Sesampainya di rumah, pak Hasan memapah Argat menuju kamarnya. Argat terlihat begitu lemas. Kemudian Pak Hasan menidurkannya di atas kasur. Aku juga meminta Pak Hasan untuk memanggil dokter, tetapi Argat menolaknya. Padahal lehernya terluka, tetapi dia terus beranggapan kalau dirinya baik-baik saja. Alhasil Pak Hasan keluar tanpa ada yang harus dilakukan lagi. Kubuka laci untuk mengambil obat merah dan perban.
"Aww," rintih Argat.
Kotak obatnya tidak sengaja terjatuh karena mendengar rintihannya membuatku kehilangan fokus. Namun aku tidak langsung mengambilnya karena lagi-lagi muncul perasaan bersalah. Rasanya kata maaf saja tidak akan pernah cukup, tidak akan membuat Argat pulih dengan cepat. Dengan langkah pelan, aku menghampirinya dan duduk di sampingnya. Saat akan memegang lehernya, Argat merubah posisi menjadi menyamping dan membelakangiku. Mulutku spontan terbuka karena khawatir lehernya semakin sakit.