Sangat sulit bagi Angele untuk memastikan situasi saat ini, jadi dia memutuskan untuk memeriksa tingkat kekuatan pemimpin lainnya. Ketua penyamun terlemah dari lima kelompok tersebut memiliki kekuatan setara dengan ksatria tingkat menengah, dan yang lainnya memiliki kekuatan setara ksatria tingkat atas. Sementara, karavan yang terkepung itu hanya memiliki dua ksatria tingkat atas dan satu ksatria tingkat menengah. Jelas saja, situasi mereka sekarang sangat buruk.
Angele juga menyadari para penyamun itu tidak bertarung seperti halnya penyamun biasa. Semua anak buah mereka melaksanakan perintah dengan tepat, seakan-akan mereka sedang bertarung sebagai prajurit dalam medan perang. Melalui observasi tersebut, Angele menyadari identitas asli dan motif dibalik penyamaran dan perampokan itu. Kemungkinan besar, mereka kekurangan perbekalan, jadi mereka terpaksa merampok dari karavan dan pelancong. Berbekal kesimpulan itu, dia kembali ke karavan. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Angele untuk kembali dan memberitahu Baron Karl keadaan sebenarnya. Sang baron terkejut mendengar situasi itu dan memutuskan untuk mencari rute lain lagi agar tidak bertarung dengan para 'penjahat' itu.
"Pasti mereka adalah Prajurit Perbatasan Kerajaan Ukusas!" ujar sang baron.
"Sepertinya mereka mendengar tentang rencana penyerangan Kerajaan Saladin, jadi mereka memutuskan untuk merampok bangsawan Kerajaan Rudin yang lari dari peperangan itu. Kalau dilihat dari bagaimana karavan itu punya tiga ksatria tingkat atas, pasti karavan itu dari kota besar di Rudin. Tapi, mereka masih kesulitan untuk kabur." lanjut sang baron. Penjelasan itu membuat Angele menjadi gelisah, hingga seluruh inderanya menjadi lebih tajam agar dapat menangkap semua suara yang terdengar di sekitarnya. Angele ingin memastikan bahwa tidak ada satupun anggota kelompok penjahat itu yang menyadari keberadaan mereka.
Tidak lupa, Angele juga menggali informasi dari bandit-bandit lemah yang ditemukannya selama bersembunyi di balik semak belukar. Menurut informasi yang didapatkannya, mereka tidak hanya sekedar merampok, tetapi juga sedang berlatih. Seorang ksatria rata-rata bisa menghadapi lima calon ksatria. Sangat berbahaya jika perampok itu sampai menyadari keberadaan karavan Angele, karena dengan bantuan pemimpin mereka, akan sangat mudah bagi mereka untuk membantai seisi karavan.
Kejadian ini membuat Angele sadar, walaupun sangat sulit untuk menemukan ksatria di daerah pedesaan seperti teritori keluarga Rio, sangat mudah bagi keluarga dengan peringkat lebih tinggi di kota besar untuk melatih ratusan calon ksatria dan membuat setengah dari mereka menjadi ksatria sesungguhnya. Kejadian hari ini menunjukkan perbedaan tajam dari kedua situasi itu.
Para pemimpin penjahat itu memantau pertarungan yang sedang terjadi sembari berbincang-bincang.
"Master Ceylon, ada seorang pria muda di semak-semak yang sedang mengintai kita. Kemungkinan, dia adalah pengintai yang dikirim oleh musuh!" lapor salah satu penjahat bersyal abu-abu di kepalanya.
"Seorang anak muda? Para bajingan dari Kerajaan Rudin itu tidak pernah belajar dari pengalaman. Ha, Caster, kau mau ikut denganku menemui pria itu? Kalau tidak, aku akan pergi sendiri." Pria bernama Ceylon itu bertanya kepada pria lainnya.
"Kau saja yang pergi. Tapi jangan lama-lama, karena waktu kita tidak banyak. Kita harus bertemu dengan pemimpin kita, dan misi kita untuk mencegah bangsawan Kerajaan Rudin untuk melarikan diri tidak boleh gagal. Kalau tidak, kita akan mendapat masalah besar." Pria yang bernama Caster itu menjawab dengan tenangnya.
"Baiklah! Aku hanya membutuhkan 20 menit untuk menghabisinya. Dia hanya seorang remaja dari pedesaan. Sekuat apa orang desa seperti dia itu? Hahaha." Ceylon mengelap kepalanya yang botak dengan potongan kain seraya mengambil pedang besarnya.
"Aku butuh 5 orang. Anker, Hasis, ikut aku!" teriaknya.
"Baik! Master Ceylon!" Dua orang ksatria berpakaian setelan hijau-hitam berjalan mendekatinya. Kedua ksatria itu membawa pedang lebar di tangan masing-masing.
"Aku akan menemanimu. Pekerjaanku di sini sudah selesai." Pemimpin yang lain berjalan keluar dari kelompoknya.
"Orisis, mengapa kau selalu menghalangiku?" Ceylon memandang masam pria bernama Orisis itu, sementara Orisis hanya tersenyum tanpa menjawab. Orisis membawa busur besi yang panjang di punggungnya, dan tempat anak panahnya tergantung di sisi pelana kuda yang ditungganginya.
"Bagaimana bisa, Master Ceylon? Saya yakin Anda tahu bahwa saya sangat mengagumi kekuatan dan talenta anda." jawab Orisis sembari masih tersenyum.
"Terserahlah! Ayo kita kesana!" Ceylon memotong pembicaraan itu dengan kibasan tangannya. Dua orang ksatria yang ditunjuknya, bersama dengan sepuluh orang penunggang kuda lainnya, berjalan mengikuti Ceylon. Kelompok itu melaju ke arah timur dari posisi mereka dengan kencang.
"Master Ceylon, kita memiliki dua orang ksatria tingkat atas di sini. Mengapa kau gelisah sekali? Kau tahu tidak ada yang bisa menghindar dari panahku, kan?" kata Orisis dengan suara yang sangat ringan dan sedikit bermelodi seperti seorang wanita. Suara itu mampu membuat orang-orang di sekitarnya menjadi tidak nyaman.
Ceylon tidak menjawab, dan terus memacu kudanya untuk berlari lebih cepat.
Di hutan.
Tiga kereta kuda berjalan perlahan-lahan di antara pepohonan. Hutan itu tidak terlalu lebat, dan jarak antara pepohonan cukup lebar untuk dilewati ketiga kereta kuda itu. Suasana karavan sangatlah tegang. Tidak ada yang berbincang-bincang, dan hanya suara kuda yang terdengar menggema di sekitar, seakan-akan menunjukkan betapa berdebar-debarnya mereka sekarang. Para pengawal yang berjalan di samping ketiga kereta itu terus-menerus melihat sekeliling mereka dengan teliti. Tingkah mereka itu membuktikan betapa waspadanya mereka saat ini.
Seorang remaja berambut pendek berwarna cokelat dengan persenjataan lengkap duduk di kursi untuk kusir sembari memegang busur kayu panjang. Pedang crossguard perak tergantung di pinggangnya, sedangkan sebuah tempat anak panah ia bawa di punggungnya. Untuk melindungi diri, dia mengenakan baju zirah berbahan kulit. Ia juga membawa kantong, tapi tidak ada yang tahu isi kantong kecil itu. Remaja tersebut tetap berjaga-jaga melihat sekeliling dengan waspada.
Kecepatan kereta kuda mereka sedang-sedang saja, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lamban. Namun, saat ini mereka telah mencapai kecepatan tertinggi yang mungkin ditempuh dalam situasi seperti ini. Seorang pria berambut panjang sebahu berwarna cokelat melompat ke atas kereta kuda dan duduk di samping remaja itu. Pria ini adalah sang baron, Karl Rio, yang matanya masih ditutupi dengan perban.
"Angele, 10 menit lagi kita akan berbelok dan memasuki Dataran Anser. Saat ini, kita telah mendekati ujung peta. Setelah keluar dari sini, kita tidak bisa mengandalkan peta lagi, jadi kita tidak boleh kehilangan arah setelah keluar dari sini." kata sang baron dengan suara berat.
"Baik, Ayah." jawab Angele sembari mengangguk setuju. Dia melihat ke dalam kereta kuda, di mana para wanita duduk dengan ekspresi cukup gelisah. Para pengawal di samping mereka telah siap untuk bertarung sejak beberapa waktu lalu.
Di persimpangan antara dataran dan hutan itu.
Bersamaan dengan suara kaki kuda yang menapaki tanah, satu kelompok penjahat dengan tunggangannya tiba di tempat yang telah dilewati karavan Angele beberapa waktu lalu.
"Seseorang baru saja melewati tempat ini. Ada banyak jejak kereta kuda di tanah. Cari mereka!" teriak Ceylon setelah memandang jejak roda di tanah.
"Tidak perlu. Aku bisa melacak pergerakan mereka." teriak Orisis. Dia melompat turun dari kudanya, dan memandang jejak kereta itu dengan teliti.
"Kemungkinan besar, mereka sudah tahu kita ada disini dan mencoba mengubah rute perjalanan. Kejar mereka!" Orisis menunjuk ke arah yang dipilih oleh sang baron.
"Hah! Kerja bagus, ayo kita pergi!" Ceylon harus mengakui bahwa Orisis memiliki bakat dalam pencarian, walaupun dia tidak menyukai Orisis.
Tiba-tiba, terdengar suara keras dari karavan yang berlari kencang.
"Kelompok besar! Ada sekitar sepuluh kereta kuda! Kita bisa mendapatkan banyak jarahan!" Orisis, Ceylon, dan para prajurit itu terlihat gembira.
"Hasis, Anker, kalian urus anak buah mereka! Sisanya, ikuti aku!" teriak Ceylon sembari memacu kudanya dan mengangkat senjatanya.
"Aku juga ikut!" teriak Orisis sembari mengikuti Ceylon. Sementara itu, Hasis, Anker, dan bandit yang lain hanya terdiam setelah ditinggalkan oleh kedua pemimpin mereka.
"Yah, ayo kita bunuh anak buah mereka saja. Semoga kita tidak bertemu orang yang terlalu kuat." Hasis berkata sembari menggelengkan kepalanya.
"Apa yang kamu takutkan? Senjata kita ini adalah senjata terbaik di gudang, bukan?" tanya Anker sembari tertawa dan mengambil busur silang berwarna cokelat.
Penjahat berkuda lainnya mengambil busur silang dari tas di pelana kuda mereka masing-masing.
"Jika kita bisa menghilangkan jejak kita dengan benar, tidak akan ada yang tahu kalau kita yang menjarah mereka." kata Anker.
"Rencana yang bagus. Ayo." kata Hasis sambil mengangguk.
Mereka mulai memacu kuda mereka dan bergerak cepat ke arah suara-suara itu.
'Musuh terdeteksi. Enam orang penjahat berkuda sedang mendekat.' lapor Zero. Sebelum laporan itu, Angele sebenarnya telah menyadari keberadaan mereka.
'Pada akhirnya, kita masih terlacak juga.' pikir Angele sembari melompat turun dari kereta.
"Terus berlari! Jangan berhenti!" teriak Angele. Semua pengawal menjadi semakin tegang, namun tidak ada yang bersuara. Mereka sangat terlatih dan akan melaksanakan semua perintah.
"Apa yang terjadi, Angele?" tanya sang baron setelah melihat anaknya melompat turun.
"Ayah, ada beberapa orang mengejar kita. Aku akan mengulur waktu agar semua kereta bisa kabur. Semua kereta harus terus berlari." Angele menjawab dengan tenang.
"Tidak, biar aku saja yang mengulur waktu. Kau pergilah saja dengan kereta kuda!" Sang baron juga melompat turun dari kereta dan mendekati Angele.
"Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya akan menembakkan beberapa panah. Aku akan segera menyusulmu." jawab Angele.
"Ayah, jagalah kereta kita saja. Akan lebih mudah bagiku untuk kabur jika aku sendirian. Lagipula, aku tidak akan menghadapi mereka langsung." lanjut Angele. Sang baron memandang Angele selama beberapa saat. Ia tahu bahwa anaknya memiliki kemampuan memanah yang hebat, dan akan aman jika dia menemukan tempat yang bagus untuk menyerang.
"Aku akan menemanimu." jawab sang baron dengan suara berat.
"Seluruh keluarga kita ada di karavan, Ayah. Akan lebih baik jika Ayah tetap bersama mereka. Jangan khawatir, aku tidak akan lama." kata Angele.
Baron Karl menatap anaknya selama beberapa saat, sementara suara kereta kuda mereka yang berlari kabur perlahan terdengar semakin jauh.
"Kuberi kau waktu 15 menit. Jika aku tidak melihatmu kembali setelah itu, aku akan kembali dan mencarimu." kata sang baron.
"Baiklah!" Angele mengangguk.
Baron Karl tahu, anaknya cukup kuat untuk menjaga diri. Namun, posisi musuh saat ini tidak diketahui, karena itulah dia masih merasa khawatir.
Angele memastikan bahwa ayahnya telah pergi bersama kereta-kereta kuda itu, lalu ia berbalik. Saat ini, para penjahat berkuda itu sudah terlihat berlari keluar dari hutan. Angele menarik sebuah anak panah di busurnya hingga busur itu berbentuk seperti bayangan bulan purnama. Sinar matahari menyinari mata panah logamnya, hingga memantulkan warna kebiru-biruan di langit siang.