Di kamarnya, meri membaca kembali presentasinya untuk besok dan memikirkan kemungkinan hal-hal yang akan menjadi pertanyaan para audiens. Tampil sempurna dan memukau adalah tujuannya sejak awal dalam setiap presentasi yang dilakukannya. Di kampus ia bahkan di juluki Miss perfect. Bukan hanya dari kecerdasan otak, sikap ramah, peduli pada orang lain dan berusaha meringankan beban temannya adalah kelebihan tanpa cela bagi orang yang berada di sekitarnya.
Hanya kecantikannya yang tertutupi membuat sangat jarang ada sosok pria yang mengutarakan perasaannya. Teman kuliahnya bahkan hanya segelintir yang mengetahui bahwa meri memiliki anak. Mereka sangat menjaga rapat rahasia itu untuk menjaga perasaan meri yang tetap ingin menyembunyikan junior.
Sahabat baiknya bahkan hanya mengetahui junior adalah putra meri berkat salah seorang staff tempat junior belajar adalah saudaranya. Mereka selalu berkoordinasi saat ada acara dan meminta agar ia menyampaikannya kepada dokter ana.
Pagi hari, meri melihat jadwal presentasi di buka pukul delapan, namu masih ada beberapa sambutan dan paper sebelum miliknya yang akan di presentasikan karena itu ia memilih melihat junior terlebih dahulu.
Di ruangan itu juga apa dokter imran yang sudah berdiri memberi dukungan kepada putranya. Tak ketinggalan dokter fuad yang juga memiliki tujuan yang sama dengan kakaknya.
"dokter ana, kau ada di sini?" tanya dokter imran sedikit terkejut.
"iya, putra ku akan menjadi lawan putramu untuk kedua kalinya" jawab meri menjelaskan karena fuad pasti tidak mengatakan hal itu.
"benarkah? Ku harap anakku tidak mengecewakan anakmu" balasnya
"kakak, jagoan kita pasti menang" ujar fuad menengahi.
Mereka bertiga duduk berdampingan dengan fuad yang berada di tengah. Dengan cermat, meri melihat permainan junior yang sedikit aneh. Putranya seakan bermain tanpa strategi dan hanya memperkuat pertahanan dengan saling back up antara satu bidak dan bidak lainnya.
Anak dokter imran merasa bingung karena saat ia menyentuh satu garis pertahanan itu, dia akan memperoleh satu bidak tapi kehilangan dua bidak lainnya serta kehancuran pada strateginya.
"apa kau yang mengajari anakmu bermain seperti itu?" tanya dokter imran terkejut melihat permainan junior.
"bukan, aku juga tidak tahu dia bisa sepintar ini" meri tak kalah terkejut.
"kau pasti berbohong. Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa kau meminta anakmu mengintimidasi mental keponakanku. Ini pasti cara yang kau ajarkan" sanggah dokter fuad.
"apa kau hilang akal. Aku hanya meminta putraku tampil angkuh dengan strategi acak. Siapa sangka dia akan tampil sebaik ini. Tapi ngomong-ngomong, aku sangat puas" ujar meri bangga.
Dugaan meri jatuh pada ayahnya yang sepertinya mengajari cucunya itu dengan baik.
Mental anak di hadapan junior benar-benar jatuh karena merasa di injak-injak. Semua langkah junior seperti jebakan yang bisa ia artikan 'jika kau menyentuhku dengan tangan kanan maka bukan hanya tangan kanan yang hilang tapi juga tangan kiri. Satu di balas dua'.
Itu berlangsung lama karena di final, waktu bukanlah suatu pertimbangan sebagai juara. Kemenangan mutlak terletak pada raja siapa yang berdiri hingga akhir.
Meri tidak menyukai mengulur waktu dan terlambat sebelumnya. Tapi untuk melihat junior, ia bersedia terlambat untuk bergabung lebih awal dan akan masuk hanya untuk presentasi. Profesor anwar selaku pembimbingnya terus menelfon untuk memastikan meri datang tepat waktu.
Pertandingan belum selesai saat meri berdiri untuk meninggalkan tribun penonton menuju auditorium kampus. Ia sudah tahu hasil akhirnya, karena itu ia bisa tenang dan membiarkan junior menyelesaikannya.
"dokter ana, apa kau sudah mau pergi? Pertandingan belum selesai" ujar dokter imran.
"aku sudah bisa menebak hasil akhirnya. Lagi pula aku sudah sangat terlambat untuk presentasi. Jadwal presentasimu paling akhir jadi dokter imran bisa menunggu hingga pertandingan ini berakhir. Saya permisi" meri dengan sopan berpamitan.
"biar ku antar" fuad berusaha menawarkan diri.
"kita tidak seakrab itu untuk saling menawarkan bantuan seperti itu" ucap meri dengan tegas membuat batasan yang jelas dengan dokter fuad.
Meri melangkah pergi di ikuti tatapan dokter fuad yang merasa di tolak untuk pertama kalinya oleh wanita. Ia keturunan berdarah arab, tentu saja wajahnya sangat menarik dengan warna kulit yang eksotis. Tapi meri bahkan tidak meliriknya sedikitpun atau berpikir sejenak sebelum menolak tawarannya. Kalimat penolakan itu terlontar hampir bersamaan dengan selesainya tawaran itu sendiri.
Dokter imran melihat raut kekecewaan di wajah adik bungsunya. "dia single parent jadi sikapnya sudah pasti tegas. Jika kau tertarik padanya, kau harus berusaha lebih keras unthk bisa bersamanya" imran menepuk pelan bahu adiknya itu.
"dari mana kakak tahu kalau dia single parent?" fuad merasa penasaran.
"ayah sudah sejak lama ingin menjodohkanmu dengannya, tapi identitasnya sangat rapat tertutup. Baru kemarin aku mendapatkan petunjuk setelah tahu putranya berada di sekolah yang sama dengan malik, maka pihak sekolah pasti mengetahui tentang orang tua anak itu. Dari data, wali anak itu adalah meriana sendiri dan dia sudah berpisah dari ayah anak itu yang bernama andrean sejak lama bahkan saat anaknya baru berusia satu tahun. Aku punya saran tapi jawab dulu pertanyaanku"
"apa?" fuad nampak tidak sabar.
"apa kau sungguh tertarik padanya? Apa kau yakin dia tidak akan mengecewakanmu?"
"aku tertarik saat ayah memperlihatkan fotonya padaku, bahkan saat ia berusaha menutupi kecantikannya, matanya tetap sangat indah dan mencerminkan kecantikan akhlak dan kesucian pada matanya. Aku tidak akan kecewa dengannya dan aku yakin bisa mendekatinya" jawab fuad.
"kalau begitu jangan dekati ibunya tapi dekati anaknya. Dia pasti merindukan sosok ayah selama ini jadi akan mudah jika kau menarik perhatian dokter ana melalui anaknya"
"kakak, kau benar-benar cerdas"
Kakak beradik itu bekerja sama untuk menyusun rencana agar bisa menjadikan meri sebagai bagian dalam keluarga besar mereka.
Di auditorium, meri hampir saja terlambat. Dia berjalan dengan tenang ke atas panggung dengan pakaian dress putih panjang menutupi seluruh tubuh di padukan dengan coat berwarna biru. Tak lupa hijab yang menutupi kepala hingga dadanya serta menyembunyikan kecantikannya di balik selembar kain tipis berwarna putih. Dia tampil memukau sebagai satu-satunya peserta presentasi paper ilmiah yang menggunakan cadar.
Kepercayaan dirinya di atas panggung dalam menyampaikan materi dan menjawab semua pertanyaan serta sanggahan dari audiens membuat semua orang terpana. Jika semua paper menunjukkan foto penulisnya, maka meri tak menunjukkan wajahnya sama sekali dan hanya memilih mencantumkan nama aliasnya di layar besar yang memantulkan presentasinya.
Seperti biasa, dia turun dari panggung dengan tatapan kagum serta tepukan tangan bergemuruh. Dia selalu di jadwalkan untuk wawancara setiap usai presentasi tapi sepeti tahun sebelumnya, dia menolak menyebut nama aslinya bahkan di paper yang ia terbitkan hanya menggunakan nama ana serta prof anwar.
Sikap preventifnya mencegah dunia untuk mengetahui keberadaannya, dia sangat ingin hidup tanpa di ekspose agar tak ada yang bisa mengganggunya lagi. Saat acara selesai meri keluar ruangan setelah menyapa para petinggi kampus dan penyelenggara acara.
Di luar, junior berlari memeluknya dengan wajah berbinar-binar dan cahaya kebahagiaan. Meri terkejut karena ia tak ingin orang lain mengetahu identitas juniot, terlebih lagi masih banyak kamera yang mengikutinya.
"mengapa kau membawanya kemari?" meri menatap tajam ke arah dokter fuad dengan kemarahan.
"aku pikir kau akan senang"
Meri berbalik membawa junior menjauh dari kerumunan dan segera masuk ke dalam mobil.
"ibu, apa ibu marah karena aku datang menemuimu?" junior merasa terluka dengan respon ibunya itu.
"tidak. Ibu hanya terkejut junior tiba-tiba memeluk ibu" meri mengemudikan mobilnya ke arah rumah sakit karena ia mendapat shift siang hari. "junior ingin bersama ibu bukan? Bagaimana kalau kita ke rumah sakit bersama. Ibu mendapat shift siang hari ini" meri sedikit kecewa karena tak bisa merayakan kemenangan putranya hari ini.
"tidak tidak. Aku mau pulang saja, bau rumah sakit membuat perutku terasa di aduk. Aku rasanya akan muntah" ujar junior.
Meri mengalah karena ia dulu juga sangat membenci rumah sakit hingga ia menjadi dokter. Dia mulai terbiasa dengan aroma obat-obatan itu.
Sebelum ke rumah sakit, meri mengantar junior pulang dan membelikan makanan untuk makan siang dan malamnya di rumah uncle ali. Dia akan kembali pukul sepuluh malam saat shift siangnya berakhir.
Setelah berganti seragam dengan pakaian serba putih, meri kembali ke rumah sakit dan sudah mendapatkan satu pasien yang menunggu. Dia masih dokter umum tanpa gelar dokter spesialis. Dia hanya bertugas mengawasi pasien dan berkeliling memeriksa perkembangan mereka.
Hanya saat ada operasi meri selalu di panggil untuk menjadi asisten dokter. Keterampilannya sangat baik karena itu beberapa dokter mengagumi kinerjanya. Saat di rumah sakit, meri melepas cadarnya dan menggantinya dengan masker yang hanya menyisaka mata dan keningnya.
"dokter ana" panggil seorang wanita muda berseragam biru. "dokter jack memanggil anda untuk mendiskusikan kasus mengenai pasien yang akan di operasi nanti malam"
"baiklah" jawab meri kemudian melangkah perlahan ke dalam ruangan dokter jack yang merupakan atasannya.
Di ruangan, dokter jack sudah menunggu dengan layar monitor yang menunjukkan hasil MRI dari pasien yang akan mereka tangani. Tidak terlalu parah karena itu hanya pengumpulan darah biasa. Kasus itu sudah sering terjadi pada pasien kecelakaan motor.
Setelah berdiskusi mengenai prosedur yang akan mereka jalankan, meri menuju ruang ganti pakaian. Seluruh pakaiannya kini berubah menjadi pakaian operasi berwarna biru langit.
Sudah hampir jam sepuluh saat operasi selesai dengan lancar. Ia sudah bersiap akan pulang ke rumah saat suara tak asing memanggilnya. Meri berbalik terkejut.
"kau..."