»Dua Tahun Berlalu «
Selesai sholat magrib, Ana ingin keluar dari pesantren karena ingin mengambil jahitan bajunya di mbak Tari yang rumahnya tidak jauh dari pesantren.
"Syifa temani aku keluar ayok!". Ana mencoba memohon pada Syifa dengan merengek menggoyangkan lengan Syifa.
"Sebentar lagi adzan isya, bukankah kita tidak boleh keluar dari pesantren? memangnya kamu mau keluar ngapain?". Syifa mencoba mengingatkan Ana akan peraturan keras pesantren.
"Aku lupa mengambil seragamku, aku meminta mbak Tari menjahitnya karena kemarin robek, kalau nunggu besok aku khawatir tidak keburu, kan kalau gak pakai seragam dan telat datang juga dilarang keras". jelas Ana dengan ekspresi sendu.
"Ya juga sih, tapi sekarang aku harus setoran hafalan kalau tidak kamu tau sendiri hukumannya". kata Syifa.
Ana cemberut dan mulai berfikir. "Ya udah deh, aku akan izin ke ustadzah Aisyah dulu!".
Ekspresi Syifa menjadi sedih. "Ana maaf ya, semoga ustadzah mengizinkanmu!".
Ana mengangguk dan segera menuju kamar ustadzah Aisyah, tapi ternyata dia tidak ada di kamar, jadi Ana berfikir tidak apa-apa kalau dia tidak minta izin toh juga rumah mbak Tari dekat.
Beruntung Ana bisa keluar dari pesantren tanpa ada yang tau, karena penjaga juga kebetulan tidak ada di depan gerbang pesantren, dia sedang melaksanakan shalat magrib.
Segera setelah keluar dari gerbang, Ana berlari menuju rumah mba Tari, tapi sayang kakinya kesandung batu.
Plakkk...
"Aduhhh". Ana meringis kesakitan dan melihat rok dan tanganya kotor.
"Kamu tidak apa-apa?". dari arah belakang terdengar suara serak seorang lelaki.
Ana mendongak ke arah sumber suara itu. Tepat saat itu dia melihat lelaki tinggi yang ketampananya tetap bersinar meskipun di bawah lampu yang tidak begitu terang
"Alvin". Batin Ana
"Mau ku bantu?". tanya Alvin sambil menjulurkan tangannya.
Tanpa sadar Ana langsung meraih tangan Alvin namun dia terpeleset dan Alvin bergegas menarik pinggang Ana, langsung saja Ana terkejut melihat tangan Alvin melingkar di pinggangnya.
Tatapan mereka beradu tepat di bawah sinar rembulan yang mempesona. Untuk sesaat Alvin dan Ana terdiam saling menatap, tepat saat itu beberapa warga memergoki mereka, dan langsung salah paham, mereka dianggap akan berbuat mesum di depan lingkungan pesantren.
"Hei, apa yang akan kalian lakukan? apa kalian mau berbuat mesum dan menodai pesantren ini?". teriak salah satu warga yang memergoki mereka.
Ana dan Alvin langsung terkejut dan melepaskan pegangannya dari Ana, sedang Ana berhasil berdiri setelah Alvin melepas pegangannya.
"Sepertinya kalian ini mau berciuman dan berbuat mesum lainnya, iya kan , ngaku kalian! ". lanjut pak Ryadi sambil menodong Ana dan Alvin.
Ana gemetaran, dan keringat dingin, dia ketakutan setengah mati bahkan malu bercampur kesal karena di tuduh berbuat mesum.
Sedang Alvin diam seribu bahasa, dia keluar pesantren hanya untuk mencari udara segar sehabis kabur dari ustadz yang akan menagih hafalannya. Namun yang tidak disangka kalau dia bertemu dan melihat Ana berada di luar pesantren dengan terburu-buru. Melihat Ana jatuh Alvin langsung membantunya karena menurutnya itu wajar.
Pak Ryadi adalah orang yang tidak terlalu suka dengan pak Kyai, dia selalu mencari cara untuk menjatuhkan nama baik pesantren. Dan kebetulan dia tau Alvin karena pas Alvin dan ibunya datang Pak Ryadi melihatnya.
"Kenapa kalian hanya diam hah?". teriak Pak Ryadi. "Mana berani mereka bicara, sudah ketangkap basah begini". sahut warga yang lainnya.
"Astagfirullahaladzim, jangan fitnah begitu dong pak, kami tidak sengaja bertemu dan dia hanya menolongku". jelas Ana sambil keringat dingin.
"Menolong apanya? mau ngasih nafas buatan? dengan berpelukan begitu?". tanya pak Riyadi.
"Itu Fitnah". teriak Ana sambil meneteskan air mata.
Sedang Alvin masih terdiam mengamati situasi yang sedang terjadi di hadapannya itu.
"Kamu bilang fitnah?". Pak Ryadi menyeringai ke arah Ana dan Alvin. "Ha ha ha bagaimana mungkin fitnah kalau kenyataanya sudah banyak saksi yang melihat kalian berpelukan".
"Sudah ada buktinya, semua orang juga melihat, dan gak ada yang bisa jamin kalau kalian berdua tidak melakukan apa-apa sebelum nya". kata warga dengan lantang.
"Iya, dasar tidak bermoral, bikin malu pesantren aja".
"Kalau sudah begini mereka harus segera dinikahkan sebelum menjadi aib bagi desa kita".
"Pokoknya kita harus menindak lanjutinya".
Mendengar suara para warga pak Ryadi tersenyum licik karena berhasil memprovokasi warga.
»Kediaman pak Kyai«
"Apa yang terjadi?". pak Kyai merasa heran melihat satpam datang menghadap dengan panik.
Belum sempat satpam itu menjawab, tiba-tiba semua warga yang dipimpin oleh pak Ryadi terdengar ribut tidak jauh dari kediaman pak kyai, Ana tampak pucat karena tak ada yang percaya dengan penjelasanya, sedangkan Alvin masih tetap diam tanpa menunjukkan ekspresi apapun meski begitu mereka berjalan patuh menuju kediaman pak Kyai.
Mendengar suara ribut, ekspresi pak Kyai menjadi rumit, untungnya kediaman pak Kyai lumayan jauh dari Asrama putra dan putri, dan dikelilingi oleh tembok besar sehingga keributan itu tidak terdengar oleh para santri, hanya beberapa ustadzah dan ustadz yang ada di sana.
Pak Ryadi dan para warga mulai protes pada pak kyai ketika mereka tiba di hadapan pak Kyai.
"Ada apa ini pak Ryadi?". Kyai Khanif merasa heran ketika melihat Ana dan Alvin ada di antara kerumunan warga. Begitupun para ustadz dan ustadzah.
Pak Ryadi langsung menceritakan kronologis kejadiannya.
"Astagfirullahaladzim". pak Kyai dan para ustad dan ustadzah langsung beristighfar ketika mendengarkan penjelasan Pak Riyadi.
"Kami ingin mereka dinikahkan segera!". lanjut warga yang lain dengan ekspresi gelap.