"Ternyata kamu cengeng banget, ya." ejeknya lirih dan melempar senyum tipis padanya.
"Kahime, kamu sudah bangun. Syukurlah, kupikir kamu bakal lama tidurnya." rengeknya membalas senyumannya.
Tak lama kemudian...
Pintu terbuka dan seorang gadis berambut coklat masuk ke dalam ruangan sambil membawa beberapa kantong plastik dari belanjanya di luar.
"Saki, aku kembali membawa beberapa makanan lezat untuk sarapan kita." katanya riang, lalu berjalan ke sebuah meja pendek bundar meletakkan semuanya.
"Lucu sekali." ejeknya lirih. Gadis itu memayunkan bibirnya dan menghela napas pendek.
"Apanya yang lucu?... Tunggu dulu, suara ini...Kahime?" ia terbelalak kaget dan segera menoleh ke arah suara tersebut.
Mata coklatnya berkaca-kaca, kakinya berjalan perlahan menghampirinya dengan menahan isakannya.
"Bodoh! Akhirnya kau bangun juga, dasar bodoh!" tegurnya serak dan memeluk Kahime yang terbaring di ranjang pasien.
Saki tersenyum lega, melihat kedua gadis itu bertemu lagi tanpa halangan.
"Kamu bodoh! Selalu membuatku khawatir, kamu ini sungguh tidak berperasaan. Huu....huu...dasar bodoh... Kahime bodoh!...huu..huu..." rengeknya dalam pelukannya. Kahime terkekeh pelan dan mengelus rambutnya dengan lembut.
"Aku pulang, Yuri." ucapnya lirih.
"Selamat datang, Kahime." balas gadis yang dipanggil 'Yuri' melepas pelukannya dan tersenyum.
Syukurlah, dia sudah bangun. Lega sekali melihatnya tersenyum lagi bersama, seperti ini. Tapi, aku ingin tahu. Apa yang sudah terjadi padanya, sehingga harus menerima kemalangan sebanyak ini? Aku harus bertanya padanya. --- pikir Saki gelisah.
"Kahime." panggilnya lembut.
"Ya, ada apa?" tanya Kahime lirih menoleh dan melempar senyum padanya. Ia tertegun dan diam sejenak.
"Saki, kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Kahime cemas dengan lirih.
"Emm,...tidak ada. Kembalilah beristirahat, aku mau pergi sebentar dan akan segera kembali." jawabnya membalas senyuman Kahime dan berbalik memunggunginya. Oa pun membuka pintu dan keluar dari sana.
Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu. Keadaannya masih belum stabil, aku tidak boleh membuatnya semakin buruk. Lukanya terbuka dan ditambah luka baru. Aku harus mencari tahu siapa yang sudah membuatnya jadi seperti ini. Tapi, kepada siapa aku harus bertanya? --- pikirnya ragu dan gelisah.
"Apa kau penasaran?" tanya seorang pemuda yang duduk di kursi tunggu, yang tidak jauh dari ruangan tersebut. Ia menghampiri pemuda berambut merah yang duduk menundukkan kepalanya membuatnya tampak mencurigakan.
"Siapa kamu? Apa yang kamu bicarakan?" tanyanya dengan menatap tajam penuh curiga.
"Kau mau tahu? Aku akan membantumu, menemukan orang yang sudah melukai gadismu." kata pemuda rambut merah itu menyakinkannya sambil tersenyum sinis.
Ia terkejut dan menarik kerah pemuda dihadapannya penuh amarah.
"Hehe, kau ingin membalasnya 'kan? Membalas perbuatan orang-orang yang sudah melukainya' kan?" tanya pemuda itu tersenyum sinis, berusaha memancing emosinya.
"Apa aku bisa percaya padamu, orang asing?" tanyanya balik, berusaha menahan emosinya.
"Kau bisa percaya padaku karena aku tahu siapa pelakunya. Kalau kau bisa bantu aku, aku akan membantumu." jawab pemuda itu enteng.
Mendengar ajakan pemuda itu, ia melepaskan kerahnya. Pemuda tersebut tersenyum dan merapikan bajunya. Lalu mengangkat kepalanya sehingga menampakkan wajah tampannya.
"Untuk apa aku harus membantumu, kalau ingin menyelamatkan temanku?" tanyanya kesal. Mata birunya menatap tajam seperti tidak suka.
"Aku hanya menawarkan suatu kerja sama denganmu. Kita saling membantu sama lain, bukannya yang aku lakukan ini benar?" celatuk pemuda itu enteng sambil mengangkat kedua tangannya sejajar bahu membanggakan dirinya. Ia hanya terdiam menatapnya penuh selidik dan menghela napas, lalu mulai membuka mulut untuk bicara.
"Kerja sama apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya dingin.
Pemuda tersebut menyeringai dan mendekatinya.
"Mudah saja, kau hanya perlu meminjamkan gadis itu pada kami untuk beberapa hari." jawab pemuda itu enteng menaikkan alisnya. Sebuah tinju melayang ke wajahnya dan membuatnya tersenyum sinis.
"Takkan kubiarkan siapapun menyentuhnya! Termasuk orang asing sepertimu!" bentaknya kesal dengan meninggikan suaranya. Sehingga Kahime dan Yuri yang berada di dalam ruangan dapat mendengar suaranya.
Di dalam ruangan...
"Bukankah itu suara si Bodoh itu? Kenapa dia berteriak keras di luar?" cetus Yuri heran agak kesal dan memayunkan bibirnya.
"Sepertinya ada keributan di luar sana. Yuri bisa bantu aku? Aku ingin keluar melihat keadaan diluar, jika kau keluar sendirian bisa berbahaya." tutur Kahime lirih berusaha bangun dibantu Yuri. Kemudian turun dari ranjang pasien, lalu dibantu Yuri saat berjalan, meskipun tertatih-tatih.
Setelah beberapa langkah, mereka berdua keluar, lalu menemukan Saki dan pemuda lain saling berhadapan.
"Saki... Vincent Yamato, apa yang kau lakukan disini?" panggilnya kepada Saki dan langsung bertanya pada pemuda lain di hadapannya. Saki menoleh dan kaget.
"Kahime! Kenapa kamu keluar?! Aku sudah bilang agar isitirahat, keadaanmu belum stabil." sahutnya cemas dan menghampiri Kahime,tapi dia menyuruhnya untuk diam di tempat.
"Ternyata namamu Kahime. Ada yang ingin kukatakan dan beberapa pertanyaan padamu." ucap pemuda yang disebut 'Vincent Yamato' oleh Kahime. Ia berjalan mendekatinya, agak menundukkan kepala menyesejajarkan tinggi mereka agar sama dan saling berhadapan.
"Ketua Naga Emas, apa maumu? Kalau kau ingin menghabisiku ini adalah kesempatanmu." cetus Kahime lirih dengan menatap tajam. Vincent melirik bagian perutnya dan tersenyum sinis. Lalu telunjuknya mengangkat dagu Kahime kemudian mendekatkan bibirnya di telinganya.
"Aku bisa membantumu mengakhiri semua kekejaman ini. Bergabunglah dengan kami, maka kami akan membantumu sepenuh hati." ujarnya berbisik, lalu berdiri tegak menjauh menjaga jarak. Ia terkekeh dan masih tersenyum sinis memandang dirinya yang terluka.
"Apa yang membuatmu berpikir kalau bujukanmu bisa mempengaruhiku, Vincent?" tanya Kahime dingin.
"Aku hanya ingin membantu, tidak ada yang lain. Selama empat tahun ini, bukankah kau bekerja hanya untuk menyiksa dirimu sendiri. Keluargamu yang sayangi, dimana mereka? Bagaimana keadaan mereka sekarang? Apakah mereka baik-baik saja disana tanpamu? Kau ingin bersama mereka lebih lama lagi meskipun kesempatanmu hanya sesaat, walaupun sudah bertemu secara kebetulan kau masih merindukan mereka. Merindukan panggilan mereka, merindukan pelukan mereka saat kau kedinginan, merindukan suara mereka, merindukan candaan mereka, dan merindukan kehangatan sebuah keluarga. Bukankah itu yang kau rasakan selama ini? Tapi, apa yang kau dapat? Dia malah menekanmu agar tunduk padanya, lalu menambah rasa sakitmu. Kupikir hidupmu tidak akan lama lagi, jika kau hanya diam saja membiarkan dia menyiksamu, membuatmu menderita seumur hidup. Kau hanya gadis biasa dan lemah, selain itu ka-... " perkataanya terpotong oleh tegurannya.---Ya, teguran Kahime.
"VINCENT YAMATO!! Berhenti bicara!" tegurnya kesal dengan napas terengah-engah dan menggertakkan giginya. Yuri melirik ke arah Kahime, memandangnya gelisah. "Kahime.." ucapnya lirih.
"Ah, maaf sepertinya aku terlalu banyak bicara." kata Vincent tertegun karena dia banyak bicara tentang apa yang dirasakan olehnya.
Mata lavendernya terasa sembab, dia berusaha membendung air matanya agar tidak jatuh maupun mengalir, akan tetapi air matanya kini tak bisa dibendung lagi. Cairan hangat itu mulai jatuh ke pipinya.
Aku tidak mungkin mengatakannya, tapi aku juga harus mengatakannya. ---pikir Kahime.
"Aku...tidak tahu...harus berbuat apa?! Tapi, inilah satu-satunya jalan yang harus kulalui!! Jika tidak sesuai harapannya, mereka akan menyakiti keluargaku!! Aku rela mati demi mereka, melindungi mereka dari siksaan yang menyakitkan ini adalah tugasku!! Yang kau katakan itu, semuanya benar! Aku selalu ditekan olehnya hanya untuk mewujudkan keinginannya! Aku menyiksa diriku sendiri! Aku... Aku... Aku merindukan keluargaku... Akan tetapi, ketika Saki terus memanggil namaku. Ia memberiku kesempatan untuk menjawab panggilannya dan bicara padanya sebelum dia berhasil pindah ke luar kota." jelas Kahime sedikit meninggikan nada bicaranya dengan tersedu-sedu.
Vincent menyeringai dan menghela napas panjang.
"Nah, sekarang aku akan bertanya hal yang sederhana. Jika kau menjawabnya dengan jujur, aku akan memberimu sebuah hadiah yang besar dan mengejutkan. Tapi, jika kau berbohong, aku tidak akan menghukummu maupun mengancammu." sambungnya santai kembali duduk di kursi.
"Baiklah, akan kujawab. Tapi, apa hadiahnya?" tanya Kahime heran dan masik tersedu-sedu.
Ia menjentikkan jari telunjuk dan ibu jarinya, lalu sebuah keluarga datang dari sebuah ruangan lain tengah mengikuti seorang pemuda berambut putih dan bermata kuning. "Lihatlah sendiri, nona." katanya enteng menunjuk ke arah kanannya.
Dia terbelalak, mata lavendernya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, dadanya terasa sesak. "Kenapa kau membawa mereka kesini?! Jika, dia tahu aku bertemu mereka...dia bisa saja menyiksa mereka. Aku tidak ingin ini terjadi!" bentaknya geram sehingga jatuh terduduk.
"Tuan Vincent, saya sudah membawa mereka semua untuk datang kemari." kata pemuda berambut putih dan bermata kuning, membungkuk memberi hormat dan kembali berdiri tegak.
"Baguslah, kurasa masalah ini akan terjawab." balas Vincent melirik Kahime.
"Kenapa orang ini membawa kita ke rumah sakit?" tanya Mitsuho heran acuh tak acuh berjalan menghampiri pemuda berambut putih.
"Entahlah, ayah dan ibu juga tidak tahu. Sepertinya orang ini ingin kita menemui seseorang." jawab ibunya yang bingung sendiri karena tidak tahu.
"Dia bilang ini mengenai keluarga kita." sahut ayahnya dingin acuh tak acuh.
Vincent beranjak dari tempat duduknya menghampiri keluarga tersebut.
"Oke, pertanyaan kali ini jawabannya ada padamu. Nona muda." cetusnya merangkul Mitsuho yang termangu.
"Rasanya aneh sekali." gumam Mitsuho bingung ketika melihat Kahime dibantu berdiri oleh dua orang asing.
Kahime yang pada awalnya gelisah mulai memberanikan dirinya memandang mereka.
"Sebutkan nama dan tanggal lahir mereka!" tegasnya enteng.
"Eh! Pertanyaan macam apa itu?" tanya Saki heran.
"Iya tuh, bener banget. Mana mungkin, dia bisa menjawabnya." sambung Yuri dengan mengerucutkan bibirnya.
"Aku bisa kok, jangan khawatir." cetus Kahime lembut.
"Yang bener kamu?!" tanya mereka berdua bersamaan cemas.
"Tenanglah, hanya dia yang harus menjawabnya. Kalian tidak perlu menjawabnya." ujar Vincent memandang Kahime dengan percaya diri.
"Watari Shitou, 13 April. Kaname Hatori, 21 Mei. Mitsuho, 27 Maret. Usuga, 1 Januari. Shiraju dan Rydja, aku tidak tahu." jawab Kahime dalam satu kali napas.
"Dia tahu nama dan tanggal lahir kami, kecuali tanggal lahir Shiraju dan Rydja." celatuk ibunya heran.
Beberapa menit kemudian...
Setelah menjawab beberapa pertanyaan, dia tampak kelelahan dan kehausan.
"Pertanyaan terakhir, siapa nama aslimu?" akhirnya ia melempar pertanyaan terakhirnya yang berhasil membuat Kahime terpojok.
"Bukankah sudah jelas kalau namanya-...." cetus Yuri tidak terima dan dibuat bungkam olehnya. "Tidak." tegur Kahime.
Dia menghela napas panjang dan mulai membuka mulutnya. "Nama asliku adalah Kahime Shitou." jawab Kahime dengan lantang.
Seketika suasana menjadi hening, tidak ada yang bersuara. Sehingga sebuah tepukan tangan dari Vincent mencairkan suasana.
"Selamat, kamu sudah menjawab semua pertanyaanku dengan jujur dan benar. Sekarang, keputusan ada pada kalian keluarga Shitou." tuturnya kembali duduk dengan kaki kiri diatas kaki kanannya.
"Kahime, kau pasti bercanda. Kamu jangan main-main, sekarang kita berhadapan dengan keluarga Shitou yang kau pakai sebagai nama belakangmu." kata Yuri gugup tidak percaya dengan apa yang sudah dikatakan sahabatnya.
"Aku nggak bercanda dan nggak main-main sama ucapanku. Yang aku katakan adalah kenyataannya, nama asliku adalah Kahime Shitou. Marga keluarga Shitou berasal dari nama ayahku,Watari Shitou." sahutnya menoleh pada Yuri dan tersenyum kecut.
"Putriku, Kahime Shitou. Ini tidak mungkin, dia sudah tiada empat setengah tahun yang lalu. Kalau kau memang benar-benar putriku, katakanlah pesanku ketika putriku berumur sebelas tahun." balas ibu keluarga Shitou tidak percaya.
Ibu, ternyata kau percaya dengan kebohongan yang sudah dibuatnya dan itu hampir membunuhku. Maafkan aku. ---pikir Kahime sedih.
"Perempuan itu bagaikan siklus musim, kelopak bunga, dan pohon sakura. Duduk dibawah kursi mendekati hari ulang tahunku yang kedua belas yang datang pada musim dingin. Ibu mengatakan itu padaku, karena aku telah bertahan dari gangguan temanku." sahutnya memandang wanita empat puluh satu tahun, berambut coklat, dan bermata ungu, dengan sendu tersenyum kecut.
Kata-katanya tidak ada kebohongan sama sekali, tapi kenapa rasanya ada yang berbeda? Dia terlihat sangat senang dan terasa berat kalau aku meninggalkannya. ---pikir Kaname menghampiri Kahime.
"Kahime Shitou, kalau kamu memang putriku. Ucapkanlah sesuatu yang bisa membuatku kesal." bujuk Kaname yang kini berdiri saling berhadapan dengannya. Dia menyunggingkan sebuah senyuman dan tampak berseri-seri.
"Ibu sangat menyebalkan, selalu cerewet karena hal sepele. Aku tidak suka ibu yang seperti itu." sahutnya lirih dan masih tersenyum.
Kaname terkejut dan perlahan mengangkat tangan kanannya, lalu melayangkannya ke wajah Kahime. Kahime sama sekali tidak berkutik sambil memejamkan matanya, bersiap ditampar.
Tep!
Tepukan pelan membelai lembut wajahnya yang pucat, mata lavendernya terbuka perlahan dan berkaca-kaca.
"Putriku!! Ibu sangat merindukanmu, nak. Maafkan ibu, karena tak bisa menjadi ibu yang baik." kata Kaname gugup langsung memeluk putri semata wayangnya yang sudah lama menghilang. Kahime membalas pelukannya dengan lembut.
"Ibu, aku juga merindukanmu. Maaf, aku tidak bisa menjadi gadis yang baik kepada ibu dan yang lain." balasnya meminta maaf sampai air matanya mengalir begitu deras.
Tak lama kemudian...
Mereka berdua melepas pelukan masing-masing, lalu ayahnya--Watari, menghampirinya. Ia hanya diam memandang dingin Kahime.
"Ayah. Maafkan aku, aku masih belum bisa menepati janjiku pada ayah. Aku sudah mengecewakanmu dan pergi begitu saja. Maafkan aku, jika ayah tidak memaafkanku aku tidak-..." perkataannya disela oleh Watari.
"Jadilah kuat dan bahagia. Kau satu-satunya anak gadisku, tidak pernah menyerah dan berusaha keras. Kalau sudah selesai, pulanglah ke rumah...pintu rumah selalu terbuka untukmu, putriku..... Ayah yang salah karena tak bisa melindungi kalian dengan baik waktu itu, sampai kamu yang harus menerima beban berat di bahumu." katanya terisak ikut menangis karena sudah bertemu putri semata wayangnya yang dicari.
"Mitsuho, Usuga, Shiraju, dan Rydja. Kalian kemarilah, dia kakak kalian. Sapalah dia, bukankah kalian penasaran dan ingin bertemu dengannya?" ujar ibunya lembut.
Kemudian mereka berempat menghampiri Kahime. Ketiga adiknya sudah menyapa dan memberikan pelukan pada Kahime, kecuali Mitsuho.
Dia kelihatan sangat suram dan kesal ketika berhadapan dengan kakaknya sendiri---Kahime.
"Kenapa waktu itu berbohong soal nama kakak sendiri?" tanya Mitsuho dingin dan lirih.
Kahime menundukkan kepalanya, lalu kedua tangannya berusaha menggapai anak laki-laki tiga belas tahun yang ada di depannya. "Mitsuho, maafkan aku." ucapnya lirih dan mendekati Mitsuho.
"Jangan sentuh aku!!" bentak Mitsuho kesal dan memukul perutnya. Dia terdorong dan terbatuk darah, serta darah yang merembes di bagian perutnya membasahi baju rumah sakit.
Saki segera menangkapnya dan terbelalak.
"Apa yang sudah kau lakukan?! Lukanya belum sembuh dan kembali terbuka untuk kedua kalinya!! Seharusnya kau senang, karena dia masih menganggapmu sebagai adiknya daripada tidak sama sekali!! Ck! Adik macam apa kau ini?" tegur Saki penuh amarah dan langsung menggendongnya kembali masuk ke dalam ruangan.
"Ha-ah?" celatuknya tercengang, ia membeku di tempatnya. Tubuhnya gemetar, ia menggumam tidak jelas dan melihat tangannya terdapat noda darah.
Aku sudah membuat kakak terluka. Lukanya terbuka gara-gara aku, aku...aku tidak tahu kalau dia terluka. Kenapa dia bisa mendapatkan luka yang seperti itu?
"Mitsuho, kamu harus tenangkan dirimu. Ini bukan salahmu dan bukan salah kakakmu." ujar Vincent menepuk bahunya pelan.
"Maaf kalau mengganggu, namaku Yuri. Kahime adalah sahabatku dan dia sudah seperti keluargaku sendiri." tutur Yuri sopan dan lembut.
Kaname dan Watari saling memandang satu sama lain, lalu menoleh padanya.
"Nak, Yuri. Apa kamu tahu penyebab lukanya?" tanya Kaname cemas dan gugup.
Yuri mengangguk pelan.
"Ya, saya tahu. Penyebab luka pada Kahime adalah saya. Enam bulan yang lalu, kami didatangi oleh sekelompok orang jahat yang mengincarnya ketika dia belum sadar. Saat sadar, kami diserang oleh pemimpin mereka. Pada awal mulanya, kupikir akan diserang oleh pemimpin mereka, tapi perkiraanku salah. Ia sengaja membuat Kahime lengah dan berhasil menusuknya dengan belati yang terhubung benang dari jaketnya. Itu adalah luka pertama yang dia dapat, lalu yang kedua ketika Kahime mendapat luka baru dan luka lama terbuka. Saki mendengar suara di depan rumah Kahime, kemudian ia segera menghampirinya sampai di depan gerbang dan menemukannya jatuh terduduk dengan luka tambahan di perut sisi kanannya." jelas Yuri tanpa keraguan sedikitpun.
Kaname menutup wajah dengan telapak kirinya, mata ungunya berbinar mulai sembab tidak percaya cerita dari Yuri. Dan ia tidak pernah menyangka, kalau putrinya telah menderita selama empat setengah tahun tanpa keluarga.
"Kahime, putriku. Kenapa....kenapa dia harus mengalami nasib seperti ini? Apakah dia....akan baik-baik saja?" isaknya penuh kecemasan.
"Tenang, dia pasti baik-baik saja. Putri kita sangat kuat, jadi kita tidak boleh bersedih. Kita sebagai keluarga harus memberinya semangat agar cepat sembuh." tutur Watari berusaha menenangkannya.
"KAHIME!!!" sebuah teriakan dari dalam ruangan mengejutkan mereka semua, termasuk keluarga Shitou. Lalu seorang dokter dan beberapa perawat berlari terburu-buru, kemudian masuk ke dalam ruangan Kahime.
Kahime.
Kakak