Sara datang menemui Katerina di aula saat mereka latihan. Selama ini ia telah menghindari aula, tetapi tiba-tiba datang kembali, membuat anak-anak yang lain keheranan.
"Bu... saya mau bicara."
"Baik." Katerina berjalan mengikuti Sara ke halaman belakang sekolah.
"Kemarin Papa minta maaf...dan sejak itu sikapnya berubah..." kata Sara pelan, "...Dia...jadi..."
"Dia menjadi papamu yang sebenarnya?" tanya Katerina.
Sara mengangguk. "Apa yang kemarin Ibu katakan padanya?"
"Ibu cuma membuatnya melihat kebenaran. Ibu cerita sedikit bahwa dulu Chris juga anak yang sangat nakal, jauh berbeda dari dugaannya... Chris juga bukanlah anak yang sempurna dan alangkah berat bagimu untuk terus hidup dalam bayang-bayangnya. Chris dikenang bukan karena dia orang hebat, Sara...tapi karena dia nakal...dan kenakalannya menghibur kami semua... Karena ia membuat kami tersenyum..."
"Benarkah? Aku nggak percaya..." kata Sara, "Maksudku...aku nggak pernah mengenalnya...aku hanya tahu bahwa dia anak kesayangan Papa..."
"Chris sangat menyukai drama, dan dia punya mimpi untuk menggelar drama-drama yang bagus sepanjang hidupnya. Dia sangat periang dan selalu punya ide gila untuk bersenang-senang..."
Katerina tersenyum sendiri saat mengingat beberapa ide gila itu.
"Ceritakan, Bu...ceritakan pada saya bagaimana Chris dulu hidup..karena saya nggak pernah mengenalnya... Ceritakanlah semuanya tentang dia..." pinta Sara memelas. Ia memeluk pohon itu dengan sayang. "Saya merasa akrab dengannya..."
"Kalau kamu ikut latihan sekarang, nanti kamu bisa ikut ke rumah Ibu dan akan Ibu ceritakan semuanya. Bagaimana?"
Sara mengangguk dan tersenyum manis, "Baik."
Semua sangat senang melihat Sara kembali bergabung. Mereka bertepuk tangan menyambutnya di aula.
"Sudahlah...ayo kembali latihan...!" seru Katerina. Ia memandang sekeliling dan merasa seperti ada yang hilang, "Hermianya kemana?"
"Tadi ibunya Laura tiba-tiba datang," lapor Desty, "Laura dibawa pulang...katanya ada urusan penting."
"Oh," Katerina bertanya-tanya urusan apa gerangan yang demikian mendesak. Ia melanjutkan latihan dan sementara menggantikan Hermia.
***
Sara memandangi foto-foto dalam album sementara mendengarkan cerita Katerina tentang petualangan kelompok badungnya di masa SMP dulu. Rio kemudian datang dan mereka pun diperkenalkan.
"Berarti kalian berempat sampai sekarang masih berteman?" tanya Sara keheranan, "Hebat sekali..."
" Tentu saja. Walaupun beda kota, kami masih setia berhubungan."
"Hebat sekali..." kata Sara kagum.
Rio mengamati Sara baik-baik dan tersenyum karena ia melihat kemiripan yang nyata antara anak perempuan itu dengan Chris, apalagi sekarang mereka berada di usia yang sama.
"Chris pasti bangga kalau ia tahu mempunyai adik yang sangat berbakat." Katanya lembut, "Dia suka sekali sama musik tapi nggak pernah bisa memainkan pianonya karena waktu SMP kelas 1 tangannya pernah patah... Waktu itu dia jatuh dari atap rumah...maklum, bandel sih..."
"Aku belum pernah dengar cerita itu." kata Katerina heran.
"Chris suka meneliti bintang malam-malam, dia sangat suka astronomi and seumur hidupnya menabung untuk membeli teleskop bintang... walaupun dia tahu mungkin ia nggak akan hidup cukup lama untuk itu." Rio merenung, mengingat kembali hari-hari yang lalu saat ia dan teman-temannya masih sangat muda, "Sepertinya dia berhenti mengejar bintang sesudah ketemu Katerina."
Sara menatap Katerina dan Rio bergantian. "Maksudnya?"
"Yah, itulah yang terjadi... Sesudah kami semua berteman dan membuat kekacauan, Chris tidak pernah menyebut-nyebut teleskop lagi dan ia tidak perduli dengan uangnya... Ia bawa kami bersenang-senang, dan ia juga rela mengeluarkan banyak uang untuk acara lelang budak konyol waktu kami kelas 3..."
Mata Sara berkilauan dan ia memandang Rio memohon agar diceritakan lebih banyak. Selama ini ia hanya mengenal Chris lewat foto-foto yang ada di rumah, dan tak tahu apa pun tentang diri saudara satu-satunya itu.
Akhirnya Rio bercerita dengan lengkap segala peristiwa yang terjadi selama lelang budak. Sara tampak sangat terkesan pada kakaknya. Lalu giliran Katerina menceritakan saat Chris mengajak mereka bolos, melompati tembok belakang sekolah lalu menyetir mobil papanya ke Dufan.
"Kakiku pernah terkilir waktu jatuh dari tembok belakang tapi nggak kapok-kapok..." cetus Katerina sambil tertawa. "Habisnya rugi kalo nggak ikut..."
Sara geleng-geleng mendengarnya. "Kakak benar-benar nekat... Papa nggak pernah tahu mobilnya dipake... Nekat."
"Wah...lebih nekat lagi waktu dia memaksa Rio dan teman-teman pake rok..." kata Katerina gembira,
"Itu sangat berbahaya..."
"Hah..? Benar itu, Pak?" tanya Sara takjub.
Rio melotot pada Katerina yang pura-pura menimang Chris.
"Aku tidak mau membahasnya..." keluh Rio, "dan jangan panggil aku Bapak...aku seusia dengan kakakmu, panggil saja aku kakak."
"Itu benar." Katerina menambahkan. "Kalau di luar kelas, kamu panggil aku kakak saja... Kita kan masih keluarga."
Sara menatap keduanya dengan pandangan tak percaya.
"A..aku ingin sekali punya kakak... Sangat sedih rasanya mengetahui kalau aku punya seorang kakak yang meninggal dan tidak sempat kukenal..." Air bening mengalir pelan-pelan ke pipinya,
"...Sekarang... sekarang aku punya dua...'
"Empat." kata Katerina lembut, "Raja dan Denny pasti akan senang mengetahui bahwa mereka punya adik baru..."
Sara berdiri dan memeluk Katerina lama sekali.
"Terima-kasih..." bisiknya.
"Ya...kamu bisa anggap di sini atau pun rumah Rio sebagai rumah kamu sendiri... datanglah setiap saat.." kata Katerina, "Lagipula Chris kecil ini butuh babysitter..hehe.."
"Babysitter..." Sara memandang bayi dalam gendongan Katerina, "...untuk anak ini...?
"Cuma bercanda, kok, Sara. Perkenalkan...ini Chris, dia adalah calon anak angkat kami. Dia sedang sakit..." kata Katerina sambil membelai kepala Chris yang sedang pulas.
"Sama seperti Kakak... apa sakitnya, Bu..eh, Kak?"
Katerina menghela nafas sedih, "Dia mengidap HIV positif... Dokter bilang penderita HIV mampu bertahan hidup cukup lama kalau diobati dengan baik, jadi kami bertekad untuk menjaganya sampai nanti obatnya ditemukan."
Sara membelai pipi Chris lembut, "Anak manis... Anak malang yang manis..."
Mama tiba-tiba masuk dan mengingatkan mereka untuk makan malam. Mendengar itu Katerina dan Rio segera suit dengan gunting, batu, dan kertas.
"Aku menang, jadi nanti Rio yang cuci piring." kata Katerina menjelaskan. Sara tertawa mendengarnya. Mereka lalu makan malam dengan gembira.
Sara baru merasakan makan bersama sebagai keluarga pada malam itu. Dan ia sangat bahagia.
Tiga hari sudah berlalu dan Laura tidak juga masuk sekolah. Semua teman-temannya dan Katerina bingung karena sama sekali tidak ada keterangan darinya. Ia sudah menelepon berkali-kali tetapi tidak ada yang mengangkat, demikian pula teman-temannya.
"Ada yang tahu rumah Laura?" tanya Katerina pagi itu sebelum memulai pelajarannya. Dian mengangkat tangan. "Baik, nanti sepulang sekolah kita jenguk ke rumahnya untuk melihat keadaan Laura. Siapa saja yang mau ikut?"
Hampir seisi kelas mengangkat tangan. Katerina sangat puas. Mungkin lebih baik begini, ia harus tahu ada apa dengan Laura.
Tiba-tiba pintu kelas diketuk dan Pak Usman menyampaikan pesan untuk Katerina bahwa Bu Amelia ingin bertemu dengannya. Katerina terpaksa ikut dengan hati bertanya-tanya apa kira-kira alasan Bu Amelia memanggilnya kali ini.
TOK!
TOK!
"Silakan masuk." Terdengar jawaban Bu Amelia dari dalam kantornya. Katerina membuka pintu dan masuk.
"Ada apa, Bu?"
"Bu Katerina, perkenalkan ini Bapak Albert..." Katerina menyalami laki-laki separuh baya yang duduk di hadapan Bu Amelia dan tersenyum. Bu Amelia mempersilakan Katerina duduk dengan lambaiannya dan melanjutkan ucapannya. "Beliau adalah ayah Laura."
Deg!
Katerina tak berani menatap laki-laki itu karena takut emosinya terbaca. Ia sudah mendengar begitu banyak tentang laki-laki ini, kalau tidak mendengar sendiri dari Laura, rasanya tak akan percaya ia begitu kejam. Wajahnya terlihat simpatik dan tampan.
"Saya adalah walikelas Laura..." kata Katerina pelan.
"Wah...anda masih sangat muda. Saya kagum anda mampu menangani begitu banyak anak-anak di kelas..." kata Pak Albert ramah, "Saya yakin puteri saya sangat menyukai anda."
"Kami berhubungan cukup baik." jawab Katerina.
"Begitu, ya..." Pak Albert tersenyum, "Saya sangat berterimakasih karena anda telah mendidiknya selama ini..."
"Itu tugas saya," Katerina gagal menghilangkan nada dingin dalam suaranya.
"Bu Katerina, Pak Albert kemari hendak menanyakan keberadaan Laura..." kata Bu Amelia kemudian.
"Beliau sudah bertahun-tahun tidak bertemu Laura dan sangat merindukannya."
"Anda ayahnya, kan? Bagaimana bisa selama itu tidak bertemu anak sendiri?" tanya Katerina.
Pak Albert sama sekali tidak tampak tersinggung. Ia masih tersenyum dan menjawab dengan suara yang agak murung, "Laura membenci saya..."
"Pasti ada alasannya, kan?"
"Tentu ada... Dia menganggap saya menyia-nyiakannya dan mamanya karena saya terlalu sibuk dengan pekerjaan. Mereka pergi dari rumah untuk menghukum saya dan...demi Tuhan...saya sudah menyadari kesalahan saya... Selama tiga tahun ini saya selalu mencari mereka..."
"Mungkin lebih baik menurut mereka bila tak usah ditemukan," balas Katerina.
"Tapi itu tidak dibenarkan oleh hukum. Ibunya masih isteri saya dan membawa kabur anak saya sama artinya dengan penculikan... Saya berhak secara hukum atas mereka..."
Katerina menoleh pada Bu Amelia yang mengangguk membenarkan kata-kata Pak Albert.
"Tapi saya tidak tahu apa-apa tentang Laura, hubungan kami hanya sebatas di sekolah..." kata Katerina kemudian.
"Tapi pasti ada di antara teman-temannya yang tahu di mana tempat tinggalnya." kata Pak Albert cepat, "Bawalah saya ke kelas dan biarkan saya yang bertanya pada mereka."
"Tapi... mereka sedang belajar..." sahut Katerina putus asa. "Nanti saja sepulang sekolah akan saya tanyakan."
Untuk sesaat ia melihat kilatan berbahaya di mata laki-laki itu, walaupun bibirnya tersenyum.
"Saya mohon diperbolehkan untuk bertanya sekarang...karena saya tidak punya banyak waktu."
Bu Amelia mendehem dan Katerina sadar ia terpaksa harus melakukannya. Duh, seandainya Bu Amelia tahu siapa laki-laki ini...
Oh, Tuhan...semoga anak-anak tak memberitahu rumah Laura. Tapi bagaimana caranya ia membuat mereka bungkam? Mereka kan tidak tahu apa-apa tentang keadaan Laura...?
Sepanjang langkahnya menuju pintu kelas 3C Katerina memikirkan berbagai siasat...jalannya menjadi sangat lambat..tapi tak satu ide pun muncul.
Akhirnya mereka sampai di pintu kelas 3C. Kaki Katerina agak gemetar saat melangkah masuk. Ia merasakan tatapan di belakangnya yang sangat dingin dan ia tak berani berbalik.
"Anak-anak...ini adalah ayah Laura..." Ia berusaha keras membuat suaranya terdengar normal, "Beliau ingin menanyakan...apakah ada...di antara kalian yang mengetahui...di mana...letak rumah Laura...karena..."
Ia terhenti.
Dian mengacungkan tangannya.
"Saya... aww!!"
Ia memegangi kepalanya yang terbentur bola Basket dan menoleh pada Sara. Anak perempuan itu tiba-tiba melompat ke arahnya dan menangkap bola itu.
"Aduh... maaf, Dian... aku nggak sengaja...!" teriaknya sambil meloncati meja Dian dan memungut bola itu di kolong. Tanpa terlihat oleh siapa pun ia memegang tangan Dian dan berbisik cukup keras untuk menarik perhatian Dian, tapi tidak orang lain. "Jangan bicara! Jangan beritahu apa-apa pada orang itu.."
Ia muncul kembali dengan bola di tangan dan wajah yang tampak malu, "Maaf, Bu...saya terlalu bersemangat karena akan diajak Hendry ikut pertandingan Basket..."
"Kamu seharusnya tidak membawa bola ke dalam kelas..." tegur Katerina dengan suara tegang.
Dian telah menurunkan tangannya.
"Kamu...! Apakah kamu tadi mengangkat tangan hendak memberitahu letak rumah Laura?" tanya Pak Albert pada Dian.
Dian menggeleng polos, "Maaf, Pak... saya tidak tahu di mana rumah Laura, soalnya selama ini dia nggak pernah ngasih tahu. Lagipula Laura itu sangat tertutup... Iya, kan, teman-teman?"
Anak-anak saling pandang dan kemudian mengangguk.
"Lalu tadi kamu mengangkat tangan untuk apa?" tanya Pak Albert mulai tidak sabar.
"Saya mau tanya Bu Katerina apa soal latihan essaynya juga dikerjain, karena waktunya nggak cukup lagi..." jawab Dian.
Katerina merasa jantungnya berhenti bekerja beberapa saat lamanya. Ia menoleh pada Pak Albert dan kali ini menatapnya tepat di mata. "Maaf, Pak...rasanya kami tak bisa menolong Bapak..."
Pak Albert mengangguk-angguk, "Terima-kasih, Bu Katerina...saya akan mengingat hal ini baik-baik."
Ia pun keluar.
Setelah beberapa detik barulah Katerina berlari mengintip keluar pintu, dan setelah melihat laki-laki itu benar-benar pergi ia kembali ke depan kelas dan memberi tanda agar mereka tak bersuara. Mereka semua tampak sangat keheranan dan bingung. Katerina tahu, demi kebaikan Laura, ia harus memberitahu mereka yang sebenarnya.
"Anak-anak... Miss harap kalian semua tidak membicarakan masalah Laura pada siapa pun...dan jangan menjawab bila ada yang bertanya apa pun tentang dia..." Ia memandang Dian penuh penghargaan. "Kamu hebat sekali, Dian... terima kasih karena telah berpikir cepat..."
"Bukan saya, Bu... Sara sengaja pura-pura melempar saya dengan bola dan diam-diam menyuruh saya tidak bicara..." Dian menggeleng-geleng bingung, "Sebenarnya ada apa?"
Sara mengangguk dan Katerina segera sadar bahwa Laura telah bercerita pada Sara, waktu Sara dalam masalah, untuk mendekatinya. Untunglah Sara berpikir cepat barusan. Kalau tidak...
"Laura dan ibunya melarikan diri tiga tahun lalu dari rumah ayahnya... Mereka tidak tahan karena selalu disiksa, secara fisik, oleh ayahnya. Beliau adalah seorang yang sangat berkuasa dan tak ada yang percaya bahwa ia melakukan kekerasan..."
Ia menatap murid-muridnya dengan khimad. "Ibu yakin Laura beberapa hari ini tidak masuk sekolah karena telah terjadi sesuatu padanya... Sebagai keluarganya yang baik, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk melindunginya.."
Semua mengangguk pelan.
Untuk menghindari kecurigaan, mereka memutuskan tidak akan pergi ke rumah Laura. Dian menuliskan denah rumah Laura dan memberikannya pada Katerina. Ia akan meminta Rio yang menyelidiki, karena Rio sama sekali tak berhubungan dengan Laura, sehingga ia tak akan menarik perhatian.
"Separah itukah masalahnya?" tanya Rio keheranan saat Katerina dan Sara datang ke rumahnya menceritakan hal itu.
"Iya, Yo...aku curiga Laura dan mamanya bersembunyi dan tak berani keluar... Kita harus menolong mereka.
"Baiklah, kurasa aku harus ke sana secepatnya," Rio mengambil denah itu dan kunci mobil lalu pergi. Katerina dan Sara menunggu dengan perasaan cemas.
***
Rasanya sudah lama sekali mereka menunggu ketika telepon berbunyi. Katerina sigap mengangkatnya.
"Hallo..."
"Ini aku, Rin...sudah ke rumahnya tapi nggak ada siapa-siapa. Para tetangga bilang mereka nggak pernah kelihatan sudah berhari-hari... Apa aku perlu lapor polisi?"
"Nggak, Yo... jangan... Justru mereka sedang menghindari hukum. Lebih baik kamu pulang saja...aku harap Laura sendiri yang akan menghubungiku..."
"Baiklah."
Rio menutup hubungan.
Katerina menatap Sara yang menatapnya dengan pandangan bertanya, "Mereka nggak ada, rumahnya kosong dan para tetangga bilang sudah berhari-hari tidak melihat mereka..."
Mungkin mereka sudah melarikan diri ke tempat lain," gumam Sara. "Kasihan sekali...semoga mereka baik-baik saja.'
Katerina merenung lama. Ia benar-benar mengkhawatirkan keadaan Laura saat ini. Kemana gerangan ia dan ibunya pergi?
***
KRING...
KRINGG....
Dering suara telepon membangunkan Katerina yang jatuh tertidur. Di sebelahnya Sara juga menggeliat sambil mengusap-usap mata.
"Sekarang jam berapa?" tanya Katerina bingung.
"Jam setengah satu..."
Katerina menyambar gagang telepon dengan khawatir. Sudah lama sekali mereka menunggu tetapi Rio tidak juga tiba. Ia khawatir sesuatu telah terjadi padanya.
"Hallo..." Katerina mendengar suara di ujung sana hanya samar-samar, "Siapa ini?"
Suara samar-samar itu menjelaskan sesuatu dengan sangat cepat dan pikiran Katerina memusing mendengarkannya. Tubuhnya seketika lemas dan terhuyung-huyung ia meletakkan gagang telepon lalu berjalan mengambil jaketnya.
Sara kebingungan melihatnya dan bergerak mengikuti Katerina. "Ada apa, Kak? Mau kemana?"
"Rio..." gumam Katerina, "Rumah Sakit..."
Ia menangis terisak isak.
Komentar Paragraf
Fitur komentar paragraf sekarang ada di Web! Arahkan kursor ke atas paragraf apa pun dan klik ikon untuk menambahkan komentar Anda.
Selain itu, Anda selalu dapat menonaktifkannya atau mengaktifkannya di Pengaturan.
MENGERTI