"Apa kamu sudah selesai lomba?". tanya ustadzah. Ana langsung mengangguk, "Ada apa memangnya ustadzah?." tanya Ana.
"Kita kekurangan sayuran, apakah kamu bisa membantuku untuk mengambil beberapa sayuran di kebun belakang pesantren?". tanya ustadzah.
"Bukankah itu dekat dengan asrama anak cowok ya?". tanya Ana. Ustadzah Aisyah tampak berfikir, "Memang benar tapikan ada penghalang tembok, dan juga semua anak cowok lagi mengikuti lomba kan? " lanjut ustadzah Aisyah.
"Baiklah, aku akan segera mengambilnya untukmu". kata Ana sambil meraih keranjang sayur dari tangan ustadzah Aisyah.
Sesaat kemudian Ana sampai di kebun. Kebun itu cukup luas dan ditumbuhi berbagai macam sayuran. Di samping kebun ada beberapa pepohonan yang cukup lebat dan tinggi bisa dikatakan mirip hutan dan itu terlihat menyeramkan meskipun di siang hari.
Tanpa ragu Ana mengucap basmalah dulu sebelum masuk ke kebun, setelah itu Ana langsung memetik beberapa sayuran, tiba-tiba saja terdengar suara sesuatu yang terjatuh.
Plak..
"Aduhhh.. ". suara rintihan itu terdengar dari balik pohon yang lebat.
Ana langsung kaget dan melirik ke arah pohon itu.
"Ya Allah suara apa itu?". Batin Ana.
"Tolong". suara itu terdengar kembali, kali ini suara orang minta tolong sambil menahan sakit.
Sepertinya suara itu terdengar dari balik pohon itu, aku lihat aja deh siapa tau memang ada orang yang butuh pertolongan. Batin Ana dengan ragu.
Tanpa pikir panjang lagi, Ana berjalan pelan mendekati pohon itu.
"Tolong aku!". Suara itu terdengar semakin dekat, Ana mempercepat jalanya, namun ada rasa khawatir di hatinya mendengar suara itu.
"Tolong". suara itu semakin keras terdengar dari balik semak yang rimbun, Ana langsung menyingkap semak-semak dengan hati-hati, seketika itu matanya terbelalak melihat kaki pemuda itu terjepit di antara potongan kayu yang besar.
"Astagfirullohalazim, diakan cucunya pak kiyai kenapa dia bisa di sini? dia habis ngapain sehingga kakinya sampai terjepit begitu?". Batin Ana dengan ekspresi cemas sekaligus terkejut.
Menyadari kedatangan Ana, pemuda itu mendongak sambil berkata. "Bisakah kamu membantuku menyingkirkan kayu yang menjepit kakiku ini?".
Mendengar pertanyaan pemuda itu, Ana terlihat bingung, dia melirik ke kiri dan kanan, namun kebun terlihat sangat sepi, dia semakin khawatir dan gelisah tak tau harus berbuat apa.
"Kenapa kamu hanya diam?". tanya pemuda itu dengan kesal.
Mendengar suara pemuda itu, Ana merasa udara dingin muncul mengelilinginya.
"Aku akan mencari bantuan dulu". kata Ana.
"Apa kamu gila?". ucap Alvin sambil menatap tajam kearah Ana yang menunduk.
"Apa maksudmu?". tanya Ana. "Kalau kamu mau memanggil orang, itu lama keburu saya mati kesakitan disini". kata Alvin dengan sinis.
"Tapi, kita sedang di pesantren, perempuan dan laki-laki dilarang terlalu dekat". jelas Ana sambil menunduk dengan ekspresi bingung.
Ekspresi Alvin menjadi rumit. "Allah tidak akan marah padamu dalam keadaan seperti ini, lagi pula aku tidak mungkin macam-macam padamu".
Ana tampak berfikir, dia sependapat dengan Alvin, karena tidak tega melihat pemuda itu terus menahan sakit, Ana meletakkan keranjang sayurnya, kemudian dia berusaha menyingkirkan kayu itu dengan sepenuh kekuatannya, di bantu oleh tangan Alvin juga.
Beberapa menit kemudian, kayu itu berhasil disingkirkan oleh Ana.
Ana menarik nafas dan terjatuh ke tanah sambil menyeka keringat di dahinya dan mengucap syukur. "Alhamdulillah akhirnya".
Ketika Ana hendak berdiri, dia melihat kaki Alvin terus berdarah karena goresan kayu yang cukup tajam, Ana mendekat dan berjongkok di samping Alvin, setelah itu dia langsung merobek jilbabnya sedikit untuk menghentikan pendarahannya.
Melihat apa yang dilakukan Ana, sepasang bola mata yang indah itu menatap ke wajah Ana yang berseri.
"Terimakasih". ucapnya, setelah Ana selesai mengikat potongan jilbabnya di kaki Alvin.
"Sama-sama, tapi kenapa kamu bisa ketindih batang pohon?, kamu habis ngapain?". tanya Ana tanpa melihat Alvin.
"Hanya ingin menikmati pemandangan dari atas, pas turun baru jatuh" jelas Alvin.
Mendengar cerita Alvin. Ana langsung memalingkan matanya ke arah pohon mahoni yang lumayan tua.
"Pantas jatuh, pohonya tinggi sih". ucap Ana dengan tidak percaya.
Mendengar perkataan Ana, pemuda itu meliriknya penuh arti, tepat saat itu hujan langsung turun dengan derasnya, Ana menjadi panik.
Melihat Ana yang panik, pemuda itu bangun dari duduknya dan berusaha menopang kakinya yang sakit, setelah berhasil berdiri dia langsung menarik lengan Ana dan segera membawanya berteduh dibawah pohon mahoni yang ada di dekatnya, karena kaget Ana tidak menyadari lengannya dipegang oleh Alvin.
"Kita berteduh sebentar disini !". kata Alvin sambil menyingkirkan air hujan yang membasahi bajunya.
Ana hanya diam dan termangu dengan deg- degan, keringat dingin mulai bercucuran di dahinya, timbul rasa tidak nyaman berduaan dengan lelaki di tempat sepi.
"Ya Allah ampuni Ana, hujan tolong cepatlah reda". Batin Ana.
Sedang Alvin nampak biasa saja, karena dia anak kota yang sudah terbiasa berbaur dengan anak perempuan di SD dan SMP nya jadi dia tidak terlalu panik seperti Ana ketika berduaan di tempat sepi.
Dari celah dedaunan hujan turun menyelinap membasahi wajah mereka, tiba-tiba pemuda itu membuka jaketnya.
"Aaaa, kenapa kamu melepas jaketmu?". Ana mulai berfikir buruk dan menutup matanya.
"Pakailah!". kata Alvin sambil menjulurkan jaketnya.
Mendengar perkataan Alvin, Ana mengintip dibalik celah jarinya, melihat jaket yang diulurkan kepadanya, Ana langsung membuka tutup wajahnya.