakili oleh mata, telinga, kulit, hidup dan lidah. Unsur keseimbangan tercipta karena hadirnya panca indera. Jika satu saja tidak berfungsi, maka terjadi cacat pada diri manusia." Pangeran Arya Mataram mulai bertutur.
Selain dari itu, ada lagi satu indera perasa yang tidak terlihat secara fisik yang disebut sebagai indera keenam. Indera keenam hadir melengkapi panca indera yang selalu dipergunakan setiap hari. Indera keenam itu menghadirkan 𝘳𝘢𝘴𝘢 yang sumbernya datang dari hati. 𝘙𝘢𝘴𝘢 bisa menjelma sebagai cinta, sayang, bahkan acap kali berubah dalam bentuk-bentuk lainnya yang tidak dapat didefinisikan dengan kata-kata karena bersifat gaib.
"Cinta anak kepada orang tuanya, suami kepada istri, ibu kepada anak, hingga cinta manusia kepada Allah dan Rasulullah adalah sebuah bukti adanya indera keenam yang tidak berwujud. Begitu juga cinta kalian kepada Sang Syiwa. Tak berwujud, tetapi menimbulkan rasa itu dapat dipahami secara mudah dengan kita merasakan angin yang berhembus. Adanya angin dirasakan oleh kulit kita yang menjadi bagian dari panca indera. Tetapi jika indera perasanya adalah hati yang menjadi unsur dari indera keenam, maka ia akan datang begitu saja. Tak berwujud, gaib, dan dapat membuat kita dalam berbagai bentuk keadaan, senang dan sedih, takut, dan lainnya."
Pewaris keraton Djipang itu menyampaikan bahwa semua yang ia jelaskan adalah 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘴𝘢. Kesimpulannya, jika mengedepankan 𝘳𝘢𝘴𝘢, maka saat itu juga manusia akan meninggalkan logika. Rasionalitas yang bertumpu kepada otak yang bertugas untuk berpikir akan mengarahkan manusia untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sedangkan 𝘳𝘢𝘴𝘢 terlepas dari keadaan itu. Jika pun logika masih ada, 𝘳𝘢𝘴𝘢 mampu menempatkannya dalam urutan yang paling terendah.
Perempuan adalah makhluk yang berteman akrab dengan 𝘳𝘢𝘴𝘢. 𝘙𝘢𝘴𝘢 mampu membolak-balikkan hati sehingga dapat membuat seseorang tertawa dan menangis di saat yang sama. Perempuan lebih banyak menggunakan perasaaan jika dibandingkan dengan laki-laki yang cenderung menggunakan akalnya untuk menilai sesuatu yang dirasakan baik secara lahir maupun batin.
"Namun dibalik itu semua ada Sang Maha pembolak-balikan hati. Dalam Islam dituturkan dari Abdullah bin Amru bin Al Ash bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya. Setelah itu, Rasulullah berdoa: Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu. Dalam tuntunan agama Islam dijelaskan dengan sangat jelas tidak saja tentang keberadaan Sang Dumadi tetapi juga cara untuk mencapainya."
Selanjutnya Pangeran Arya Mataram menuturkan bahwa dalam wujud buruk, 𝘳𝘢𝘴𝘢 menjelma menjadi nafsu. Oleh karena itu manusia diajarkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Bahkan untuk menjelaskan kedudukannya, hawa nafsu disamakan dengan sifat binatang.
Sifat khas 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘴𝘢 adalah adanya distingsi antara rasionalitas dengan perasaan. Hal itu membuktikan bahwa keduanya berupaya saling mendapatkan tempat yang utama. Jika distingsi itu dibebastugaskan, maka akibatnya manusia akan berada pada situasi berbeda dengan manusia normal lainnya, gila.
Lalu untuk mencari kebenaran atas 𝘳𝘢𝘴𝘢, maka perlu dilakukan dekonstruksi terhadap arti dari 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘴𝘢. Caranya dengan mendudukkan "𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢" sebagai antitesanya. Harapannya, kedua definisi itu saling berdialektika dan saling bergumul hingga melahirkan makna baru.
Pangeran Arya Mataram lalu menyampaikan tentang sebuah ujar-ujar yang disampaikan oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW:
𝘛𝘦𝘭𝘢𝘨𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯
𝘈𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘱𝘶𝘵𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘶𝘴𝘶, 𝘣𝘢𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘮 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘪𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘸𝘢𝘯𝘨𝘪
𝘋𝘢𝘯 𝘩𝘪𝘢𝘴𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢 𝘣𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨-𝘣𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵
𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘶𝘮𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘥𝘢𝘩𝘢𝘨𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢.
Menurutnya, ujar-ujar itu sarat dengan makna. Perlu proses berpikir untuk mengerti maksudnya. Ujar-ujar itu menjadi petunjuk bahwa keadaan "𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢" bukan mengejar pelampiasan atas 𝘳𝘢𝘴𝘢, tetapi justru sebuah jalan untuk menghilangkan 𝘳𝘢𝘴𝘢 sehingga tidak lagi te-𝘳𝘢𝘴𝘢. Jalannya menurut Pangeran Arya Mataram dikiaskan dengan cara meminum air dari telaga 𝘬𝘢𝘶𝘵𝘴𝘢𝘳 yang mengakibatkan 𝘳𝘢𝘴𝘢 dahaga hilang selamanya. Telaga itu berasal dari empat sungai di surga yaitu sungai dari air murni (𝘴𝘢𝘭𝘴𝘢𝘣𝘪𝘭), sungai dari susu (𝘳𝘰𝘩𝘪𝘬𝘶𝘯 𝘮𝘢𝘬𝘩𝘵𝘶𝘮), sungai dari 𝘬𝘩𝘢𝘮𝘳 (𝘬𝘢𝘧𝘶𝘶𝘳𝘰/𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘳), sungai dari madu (𝘵𝘢𝘴𝘯𝘪𝘮). Namun telaga itu sulit ditemui. Inilah esensinya "𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢". Suatu keadaan yang mendudukkan manusia menghilangkan 𝘳𝘢𝘴𝘢 melalui proses spiritual. Telaga itu adalah jalan, sedangkan airnya adalah ajaran.
"Sebagai sebuah jalan, untuk menggapai situasi batin "𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢", sangat sulit untuk dilakoni oleh manusia. Jalan itu terkadang ada di depan mata, tetapi tak mampu kita lihat. Jalan itu bahkan lebih dekat dari nafas dan juga terkadang menyatu dalam aliran darah, tetapi lagi-lagi sulit untuk ditemukan. Lalu, jika kondisi "𝘥𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘴𝘢" itu membutuhkan jalan, apakah kita dapat membuat jalan itu menjadi mudah?"
Ada sebuah jalan yang diajarkan dalam 𝘴𝘶𝘭𝘶𝘬 𝘬𝘪𝘥𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘸𝘦𝘥𝘢𝘳. 𝘚𝘶𝘭𝘶𝘬 berarti cara yang berfungsi memimpin, membuka jalan. 𝘒𝘪𝘥𝘶𝘯𝘨 adalah tembang. Sedangkan 𝘬𝘢𝘸𝘦𝘥𝘢𝘳 tergelar atau digelar, terbuka atau dibuka agar mudah difahami. Jadi, 𝘴𝘶𝘭𝘶𝘬 𝘬𝘪𝘥𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘸𝘦𝘥𝘢𝘳 bisa dimaknai sebagai penjelasan tentang cara atau laku mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui tembang.
"Manunggaling Kawula Gusti, bersatunya hamba dan Sang Pencipta dalam 𝘳𝘢𝘴𝘢, bukan seperti menyatunya benda-benda yang kasat mata. Dan jalan yang utama diajarkan dalam Islam yaitu sholat dimana sholat adalah 𝘮𝘪𝘬𝘳𝘢𝘫-nya orang beriman. 𝘔𝘪𝘬𝘳𝘢𝘫 secara spiritual karena sholat yang khusu' dimungkinkan dapat mengantarkan orang mukmin, ber-𝘮𝘶𝘸𝘢𝘫𝘢𝘩𝘢𝘩, ber-𝘮𝘶𝘸𝘢𝘩𝘢𝘸𝘢𝘳𝘢𝘩 dan ber-𝘮𝘶𝘯𝘢𝘫𝘢𝘵, berkomunikasi secara intens dengan Allah SWT dengan cara seperti yang dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam 𝘐𝘩𝘺𝘢 𝘜𝘭𝘶𝘮𝘶𝘥𝘪𝘯. Ada enam makna batin untuk menyempurnakan makna sholat, pertama kehadiran hati, kefahaman, 𝘵𝘢𝘬𝘻𝘪𝘮 (mengagungkan Allah), 𝘩𝘢𝘪𝘣𝘢𝘩 (segan), berharap dan yang terakhir adalah malu. Aih akan banyak sekali waktu bagiku untuk menjelaskan semua ini kepada kalian semua." Pangeran Arya Mataram memotong penjelasannya. Ia khawatir penjelasannya ini terlalu berat untuk dipahami oleh Aaradhya Cupat dan murid-muridnya.
"Sangat menarik hal-hal yang baru engkau sampaikan, Pangeran. Tetapi kami perlu mendengarkan ajaranmu tentang sebuah jalan mencapai ketenangan batin, lebih lama. Terimalah kami sebagai muridmu. Ajari kami tentang Islam agar kami semua dapat berpikir."
Pangeran Arya Mataram kaget. Tak disangkanya orang-orang India ini ingin berguru spirituil kepadanya. Namun ia kemudian menggelengkan kepalanya. "Tak pantas aku menjadi guru spirituilmu. Aku tak bisa menerima kehormatan ini. Aku khawatir di tangan kalian ajaranku nantinya akan menyimpang!"
"Baiklah, jika engkau menolak permintaanku. Kita mengadu jiwa saja. Aku akan membunuh kalian semua untuk mendapatkan hadiah sayembara dari Ki Penjawi. Biarlah kami berguru tentang kehidupan dengan orang yang dijanjikan Ki Penjawi!"
Aaradhya Cupat langsung melompat bangun dari duduknya. Tangan kanannya menggenggam senjata tengkorak kepala manusia. Tindakannya itu diikuti oleh murid-muridnya. Mereka sepertinya siap untuk beradu nyawa.
(Bersambung)
ini bab yang terlompat
jangan lupa komen ya readers