Télécharger l’application
2.21% ZOMBIE AREA / Chapter 6: Sifat Orang Tua

Chapitre 6: Sifat Orang Tua

Nenek Nam pergi mengambil syal rajut pesanannya di sebuah toko di pinggir kota. Di perjalanan ingin pulang ia minta diturunkan di sebuah kedai makanan. Di sana ia membeli empat porsi besar makanan kesukaan anaknya, yakni pangsit udang dan Jjampong serta beberapa salad buah untuk dibawa ke acara rekreasi sore ini.

Bermodal beberapa lembar uang simpanan dan kupon jumbo dari kedai itu. Dengan satu plastik besar ia keluar dari kedai itu, dibantu oleh pegawai toko untuk membawa makanan ke dalam mobil taksi.

''Kenapa tidak minta diantarkan saja ke rumah, Nenek. Kalau seperti ini, Nenek akan kesulitan untuk membawanya. Nenek masih punya kupon gratis antar, kan?'' tanya karyawan kedai, seorang pria dewasa nan ramah dan baik.

Nenek Nam tersenyum hingga matanya sipit. Ia melambaikan tangan, menolak. ''Itu tidak akan jadi spesial. Hari ini anakku datang dari luar kota, aku ingin membelikan makanan kesukaannya dengan tenagaku sendiri. Terima kasih!''

Karyawan kedai itu tersenyum tipis seraya mengangguk paham, lalu menutup pintu belakang taksi dan sebelum melepas pergi ia berpesan, ''Tuan, tolong jalannya pelan-pelan.'' Dan sang supir mengangguk.

Sesampainya di depan rumah, lewat kaca mobil taksi, mobil hitam keluarga sudah masuk ke halaman depan. Nenek Nam dibantu Supir taksi memindahkan makanan itu ke depan pagar. Nenek Nam berjongkok sebentar setelah memindahkan satu kantong platik. Ia mengelus lutut yang ngeri, napasnya terdengar hingga ke telinga si supir.

Melihat si tua itu tergopoh-gopoh mengangkat dua plastik makanan, sang supir menawarkan bantuan untuk mengangkat barang ke depan pintu. Dan lagi-lagi nenek Nam menolak. Wajahnya sumringah sekali sehingga tak kuasa pula si supir memaksa keinginannya.

''Sudah berapa lama dia tidak makan udang pangsit dari kedai favorit kami. Aku merindukan melihat wajahnya yang melahap semua udang-udangku. Kuharap Jae Suk punya waktu untuk diajak ke restoran bahari dan makan berdua seperti ketika dia masih bocah.'' Nenek Nam teringat akan masa lalunya.

Dahulu mereka hanya hidup berdua, karena suami sedang bertugas sebagai dokter militer yang hanya datang empat hari dalam sebulan. Kedai di dekat pusat lalu lintas itu menjadi bukti perjalanan dia dan anak sematawayangnya. Suatu massa, kehidupannya normal kembali saat Jae Suk berusia 27 tahun. Ia tinggal bertiga dengan sang suami setelah suaminya pensiun. Mereka hidup dari gaji pensiun dan tabungan. Mengingat kenangan lama itu, berat beban di kedua tangannya jadi terlupakan hingga tanpa terasa ia telah berada di depan pintu rumah.

Senyum nenek Nam menjadi pudar mendengar suara tiga orang sedang berdebat di dalam sana. Kenop pintu diputarnya pelan, dari celah sudah tampak wajah datar anaknya dan dalam sekejap berubah garang. ''Jangan malah menyulitkan ayah. Semua uang sudah digunakan untuk rumah itu. Bahkan biaya sekolahmu sudah disedikan di sana.''

Pintu itu didorong lebih lebar sambil membawa dua kantong plastik makanan. Dan di depan mata jelas lah dua orang lagi. Keluarga kecil itu tak menyadari kehadirannya.

Yeo Han memohon dengan menggenggam lengan baju ayahnya. ''Siapa suruh kerja di luar kota. Jangan tinggal nenek di sini. Nenek harus ikut pindah rumah. Yeo Ning dan aku bisa bergantian menemani nenek di rumah seperti biasa, Ayah!''

Seolah-olah dipukul di belakang kepala, hingga nyeri menghantap tengkuk lehernya. Nenek Nam hampir berkaca-kaca oleh kekecewaan yang mengisi hatinya. Sekarang mengertilah si tua itu akan keadaan sekitar. Keberadaanya sedang diperjuangkan sang cucu di depan menantu dan anak sendiri.

Jae Suk terlihat jengah dan tak tahan melihat Yeo Han masih bersikeras. Napas yang menggembus panjang itu seketika menyinggung perasaan sekaligus memupuk semakin besarnya kesedihan di hati nenek Nam. Hanya dengan melihat sikap anaknya, ia pun tahu Jae Suk tak suka jika ia ikut bersama keluarga kecil itu. Mata nenek Nam melirik ke bawah, rupanya hati tak sanggup menampung lebih banyak kekecewaan terhadap sang anak, ia mengelus tangannya yang tebal dan keriput dan berpindah memandangi dua kantong plastik di dekat kaki.

''Jangan berbohong! Mulai bulan ini kau akan menghadapi persiapan ujian kelulusan dan persiapan ujian universitas. Bukan hanya itu, kudengar kau diam-diam mendaftarkan diri dalam pertandingan Taekwondo. Bagaimana membagi waktu untuk di rumah, hah?'' lawan sang ibu. Yeo Han menjadi kecut dan tak mampu mengelak.

Semua orang memandangi raut wajah nenek Nam yang terdiam bak patung di depan pintu. Perasaan si tua itu semakin tak karuan. Di satu sisi, sepasang suami-istri itu tak ubahnya melihat padanya seperti melihat seorang yang hina, yang sudah sepantasnya menyadari kehadiran dalam keluarga itu tak lebih hanya sebagai pengganggu saja. Kemudian matanya beradu dengan mata merah Yeo Han, seolah-olah air mata darah akan mengalir dari sana.

Yeo Han memutuskan kontak mata, dan berpaling menahan perasaan yang tak sudi dilihat olehnya. Kegembiraan menetes di lautan hatinya nan keruh, meski hanya bocah, cucunya jelas lebih menghargainya. Nenek Nam diliputi haru, tapi segera di sembunyikannya. Meski air mata ingin sekali mengalir deras saat itu juga. Mata nenek Nam kembali lurus, masih menemukan raut menantunya yang congkak dan garang.

''Nenek tak akan terlantar. Jangan kau maksud dengan meninggalkan Nenek di sini, dia tak ada yang urus. Lagi pula jika ikut kita, apa nenek akan senang, tiap hari rumah sepi dan dia akan sendirian. Aku punya pekerjaan malam, Yeo Ning juga akan tinggal bersama saudaraku yang punya anak seusianya. Kenapa tidak begini saja ...,'' usul Yeo Ran. ''Di atas bukit tak jauh dari kota, ada sebuah panti jompo. Daftarkan saja ibu di sana. Kudengar pelayanan dari lembaga masyarakat milik pemerintah lebih baik.''

Raut Yeo Han tampak gelisah. Ia tak punya pembelaan lagi jika demikian keinginan keras orang tuanya.

Perkataan Yeo Ran didukung oleh sang suami. ''Kau benar, dengan begitu ibu tidak sendirian. Dia dapat memiliki teman seusianya.''

''Tapi lebih baik, nenek berkumpul bersama keluarga ...,'' Yeo Han bersikukuh. Perkataannya terhenti begitu melihat nenek Nam beranjak masuk.

Langsung saja Suami istri itu dengan suara nyaring meminta pendapat nenek Nam tentang rencana mereka.

''Ibu, kau tidak bisa ikut kami pindah. Ibu tidak ada yang merawat. Bukankah bagus jika Ibu di panti jompo saja?'' tanya sang menantu, nadanya menekan dan memaksa.

''Kami akan berkunjung dua kali sebulan, Bu. Ibu tak perlu khawatir, kudengar di sana banyak kegiatan dan tak akan membosankan,'' timpal sang anak.

Meski sedih dan terpukul, nenek Nam pandai membuat suasana jadi tenang. Disetujuinya tawaran itu dengan senyum ceria demi anaknya yang ingin bahagia tanpa dirinya. Sudah cukup bagi dirinya menyaksikan kesedihan Yeo Han.

Saat semuanya telah diputuskan, nenek Nam menyembunyikan kedua tangann ke belakang, sembari mengeratkan plastik makanan lalu masuk ke kamar dengan wajah yang menunduk.

Ketukan pintu terdengar padahal baru saja ia menyandarkan punggung di depan pintu. Di letakkannya perlahan dua plastik makanan itu. Begitu pintu dibuka, wajah sang menantu tampak berseri-seri.

''Bu, lekas kemasi barang-barang, sore ini kita ke panti jompo.''

''Sore ini?'' Mulut si tua itu jadi berat.

Pukul tiga siang itu seharusnya mereka rekreasi bersama. Makanan dari kedai yang dibeli untuk sang anak bahkan belum sempat dingin, ia sudah disuruh menjauh dari sisi mereka.

''Iya, sore. Lebih cepat lebih baik agar kami dapat mengemasi barang-barang.''

Nenek Nam tak lagi bersuara, senyumnya kecut dan menutup pintu kembali setelah kepergian Yeo Ran. Jauh di dalam lautan hatinya, ia berharap banyak pada keluarga itu. Agar suatu hari ia mati dalam kondisi melihat anak dan cucunya, bukan menjadi seorang wanita renta yang sebatang kara dan sendirian


next chapter

Chapitre 7: Panti Jompo di dekat Gunung

Dua kantong plastik makanan hasil dari tabungan kupon dan uang simpanan, yang dimaksudkan untuk membangun kebersamaan antara nenek Nam dan Jae Suk, kini makanan itu ditinggalkan di samping pintu kamar. Ia dengan berat hati mengambil koper besar di dalam lemari. Ditariknya dengan kedua tangan hingga dirinya terduduk di lantai. Satu demi satu diatur rapi pakaiannya, diselipkan foto suami dan cucunya. Dimasukkan pula beberapa salep pereda nyeri pemberian Yeo Han beserta syal hadiah dari Yeo Ning.

Semua barang selesai dibereskan, ia duduk di depan meja rias. Sebuah lipstik merah beraroma mawar pemberian Jae Suk digores lembut pada bibir keriput. Wajah tua nan kusut sekarang telah terganti menjadi berwarna dan lebih hidup. Lama waktu berlalu, kenangan bersama Jae Suk si bocah, si remaja hingga dewasa memenuhi pikiran nenek Nam. Perasaannya menjadi berat dan terasa sesak, meski begitu ia hanya dapat menekan diri dan berkata dalam hati, ''Mungkin ... sudah saatnya melepas pergi anak bodoh itu.''

Nenek Nam memasukkan semua alat rias dan make up-nya ke laci meja. Kemudian ia keluar dari kamar dengan pakaian tebal, syal dan tak lupa mengambil dua kantong plastik makanan yang tadi di beli. Semua orang di rumah itu sedang sibuk berkemas untuk pindah rumah.

Nenek Nam pergi sebentar ke rumah salah satu temannya. Di sana ada tiga orang nenek yang lebih tua dua tahun darinya dan menyambutnya. Mereka bertanya kepadanya, akan kemanakah ia pergi sebab berdandan cantik sekali. Nenek Nam hanya dapat tersenyum. Ia terlampau malu menceritakan kepindahannya ke panti Jompo.

Pada pukul 16.00 dengan mengendarai mobil sedan Silver Metallic, nenek Nam diantar ke panti jompo oleh anak dan cucunya. Perjalanan ke sana tidaklah mudah, jalan menanjak cukup tinggi dan udara dua kali lebih dingin ketika kaca jendela sedikit di buka. Nenek Nam menyandarkan punggung, pasrah.

Kehangatan seketika memupuk punggung tangannya. Dilihatnya, si kecil Yeo Ning memberikan sarung tangan rajut berwarna putih seraya menutup rapat tangan nenek Nam dengan tangan kecil itu agar tidak kedinginan.

Jalan kecil yang hanya muat dilewati satu mobil, di kelilingi oleh pohon-pohon pinus. Suara burung, tupai hingga serangga lainnya terdengar samar. Tidak ada fasilitas transportasi di sana. Ia jadi terpikir seolah-olah sedang dibuang ke tempat yang tinggi agar tak akan pernah kembali ke bawah lagi. Nenek Nam menekan perih perasaannya. Matanya merah berair hampir meneteskan air mata.

Selama kurang lebih empat puluh menit perjalanan lambat, destinasi mereka berakhir. Di depan panti Jompo berpagar putih dari kayu, setinggi dua meter, dihiasi tanaman mawar merambat yang sedap dipandang mata. Mereka disambut oleh wakil pengurus dan dua perawat berseragam hijau.

Sebelum membiarkan dua lelaki itu pergi, nenek Nam mengusap rambut cucunya penuh sayang sambil berpesan agar menjaga diri dan tak melupakan dirinya walaupun ia telah jauh dari kehidupan keluarga kecil itu. Dan Yeo Han sendiri berjanji akan berkunjung saat hari libur bersama Yeo Ning.

Menunggu lenyapnya mobil sedan itu dari pandangan, bibirnya bergetar sedih menahan tangis. Nasib si tua itu sampai mati pun akan terus berada di rumah lansia nan sesak bau orang-orang lapuk. Keluarga kecil yang telah lama dibimbing, kini melepas kehidupannya yang dinilai tak banyak berarti lagi.

...

Biru langit dengan gumpalan putih menggulung beserta keributan suara hutan menjadi suasana yang membawa cerita nenek Nam. Dan Cerita itu berakhir ketika nenek Nam mengusap ujung matanya yang berair. Perawat Alice dan nenek Soo Jin hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Mereka terpukul mendengar kisah nenek Nam yang disingkirkan dari keluarga.

Nenek Soo Jin coba menghibur kawan akrabnya, ''Semuanya sudah terjadi. Hal terbaik untuk mu adalah menjalani sisa kehidupan ini dengan baik. Mungkin sudah saatnya melepas anak-anak. Kebanyakan mereka mengalami hal yang sama. kamu tidak Sendiri, Nam. Ada empat puluh ibu dan ayah yang hidup terpisah dengan anaknya di sini.''

Waktu demi waktu, mentari mulai tegak meluapkan cahaya, menambah segar pada pemandangan kehijauan pohon-pohon liar di perbukitan itu. Bahkan pada rumput-rumput sekitar panti Jompo. Bangunan panti itu bertingkat tiga, dengan cat putih berpadu ungu muda, luas dan cukup besar untuk menampung 100 lansia. Akan tetapi, siapa yang sudi tinggal jauh dari kota dengan fasilitas transportasi yang minim serta terasingkan dari keramaian. Untuk mengatasi kejenuhan, para penghuni di sana sesekali diajak turun gunung, menyusuri jalanan tanpa aspal, melihat sungai kecil dan hewan-hewan seperti kelinci.

Di bangunan panti Jompo pada lantai tiga terdapat fasilitas pengobatan dan empat kamar perawat serta kamar khusus persediaan obat. Sedangkan di lantai dua ada dua lorong, masing-masing lorong memiliki 16 kamar, perkamar dihuni oleh 5 lansia dan satu kamar lagi dihuni oleh 4 perawat. Terdapat pula perpustakaan kecil.

Adapun di lantai satu memiliki area ruang lebih luas, terdiri dari ruang kantin yang diujung ruangannya terdapat ruang kecil tempat persediaan makanan dan dapur. Ruang kantin besar itu menyatu pula dengan ruang TV dengan fasilitas sofa cokelat sebanyak sepuluh buah.

Dan pagi ini disanalah semua lansia berada. Duduk tertata menghadapi dua sampai tiga hidangan hangat. Suara-suara sendok perak bercampur bersama perbincangan yang terjadi selama makan, suasananya sungguh hidup.

Suatu ketika ada seorang pegawai baru, ia adalah pemuda yang mencari pengalaman kerja dan sertifikasi pelayanan masyarat agar mudah melamar pekerjaan. Pemuda itu bertugas mengantar makanan pada tiap-tiap meja makan.

Seorang tua setengah beruban, rambut keriting melambaikan tangan pada pegawai magang itu, dia Nenek Nam yang duduk bersama lima orang.

Pemuda itu lekas mendekati Nenek Nam. Diletakkannya beberapa sup dan jus buah di meja Nenek Nam. Nenek Nam memandang wajah pemuda itu lantas berseru. ''Oh Tuhan, wajahmu terlihat segar sekali. Sungguh mengingatkan aku pada cucuku. Kudengar kau pegawai magang. Perkenalkan namamu, anak manis!'' ia berkata begitu sambil menepuk pantat pemuda itu.

Semua yang duduk di satu meja menjadi tertawa melihat kelakuan nenek Nam. Sedangkan pemuda itu hanya tersenyum kecil sambil menjaga jarak dari nenek Nam.

''Saya Soo Hwan. Jo Soo Hwan, Nek,'' katanya sopan. ''Baru datang kemarin sore. Ruang saya di lantai satu bersama Tuan Min Seok.''

Nenek Woon berseru memuji, ''Oh, lihat anak muda ini sopan sekali. Bekerjalah dengan baik di sini! Tolong rawat kami!''

Soo Hwan mengangguk. Ia beralih mendorong trolly makanan menuju meja lain. Tak lama berselang terjadilah keributan, bubur berserakan di lantai, mangkok retak menggelinding dan berhenti saat membentur ujung sepatu Soo Hwan. Pemuda berperawakan pendek itu tampak takut, wajahnya menunduk tak berani melihat.


Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C6
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank 200+ Classement de puissance
    Stone 0 Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous

    tip Commentaire de paragraphe

    La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.

    De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.

    OK