"Jangan membual! Cepat jalan!"
Sedangkan ksatria yang ada di depan; yang sedang memegang tali rantai itu menarik tali itu dengan kuat. Sampai, mau tak mau aku beranjak dengan langkah gontai menuju tempat eksekusi.
Aku terus melangkah, terhuyung karena kepalaku sangat pusing. Sudah banyak darah yang keluar dari betisku, belum lagi tadi malam disiksa karena disangka pemberontak.
Sebentar lagi telah sampai ke panggung eksekusi, pada warga di kota ini telah menunggu kehadiranku untuk dieksekusi.
Menjadi kambing hitam karena mereka tidak menemukan pemberontak. Tak kusangka, ksatria Kerajaan Ilios begitu keji dan bengis.
Terdengar sorak sorai rakyat Ilios yang merendahkanku, tak jarang dari mereka yang merasa senang dan menyumpahiku. Tapi, diantara mereka yang kejam, terdapat beberapa yang ketakutan menyaksikan eksekusi, tapi masih merasa penasaran.
Aku kembali menundukkan wajah ketika panggung eksekusi kian mendekat dan berhasil membuat tubuh merinding. Sekilas, kapak besar yang terletak di atas meja begitu bersinar di atas sana.
Aku terus menunduk, tubuhku semakin gemetar. Ujung rambutku yang panjang berwarna putih ini saja juga membuatku ketakutan.
Itu karena noda darah sendiri mengotori rambutku.
'Apa ini saatnya aku mati? Tapi, kenapa harus dieksekusi, kenapa harus menjadi kambing hitam sebelum aku mengetahui keberadaan orang tuaku?' pikirku.
Aku mengernyit. Tak sengaja kugigit bibir sendiri.
'Kenapa aku tidak tahu ingatan masa laluku? Bahkan, nama yang sebenarnya saja tidak dapat kuingat.'
Pikiranku mulai berkecamuk seiring panggung eksekusi telah berada di depan mata.
Aku, Luna. hanyalah seolah pengembara yang dulunya hidup di panti asuhan di daerah pinggiran yang ada di Kerajaan Heeiran. Tidak ada yang kutahu tentang dunia ini, ilmu tidak ada, anak-anak panti tidak ada yang mau mendekat.
Begitu aku merenungkan nasib, suara asahan dari kapak membuat semuanya menjadi hening. Aku pun menengadah, melihat apa yang sedang terjadi, tapi diatas begitu menyilaukan.
Aku melihat ksatria yang tadi menyeretku kini berada di atas, aku menatapnya dengan mata melebar.
Ketika hendak melangkah untuk membela diri, dua orang ksatria datang menghampiriku dan memegang kedua lenganku dengan erat dan kasar.
Aku merintih kesakitan. Mereka lagi-lagi menyeretku ke atas, melewati tangga kecil, lalu mendorongku ke tempat papan eksekusi.
Tubuhku hendak berdiri, tapi salah satu tangan ksatria yang ada di belakangku menahan pundakku hingga aku menabrak papan eksekusi yang berbau darah penjahat.
"Perhatian semua!" sorak ksatria yang sedang berdiri.
Dia menarik gulungan kertas yang besar menjadi memanjang. Tampak lambang kerajaan dengan stempelnya, seperti itu resmi dari istana.
"Sang pengkhianat Kerajaan Ilios telah ditemukan, sesuai dengan perintah istana, sang pemberontak bersama dengan pengkhianat lainnya harus dieksekusi mati!"
Ksatria tersebut kembali menarik nafas, tapi kali ini aku membelalakkan mata atas apa yang dikatakannya.
"Eksekusi dilaksanakan sekarang atas perintah dari Raja Ilios VII!"
Raja Ilios VII? Dan … eksekusi mati?
Begitu sang ksatria selesai berbicara, warga bersorak seakan duel antara sesama ksatria akan dimulai.
Lagi-lagi suara kapak diasak dengan cepat, membuat tubuhku gemetar hebat. Aku hendak memberontak, tapi tangan kekar ksatria di atasku ini sangat kuat.
'Apa ini akhirnya?' pikirku.
Ditambah dengan sorakan orang-orang yang ada dibawah untuk segera mengeksekusiku secepatnya, membuatku bergidik ngeri ketika merasakan hawa dingin dari para ksatria.
Aku pun tidak menyangka bahwa para bangsawan yang ada di kota ini hadir, tapi … apa sang raja dan sang ratu juga ikut menyaksikan?
Karena tidak berani menghadapi nasib, aku pun memejamkan mata dengan kuat. Ingin rasanya aku menutup kedua telingaku untuk menghilangkan suara-suara yang mengerikan di hari ini, tapi itu hanya sia-sia.
Namun, begitu aku memejamkan mata, suara yang ribut dari rakyat kerajaan ini menjadi hening. Terasa hening sampai-sampai aku mengira bahwa diriku telah mati.
"Kau membutuhkanku?"
Terdengar suara seorang pria yang ada di dekatku, mungkin saja itu hanyalah ilusi bahwa kematian kian mendekat, akan tetapi suara dari ksatria yang menghardik cukup keras membuat mataku melebar.
Aku membuka mataku dengan lebar, siluet yang ada di hadapanku membuatku diam membisu.
Seseorang benar-benar ada di depanku.
Kapak yang tadinya diasah secara tiba-tiba berhenti, lalu sorakan mereka yang tadi sekejap lenyap begitu saja. Sunyi menguasai tempat ini, akan tetapi suhu panas dari tubuh pria yang ada di depanku begitu terasa.
Angin berembus, membawa hawa dingin yang membuat tubuhku bergidik ngeri.
Ada dua kemungkinan, dia akan menyelamatkanku atau dia akan membunuhku.
Rasa penasaranku membawa wajah menengadah.
Terlihat senyum manis dari pria tersebut, matanya yang menyipit karena senyum lebarnya, kemudian rambut yang sedikit panjang berwarna merah dengan ujungnya yang berwarna silver. Manik matanya juga terlihat seperti warna merah.
Penampilan yang unik itu ditutup oleh jubahnya yang berwarna hitam. Hanya sebagian dikit rambutnya dikepang membentuk kepang kecil yang keluar dari tudungnya.
Aku mengalihkan pandangan. Para wara mendongakkan kepala mereka dengan mulut ternganga, sambil menunjuk-nunjuk ke arah pria itu.
Aku tidak tahu apa isi pikirannya, tapi dia begitu santai berdiri di panggung eksekusi sambil menawarkan– apa? Dia menawarkanku untuk hidup.
"Ke– kenapa kamu …."
"Aku tanya sekali lagi, ingin ditolong denganku, nona manis?"
Pada akhirnya, aku mengatup bibirku karena pertanyaanku disela oleh pria ini. Suaranya sekilas terdengar dingin, akan tetapi senyum itu seperti ramah. Entah mata yang benar, tapi ketika aku hendak menjawab, orang lain justru menyela ucapanku.
"Kau! Siapa kau!?"
Sang ksatria tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Dia menunjuk ke arah pria berjubah itu. Sedangkan ksatria lainnya bersiap-siap menarik pedangnya keluar.
"Hei, lihat! Langitnya berubah menjadi merah!" teriak salah seorang warga.
Semuanya menoleh ke langit, begitu pula denganku. Mataku sukses membulat ketika langit berubah menjadi merah darah. Seolah-olah, darah akan turun setelah ini.
Tak lama, aku melirik pria tersebut. Senyum tipis yang terlihat dingin dan sinis ada dibibirnya.
'Apa ini ulahnya?' pikirku.
Akan tetapi … langit yang berubah menjadi merah darah. Apa mungkin dia melakukannya?
Sihir apa yang digunakannya?
Tanpa kusadari, pria itu menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan.
"Ya– ya ampun … apa yang terjadi!?" ucap orang lain.
Sedangkan pria berjubah di depanku kini tak lagi melihat langit, dia menatapku, tersenyum ramah dengan tatapan misterius, lalu bertanya untuk ke sekian kalinya.
"Kamu membutuhkanku?" tanyanya.
Aku melebarkan mata, suara baritonnya begitu terkesan indah– sama seperti wajahnya yang tampan juga manis. Ujung rambut silvernya bergerak setiap kali angin berembus memasuki tudung jubahnya.
Tidak perlu butuh waktu lama aku menganggukkan kepala menerima bantuannya. Membuat senyum pria itu semakin mekar dan bergerak menuju ksatria yang sedang menahanku.
Dengan mudahnya dia menendang ksatria itu hanya dengan kaki, sedang tangannya masih disembunyikan di balik jubahnya. Lalu, tangannya memegang bahu kananku untuk berdiri.
"Dia juga rekannya! Dia pemberontak!" ucap ksatria itu.
— Bab baru akan segera rilis — Tulis ulasan