Unduh Aplikasi
79.69% TIKAM SAMURAI / Chapter 212: Kenapa engkau tinggalkan saya begitu lama?

Bab 212: Kenapa engkau tinggalkan saya begitu lama?

Persis seperti yang dikatakan si Bungsu. Kabut itu hanya merupakan dinding setebal dua atau tiga meter. Setelah itu sebuah hamparan luas air rawa di antara pepohonan besar yang tumbuh amat jarang. Dan di depan mereka… ya Tuhan, ya Tuhan…!

Bukan belasan, mungkin ada puluhan ekor buaya kelihatan mengapung di permukaan air di depan mereka. Anehnya, semua buaya itu seperti berbaris, semua kepalanya menghadap ke matahari terbit. Sesayup-sayup mata memandang, ke utara maupun ke barat, yang nampak adalah kepala dan punggung buaya yang mengapung, diam tak bergerak sedikit pun!

Han Doi dan Duc Thio ternganga dan menggigil melihat pemandangan yang amat dahsyat itu. Thi Binh memeluk paha si Bungsu erat-erat dan menahan gigilannya di sana. Si Bungsu menghentikan rakit hanya sedepa dari buaya terdekat, yang besarnya lebih besar dari pohon kelapa. Mereka berhenti dalam kebisuan yang amat mencekam.

"Jangan bersuara, jangan bergerak…" bisik si Bungsu sambil mulai menarik galahnya.

Dengan sangat hati-hati dia memasukkan galah itu ke air, lalu perlahan menancapkan ke dasar rawa, dan perlahan pula dia menekan ke arah belakang. Rakit itu meluncur amat perlahan. Si Bungsu berusaha agar tak berbuat khilaf, yang bisa membuat arah meluncurnya rakit melenceng mendekati salah seekor buaya yang mengapung diam itu. Satu saja dari buaya-buaya itu beraksi, maka dunia mereka akan kiamat. Dua hal yang dia jaga, pertama agar rakit itu tak menyentuh salah seekor buaya, kedua bagaimana rakit itu tetap bergerak dari pohon ke pohon. Maksudnya tak lain jika terjadi apa-apa, maka mereka bisa meloncat ke pohon tersebut.

Memilih alur seperti itu sungguh sulit. Jangankan Duc Thio, Han Doi dan Thi Binh, tubuh si Bungsu saja dibasahi keringat dingin. Mereka dicekam rasa tegang dan takut yang luar biasa. Thi Binh yang duduk di rakit, di dekat si Bungsu tegak, memeluk dan mencengkram paha si Bungsu dengan erat. Dia sampai tak berani membuka mata, saking takutnya.

Rakit bergerak amat perlahan. Si Bungsu mencari celah di antara barisan buaya yang berlapis-lapis itu. Jarak antara buaya yang satu dengan yang di bahagian belakang ada sekitar empat atau lima depa. Sementara jarak baris pertama dengan baris kedua dan baris kedua dengan baris ke tiga ada sekitar dua atau tiga meter, begitu seterusnya. Di sela-sela celah itulah si Bungsu meluncurkan rakitnya dengan amat perlahan.

Melewati baris pertama ke baris kedua, yang memakan waktu antara satu sampai dua menit, bagi mereka terasa seperti bertahun-tahun. Ada sepuluh jajaran yang harus mereka lewati. Tatkala sudah melewati baris ke tujuh, tiba-tiba buaya di baris ke sembilan menghantamkan ekornya. Air muncrat ke udara. Buaya-buaya di sekitarnya pada mengangakan mulut.

Si Bungsu menghentikan rakit dan mereka semua seperti merasa sudah berada di dalam mulut buaya. Buaya di baris ke sembilan itu melibaskan ekornya karena merasa terganggu oleh seekor bangau yang hinggap di punggungnya. Ada enam ekor buaya yang mengangkat mulutnya lebar-lebar. Semula kepala dengan moncong menganga lebar itu bergerak ke kiri dan kekanan, seperti parabola televisi. Kemudian, masih dalam posisi menganga lebar, semua kepala itu kembali menghadap ke depan. Berada dalam posisi seperti itu dengan tubuh diam tak bergerak-gerak. Mereka berempat masih terdiam seperti membeku di atas rakit. Detik demi detik merangkak seperti bertahun-tahun.

Buaya di bahagian kiri, kanan dan belakang rakit tetap mengapung diam. Ada satu dua menit rakit mereka tak bergerak. Si Bungsu menahan gerak rakit itu dengan bertahan dan memegang kuat-kuat galah yang dia pancangkan ke dasar rawa.

"Kita akan bergerak maju. Tetaplah waspada…" bisik si Bungsu sambil menekan galah arah ke belakang. Rakit itu bergerak perlahan ke depan.

"Perhatikan dahan terdekat, bila terjadi sesuatu melompatlah ke sana…" kembali si Bungsu berbisik.

Diangkatnya galah, kemudian ditancapkannya perlahan ke bahagian depan. Lalu ditekannya, dan kini rakit mereka bergerak hanya sedepa dari dua ekor buaya yang mulutnya masih menganga lebar.

Ketika sedang melewati buaya pertama, tiba-tiba buaya di baris paling akhir memutar badan ke arah mereka. Si Bungsu terkesiap. Duc Thio dan Han Doi mengangkat bedil.

"Jangan menembak…" ujar si Bungsu yang berdiri di bahagian depan rakit.

Dia mencari akal bagaimana bisa melewati rintangan terakhir ini dengan selamat. Celakanya, buaya terakhir ini lebih besar dari buaya-buaya yang sudah mereka lewati sebelumnya. Thi Binh yang mencoba membuka mata karena mendengar ucapan si Bungsu 'jangan menembak' barusan, hampir saja terpekik melihat mulut buaya yang menganga sedepa di depan rakit yang berhenti.

Padahal, di belakang mereka buaya lain juga masih menganga mulutnya menghadap lurus ke depan. Si Bungsu membelokkan rakitnya perlahan ke kanan.

Celaka! Buaya itu juga mengarahkan mulutnya yang terbuka lebar itu ke arah rakit mereka. Nampaknya buaya ini memang mengintai mereka.

"Di belakang…!" ujar Duc Thio yang sudut matanya menangkap ada gerakan di belakang rakit mereka.

Si Bungsu menoleh. Dan dengan terkejut melihat buaya yang menganga yang baru saja mereka lewati tadi kini juga memutar kepala ke arah mereka.

"Di kanan…" ujar Duc Thio.

Si Bungsu dan Han Doi menoleh ke kanan mereka. Dan mereka melihat buaya yang di kanan mereka yang tadi hanya mengapung diam, kini bergerak mendekati rakit.

"Tembak mulut buaya yang di depan!" perintah si Bungsu sambil mencabut galah.

Hanya sedetik kemudian rentetan peluru terdengar memecah kesunyian. Semburan belasan timah panas menghajar mulut buaya besar yang di depan mereka. Menghancurkan kepalanya. Akibat tembakan itu sungguh luar biasa. Hampir semua buaya yang mengapung diam itu tiba-tiba bergerak.

Buaya yang kena tembak itu menggelepar dan menghempas di dalam air. Mengejutkan

buaya di kiri kanannya. Dan saat itulah si Bungsu bertindak cepat dengan galahnya. Dia

menancapkan galah, kemudian meluncurkan rakit di antara dua buaya yang sedang

bergerak mendekati mereka. Duc Thio dan Han Doi menghantamkan popor bedil mereka masing-masing ke kiri dan ke kanan rakit, ke kepala buaya yang sudah sangat dekat ke rakit. Buaya yang kena hantam kepalanya itu menggelepar. Seekor buaya yang berada di bahagian kiri rakit kelihatan menyelam.

Si Bungsu tahu maksudnya. Buaya itu akan membalikkan rakit mereka dari bawah. Dia melihat buaya yang lain juga sedang memutar kepala ke arah mereka. Mereka benar-benar sudah berada di pintu neraka.

Sebelum hal itu benar-benar terjadi, si Bungsu menghentakkan galah dengan cepat dan dengan cepat pula menekan galah itu sambil melangkah ke belakang, agar rakit itu bisa bergerak dengan cepat.

Namun dia lupa, saat bergerak melangkah ke belakang sambil menekan galah itu Thi Binh masih memeluk pahanya. Akibatnya sungguh mengejutkan. Pelukan tangan gadis itu di pahanya terlepas. Sementara akibat gerakan si Bungsu yang cepat, membuat Thi Binh terseret dan… jatuh ke air. Kendati sebelah tangannya masih sempat menyambar kaki kanan si Bungsu, yang dia sambar dalam keadaan kalut, namun seluruh tubuhnya sudah berada dalam rawa.

Celakanya, saat itu pula seekor buaya yang lain berada hanya sehasta dari tubuhnya yang berada di dalam air. Mulut buaya itu segera menganga dan dengan cepat meluncur ke arah Thi Binh. Gadis itu memekik-mekik dan berusaha dengan panik mengangkat dirinya kembali ke rakit. Saat itu pula mulut buaya itu menyambar betisnya yang menggapai gapai di air.

Namun sebelum celaka menimpa Thi Binh, si Bungsu segera menghantam ujung galah ke mulut buaya yang menganga itu. Galah bambunya menghentak pangkal kerongkongan reptil besar itu, kemudian mendorongnya kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya menyambar tubuh Thi Binh.

Gadis itu tak berhasil dia sambar tangannya. Yang tersambar hanya bajunya. Namun itu usaha terakhir si Bungsu untuk menyelamatkan nyawa Thi Binh yang sudah berada di ujung tanduk. Sekali betis atau kaki gadis itu kena sambar buaya, tubuh gadis itu pasti disentakkan dan di bawa jauh ke dalam air. Dan maut jelas menantinya.

Dengan sekuat tenaga pakaian di bahagian punggung Thi Binh yang berhasil dia sambar itu di sentaknya kuat-kuat. Pakaian gadis itu robek di bahagian punggungnya. Namun sentakan itu menyebabkan tubuh Thi Binh terangkat dari air, dan mereka berdua jatuh bergulingan di rakit. Untunglah rakit itu sedang meluncur cepat ke pinggir rawa, akibat dorongan si Bungsu pada tenggorokan buaya yang akan menyambar Thi Binh tadi.

Duc Thio menyemburkan peluru di bedilnya ke arah tiga buaya lain yang datang memburu. Demikian pula puluhan buaya yang lain pada meluncur ke arah rakit tersebut. Rakit itu tiba-tiba tersampang di akar pohon di pinggir rawa. Dua ekor buaya sudah mendekat. Duc Thio dan Han Doi kembali menembak.

"Meloncat ke darat…!!" ujar si Bungsu sambil membawa tubuh Thi Binh berdiri.

Han Doi dan Duc Thio segera melompat ke akar-akar kayu besar di tepi rawa. Hanya beberapa detik kemudian si Bungsu dengan memanggul Thi Binh di bahunya juga melompat. Begitu sampai di daratan. Si Bungsu meletak kan Thi Binh di tanah

"Ayo kita selamatkan rakit…" ujar si Bungsu sambil bergegas kembali ke akar-akar kayu yang besar itu.

Duc Thio dan Han Doi faham, kendati mereka bisa selamat dari kejaran tentara Vietnam kelak, mereka harus tetap memiliki rakit untuk melintasi rawa maut ini. Mereka segera berlari ke arah rawa. Dan menariknya pada saat yang benar-benar kritis. Sebab begitu rakit itu disentakkan ke atas, libasan ekor salah satu buaya menghantam tempat itu Kalau saja rakit tersebut masih di sana, bisa dipastikan sudah bercerai berai menjadi kepingan tak berguna.

Sementara di rawa sana, suatu kejadian dahsyat sedang berlangsung. Beberapa ekor buaya yang tadi mati ditembak Duc Thio dan Han Doi jadi rebutan belasan buaya yang hidup. Membuat rawa itu menggelegak dan berbuih oleh libasan belasan ekor buaya yang saling rebut, bahkan saling bunuh untuk mendapatkan makanan. Bau darah yang menyebar di dalam air rawa tersebut merangsang mereka menjadi amat buas.

Ada beberapa saat ketiga lelaki tersebut menatap kejadian ke tengah rawa itu dengan tegak mematung. Degan perasaan ngeri yang luar biasa, membayangkan bagaimana jadinya jika tadi mereka terbalik di rawa itu.

"Mari kita simpan rakit ini…" ujar si Bungsu perlahan, sambil memutar badan dan melangkah ke darat.

Mereka menyembunyikan rakit tersebut di antara pepohonan yang rindang. Kemudian si Bungsu memebuka peta, memberi tanda di mana rakit itu diletakkan pada peta tersebut. Mereka lalu menyandang senapan masing – masing. Kemudian mulai menerobos hutan. Mendaki sebuah perbukitan kecil tak jauh dari rawa tersebut.

Dari puncak bukit batu yang memanjang itu mereka dapat melihat cukup jauh. Di depan sana, terlihat bukit-bukit batu menjulang tinggi.

"Itu, bukit yang ada pohon kayu berdaun merah itu. Di bawah bukit itu ada belasan wanita lainnya disekap untuk dijadikan pemuas nafsu. Aku kenal daun – daun merah itu, karena setiap akan pergi ke sungai kecil untuk mandi, aku selalu menatap ke puncak bukit tersebut…" ujar Thi Binh dengan suara menggigil.

Si Bungsu menatap gadis itu. Kemudian memeluk bahunya dengan lembut.

"Akan kuberi engkau kesempatan untuk membalaskan dendammu, Thi-thi. Percayalah, akan tiba saatnya engkau membalaskan dendammu…" ujar si Bungsu perlahan.

Dia tak mengatakan, bahwa dia tahu, jalan ke bukit merah itu takkan mudah. Paling tidak jarak dari bukit rendah ini ke bukit batu yang ditumbuhi pohon berdaun merah itu harus ditempuh dalam setengah hari.

Namun itu ada baiknya. Mereka bisa sampai di sana ketika malam sudah turun. Si Bungsu memutuskan untuk beristirahat di puncak bukit itu beberapa saat, sembari memulihkan mental dari cengkeraman rasa takut atas teror buaya di rawa yang baru mereka tinggalkan.

"Tinggallah di sini sebentar. Saya akan kembali ke pinggir rawa sana, mencari buah-buahan untuk dimakan…" ujar si Bungsu.

Ternyata si Bungsu pergi cukup lama. Tidak hanya Thi Binh yang merasa amat gelisah, Duc Thio dan Han Doi juga merasa cemas. Kegelisahan itu baru sirna tatkala dua jam kemudian si Bungsu muncul.

"Hai, agak terlambat ya…" ujarnya sambil meletakkan pikulan yang di ujung depan ada pisang, rambutan dan durian dan di bagian belakang ada anak rusa yang sudah matang.

Thi Binh segera melompat dan menghambur memeluknya sebelum si Bungsu menurunkan pikulannya.

"Kenapa engkau tinggalkan saya begitu lama?" bisiknya sambil terisak.


Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C212
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk